Amy menerima uluran tangan pria itu. Mereka saling tatap selama beberapa saat. Wajah tampan dengan kulit pucat, rambut coklat gelap dan tatapan yang kelam. Entah mengapa Amy bisa merasakan jika pria di hadapanannya ini sedang bersedih meski bibirnya tersenyum tipis.
"Kamu ...." Amy hendak mengatakan sesuatu namun pria itu justru berjalan menjauh."Amy!!" Suara lantang dari arah lain membuat Amy menoleh. Itu adalah Velia, bersama seorang pria dengan cardigan hijau lumut bernama Davon."Kok kalian di sini?" tanya Amy sambil melihat ke arah pria misterius sekali lagi. Jarak mereka cukup jauh sekarang."Tadi kamu share loc. Lupa? Lain kali jangan bikin khawatir, bisa gak?" Velia menjitak kening sahabat sekaligus teman satu kontrakannya tersebut."Sakit, Vel!" sungut Amy kesal."Ngapain kamu ke sini, My?" Kali ini Davon yang bertanya. Pria berpenampilan santai namun rapi itu memperhatikan bangunan vila yang sebagian besar catnya telah mengelupas."Bukan apa-apa. Balik yuk," ajak Amy. Ia tak ingin mengalami hal aneh untuk ke tiga kalinya."Eh, cowok yang tadi sama kamu siapa? Penjaga villa?" tanya Velia.Amy hanya mengangkat bahu. Ia sendiri pun tak tahu. Namun pria yang telah membantunya berdiri beberapa saat lalu terlalu charming jika dikatakan sebagai penjaga villa.Sebelum meninggalkan area villa, Amy menoleh ke arah makam yang bertuliskan namanya sekali lagi. Ia merinding, ditambah pepohonan rimbun yang menutup pemandangan di belakangnya."Ayo pulang ...," ajaknya pada Velia dan Davon.**Amy sampai di kontrakan beberapa jam kemudian. Ia kembali sendiri di rumah dua kamar itu setelah Velia mengatakan harus bertemu teman di suatu tempat.Ia masuk ke kamar, hanya untuk membolak-balikan lembaran buku bersampul hitam yang baginya terasa aneh. Bukan cuma cara ia mendapatkannya namun juga isi di dalamnya. Buku itu penuh dengan tulisan tangan yang tak Amy mengerti.Namun ketika ia sampai pada satu halaman, mendadak ia tertegun. Terdapat gambar totem yang sangat dikenalnya, bunga lotus dan ada tiga titik pada bagian bawahnya.Amy bangkit, mencari cermin. Ya, gambar pada buku usang itu sama persis dengan tanda lahir yang ada di lehernya. Terlalu sama jika dikatakan kebetulan."Apa ini?"Wanita cantik itu mulai bersemangat membaca buku namun percuma saja. Selain tulisan pada pesan, buku itu menggunakan bahasa yang tak ia mengerti.Malamnya, Amy keluar dari kamar hanya untuk mengambil segelas air. Cuaca yang mendung membuat hawa di sekitarnya terasa gerah.Melewati ruang makan, ia bertemu Velia yang sedang fokus merekam sesuatu di rumah sebelah melalui ponsel barunya."Vel, ngapain?" Amy menepuk bahu wanita itu."Ssstt. Ada cogan di sebelah.""Cogan? Bukannya Pak Tino cuma punya anak perempuan?""Ya kali ini keponakannya. Mau ikutan?" Velia memainkan alis."Ck. Kebiasaan deh." Amy sudah ingin berlalu namun Velia menahan tangannya."Eh, liat deh. Cowok itu ngapain ...." Velia semakin antusias melihat pria muda yang tampak membuka hoodie hitamnya."Duh, aku gak mau ikutan ngintip, Vel," tegas Amy. Berbulan-bulan tinggal bersama, tak membuat kebiasaan Velia menular padanya."Liat dulu." Kali ini Velia memaksa.Amy pun menuruti dengan setengah hati. Velia telah men-zoom kamera hingga delapan puluh kali dan apa yang Amy lihat membuatnya terpana."Amy? Halo?" Kini giliran Velia yang menepuk bahu sahabatnya."Eh, kenapa?" Amy menoleh."Kok bengong? Hmm, apa kubilang, ganteng banget 'kan?""Gak tau ah, aku mau ambil air terus tidur." Amy berlalu meninggalkan Velia yang masih diam di tempat sambil cekikikan.Fokus Amy terpecah, pria yang ia lihat beberapa detik yang lalu adalah orang yang ia temui secara tak sengaja di Villa Putih pagi tadi. Apa ini? Kebetulan? Tapi kenapa mendadak ia merasa merinding?**Esoknya, Amy bersiap untuk berangkat kerja seperti biasa. Ia telah memakai hoodie ungunya, hanya tinggal menyambar tas dan memakai sepatu. Tetapi ponselnya yang telah berada di dalam tas mendadak berdering."Halo, Vel?""My, udah berangkat belum?" tanya Velia di seberang. Nada suaranya sedikit panik."Mau berangkat, sih. Kenapa? Ada yang ketinggalan, nanti biar aku mampir ke tempat kerjamu," tawar Amy pada teman dekat yang bekerja di sebuah butik terkenal."Dua hari lalu aku reparasi jamnya mama ke Pak Tino mungkin sekarang udah selesai, tolong ambilin ya. Udah bayar kok, tanda buktinya ada di laci kamar. Thank you, Sist!" seru wanita itu.Klik. Velia menutup panggilan begitu saja tanpa menunggu jawaban darinya. Mendengar nama Pak Tino disebut, Amy tiba-tiba teringat pria itu."Kebetulan. Cuma kebetulan." Amy menggeleng dan bergegas. Ia tak ingin gajinya dipotong karena terlambat.Pak Tino mempunyai tempat reparasi jam tangan di samping rumahnya. Pria paruh baya yang memiliki senyum ramah itu juga mempunyai beberapa koleksi barang antik.Amy memasuki halaman rumah tanpa pagar. Terlihat satu mobil yang sedang terparkir di depannya berwarna hitam. Rolling dor setengah terbuka, Amy mempercepat langkah karena mengira tempat itu akan segera tutup."Permisi ..." ucap wanita itu.Hening.Di belakang meja tampak berdiri seorang pria. Cahaya di ruangan itu cukup redup. Namun semakin dekat, Amy bisa melihatnya dengan wajahnya dengan jelas. Pria itu dengan tanda lotus dan tiga titik pada lehernya. Letak dan bentuk yang sama dengan miliknya, tak mungkin jika sebuah kebetulan."Ada apa?" Suara bariton pria itu terdengar bersamaan dengan netra yang bertemu tatap."Eh? Ehm, ini ...." Amy menyerahkan tanda bukti pembayaran milik Velia.Pria misterius itu membaca lembaran sekilas dan mengambil jam tangan klasik dan cantik yang telah terbungkus rapi. Amy masih tak beranjak, rasa penasarannya terlalu besar untuk dibendung. Maka ia memutuskan untuk bertanya."Maaf, kemarin kita sempat ketemu 'kan? Di Villa Putih? Kota M?"Pria tampan yang semula sibuk dengan guci antik di tangannya, mendadak menatap Amy. Wanita itu menunggu jawaban namun justru pria lain muncul dari arah dalam."Rain, apa kau butuh bantuan? Oh, kita ada pelanggan? Ada yang bisa kubantu?" Pria berkacamata itu tersenyum ramah pada Amy."Udah kok, terima kasih."Amy membalikkan badan dan keluar dari toko antik itu tanpa menoleh. Dua pria masih menatap punggungnya hingga menghilang saat berbelok di jalanan."Seperti sebelumnya, kalian bertemu saat tanda pada lehermu muncul. Tapi aku merasa ada yang berbeda kali ini. Apa kau juga merasakannya, Rain?" Pria bernama Gideon menepuk pundaknya.Rain tak menjawab, ia meneruskan pekerjaannya tanpa suara sedikit pun. Gideon hanya melirik, lalu lanjut bertanya."Kali ini kau ingin mengacuhkan wanita itu lagi? Jangan lupa apa yang terjadi padanya dua puluh tahun yang lalu di Villa Putih."Gerakan tangan Rain terhenti. Tentu ia ingat akan peristiwa tragis yang terjadi bertahun silam. Tubuh rapuh Amethyst terjun dari balkon lantai tiga vila itu."Itu bukan cara yang tepat untuk menghentikan siklus," tambah Gideon."Aku tahu." Rain meletakkan guci antik di tempatnya dan keluar dari toko."Hei, mau ke mana? Si tua Tino akan mencarimu sesaat lagi," seru Gideon lantang.Alih-alih menjawab, Rain terus berjalan. Bibirnya terkatup namun pikirannya terasa penuh. Siklus dua puluh tahun telah terulang dan ia harus segera melakukan sesuatu sebelum nyawa Amethyst-nya kembali melayang.***Pria berusia lima puluh enam tahun membetulkan letak kacamata sebelum memeriksa kotak musik berbentuk piano di tangannya. Benda cantik itu didominasi transparan dan berwarna putih pada bagian mesin. "Di mana Rain?" tanya pria bernama Tino itu saat Gideon baru memasuki ruang reparasi."Keluar. Cari udara segar mungkin. Jika ada yang harus dikerjakan, katakan saja padaku.""Aku cuma ini membicarakan hal penting dengannya. Tapi sudahlah, akan kutunggu dia kembali."Gideon mengangguk dan keluar, meninggalkan Pak Tino yang kini menarik salah satu laci mejanya pada bagian bawah. Tangannya meraih bingkai foto yang berisi potret tiga pria muda. Potret itu diambil lebih dari satu abad yang lalu. Paling kanan adalah mendiang kakeknya, sisi tengah diisi oleh pria tinggi yang posturnya sedikit berisi. Pak Tino tak pernah mengetahui siapa pria itu sampai hari ini. Sedangkan pada bagian kiri, adalah Rain. Ya, pria muda yang kini bekerja padanya.Saat dikonfirmasi pada yang bersangkutan, pria yang
Amy mengeratkan jaket ungunya karena angin malam semakin dingin. Wanita itu mempercepat langkah, area tempat tinggalnya sudah dekat. Hanya dua ratus meter lagi.Memasuki jalan lebih sempit, Amy berpapasan dengan pemuda dengan rokok di tangan. Mereka tidak saling mengenal tapi orang tersebut memandangnya dengan cara aneh.Ponsel dalam tasnya mendadak berdering. Tanpa melihat layar, Amy sudah bisa menebak jika yang memanggil adalah Velia. Tentu ia harus menyiapkan diri mendengar temannya itu menggerutu."Halo, Vel?""My, maaf hari ini aku nginap di rumah mama. Besok udah balik kok.""Oh, gitu ya?" Ada nada kecewa pada suaranya."Jangan lupa kunci semua pintu, oke? Stay save, Sista!" seru Velia dari seberang.Begitu panggilan terputus Amy hendak menyimpan ponselnya kembali. Tapi sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Refleks Amy membalikkan badan. Tidak ada apapun. Wanita itu memegang tengkuk, memastikan yang baru ia rasakan bukan hayalan semata.Belum habis rasa terkejutnya, Amy diha
Krieeett. Blam!Pintu kamar Rain terbuka dan menutup kembali dengan cukup keras usai wanita cantik bergaun putih masuk. Netranya basah, hidungnya memerah. Meski bibirnya terkatup, raut wajahnya cukup menggambarkan jika ia sedang tidak baik-baik saja. Rain yang duduk di sebuah kursi hanya diam menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Hening sejenak, hingga wanita itu melirik tas berukuran sedang yang teronggok di sudut kamar bernuansa coklat muda itu. "Kamu mau pergi?" tanya wanita itu. Air matanya kembali berlinang, membasahi pipi putih mulus yang terawat. "Jangan seperti ini, Amethyst," ucap Rain akhirnya. Pria itu bangkit dari kursi dan berjalan menuju balkon. Kamarnya yang berada di lantai dua memudahkannya melihat pemandangan perbukitan sore itu. Sikap Rain tampak dingin, bahkan seolah tak peduli pada wanita berambut panjang itu. Posisinya yang membelakangi hanyalah cara untuk menghindari tatapan sendu milik Amethyst. Cuma ia saja yang tahu jika saat ini hatinya juga hancur.
Pagi itu Amy bangun dengan malas. Meski netranya terasa berat, ia harus tetap menjalani aktivitas. Seminggu di mulai dari hari ini, shift-nya adalah pukul sembilan pagi. Setelah bersiap-siap, Amy menikmati sarapan paginya sambil sesekali menguap. Tubuhnya lebih segar usai mandi, tapi rasa kantuk tak juga hilang. Sebuah ketukan terdengar di pintu depan. Dengan langkah malas ia berjalan untuk mengetahui siapa tamu yang datang. Cklek."Pagi, Tukang tidur!" seru Velia yang langsung melesak ke dalam. "Vel? Bukannya kamu balik nanti?" Amy bertanya dengan heran seraya mengerjap. Berharap kedatangan temannya itu bukanlah mimpi. "Gak tau kenapa pengen balik pagi. Takut kamu lupa kunci pintu waktu berangkat sebentar lagi," jawab Velia sekenanya. "Enak aja," balas Amy tak sedikit merengut. Sebenarnya wanita itu memiliki firasat aneh pagi ini. Ia buru-buru pulang dan bersyukur Amy masih berada di rumah itu hingga ia datang. Usai mandi, Ami bersiap untuk berangkat. Ia telah siap dengan outt
Sorenya, Amy sampai di rumah kontrakannya pukul lima sore. Ruang tengah sedikit berantakan, tanpa bertanya pun ia tahu jika itu adalah hasil karya Velia. Teman satu kontrakannya itu selalu sukses membuatnya gemas."Really?" Amy memutar bola mata mendapati piring dan gelas bekas Velia gu masih teronggok di meja depan televisi.Tak hanya itu, jaket coklat dan juga dua buku dibiarkan di atas sofa. Amy meletakkan tasnya dan bersiap merapikan ruangan bernuansa soft green itu.Tangan Amy memungut dua buku yang salah satunya adalah novel yang nampak masih baru. Wanita itu memandangi covernya sejenak. Buku berjudul Cursed Princess itu sepertinya sedikit menarik perhatian Amy.Srakk.Satu lembar tipis memanjang tiba-tiba jatuh dari dalam buku. Amy meraihnya pembatas buku yang memiliki gambar sama persis dengan cover dan menyadari terdapat tulisan di atasnya."Ini ...."Langkah kaki Amy menuju ke kamar, hanya untuk mencari buku misterius yang ia dapatkan beberapa hari lalu. Ia mencocokkan satu
Langit mulai gelap. Namun sepertinya Amy tidak menyadari akan hal itu. Sejak satu jam lalu ia telah tenggelam dalam novel seri pertama karya Lavender Peach milik Velia. Jika sebelumnya Amy tak terlalu suka membaca novel, saat ini ia justru antusias untuk mencapai halaman terakhir. Wanita cantik itu bahkan membatalkan niatnya untuk mengunjungi pasar sore yang terletak beberapa blok dari tempat tinggalnya. Tok. Tok. "Amy? Aku masuk ya?" Terdengar suara Velia usai mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Iya, masuk aja," sahut si empunya kamar tanpa mengalihkan netra dari lembaran novel yang cukup tebal tersebut. Velia mendekati Amy yang nampak serius membaca di sudut ranjang. Ia sedikit takjub karena posisi temannya itu belum berubah sejak satu jam yang lalu. "Ternyata beneran mau baca? Tumben banget," komentar Velia dan Amy hanya menjawabnya dengan senyum simpul. "Mau makan malam apa nih?" lanjut Velia seraya mengamati kuku-kuku pada jarinya yang lentik. "Satu jam lagi aku yang ma
Suasana sibuk di cafe telah menjadi rutinitas terutama ketika hari menjelang sore. Amy seharusnya sudah bersiap pulang mengingat jarum pada jam dinding telah menunjukkan pada angka empat. Namun nyatanya ia masih tetap di tempat. "Totalnya seratus empat puluh enam ribu, Kak," ujarnya disertai senyum ramah pada salah seorang pelanggan. Beberapa menit berlalu, seorang rekan menyikut lengannya hingga berhasil membuat Amy menoleh. Itu adalah kasir untuk shift sore yang baru bisa datang setelah ijin terlambat. "Sorry, My. Kamu bisa pulang sekarang," bisik wanita dengan lesung pipi. Setelah Amy mengangguk, otomatis posisinya digantikan. Amy beristirahat sejenak di kursi dapur, menonton aktifitas tiga pria yang berjibaku membuat pesanan. Tora sesekali melirik ke arahnya, tetapi Amy pura-pura tidak menyadari. Merasa istirahatnya cukup, Amy hendak bangkit dan pulang. Namun sesuatu menarik perhatian Amy. Wanita itu lagi-lagi mendapati kabut tak biasa muncul. Benda asing itu semula hanya ber
Brakk. Amy melempar tas selempangnya begitu saja setelah melepas sepatu dan masuk ke dalam ruang tamu. Namun tidak butuh waktu lama ia segera mengambil tas kembali, berharap ponselnya yang berharga tidak lecet atau bahkan pecah. "Duh, untung aja gak apa-apa," ucapnya pada diri sendiri. Wanita muda itu terduduk, merenungi apa yang ia rasakan. Dalam hati bertanya-tanya mengapa melihat kedekatan Rain dan Emilia membuat hatinya sakit. "Nyebelin!" sungutnya. Entah pada Rain atau pada dirinya sendiri yang seakan memberi tanda ketertarikan. "Lupain, Amy, lupain ...," tegas wanita itu seraya geleng-geleng kepala. Tentu ia harus melupakan kejadian baru saja, termasuk bayangan aneh ketika di dapur cafe tadi. Amy menatap jam dinding, masih butuh dua jam hingga Velia pulang. Selama itu ia akan sendirian. Saat ini hal yang ingin Amy lakukan adalah mandi. Setengah jam berlalu, terdengar seseorang memasuki pagar dan memencet bel rumah. Amy dengan rambut terurai setengah basah beraroma floral