“Eh, Nita! Jadi orang penting sekarang kamu, ya! Tiap hari ada yang nyariin, bermobil pula,” kata Bu Yati yang tiba-tiba datang ke rumah.Aku yang sedang sibuk menjemur pakaian hanya melirik sekilas tak berniat menanggapi. Pasti Bu Yati akan mengataiku macam-macam seperti biasanya. Dia memang seperti CCTV yang selalu memata-mataiku. Tidak ada satu pun kejadian di rumahku yang tidak diketahui Bu Yati. Dan itu sudah terjadi sejak aku hamil Miko dulu. Sampai sekarang dia masih saja setia dengan pekerjaan itu. Padahal kalo dipikir-pikir semua itu enggak ada untungnya buat dia. “Heh, ditanyain malah diem aja,” bentak Bu Yati yang sadar aku tak menanggapinya.“Oh, Bu Yati tanya, ya! Emm... memangnya kenapa kalo banyak yang nyariin, Bu? Yang penting bukan buat nagih utang,” jawabku tanpa menoleh.“Udah kasih aja si Miko sama mereka. Toh nanti kamu bakal di kasih duit banyak. Jangan ngimpi lagi dapet bapaknya Miko, nanti di buang lagi baru tau rasa.”“Nanti kalo aku banyak duit, Bu Yati kepa
“Langsung saja, Mas! Enggak usah basa-basi,” jawabku sambil menyeruput sedikit minuman di depanku.Walaupun terpaksa sore ini aku memenuhi undangan Mas Rafi untuk bertemu. Aku tak mau Mas Rafi bertindak macam-macam apalagi sampai menculik Miko. “Silvi sudah mengetahui semuanya, bahkan sudah sejak lama,” kata Mas Rafi pelan.“Aku sudah tau soal itu. Aku rasa dia bukan wanita bodoh yang enggak mau tahu masa lalu suaminya.”“Dia memintaku menjauhimu dan Miko”“Harusnya kalian memang jauh-jauh dari kami.” “Aku enggak mau melakukan kesalahan yang kedua. Aku tak akan melepas kamu dan Miko lagi.”Mas Rafi berusaha meraih tanganku, tapi dengan cepat aku melepasnya.“Kalo begitu kamu sudah punya rencana apa, Mas?" tanyaku.“Belum tahu, yang jelas mulai sekarang aku akan berusaha untuk bisa bersama kamu dan Miko.” “Kamu yakin sudah mempunyai keberanian untuk menentang keluargamu dan istrimu?”“Pasti," jawabnya mantap.“Kalo begitu nikahi aku secara resmi. Kamu tahu syarat pernikahan kedua s
“Terima uang 50 juta ini. Kalian tidak bisa menikah.”Bak disambar petir, tubuhku seketika kaku mendengar perkataan wanita yang sekarang duduk di hadapanku yang tak lain adalah Ibunya Mas Rafi. Nafasku terasa begitu sesak hingga mulutku terasa kaku dan tak bisa mengeluarkan kata. Sejenak aku hanya terdiam. Apa dia bilang? Tak ada pernikahan? Otakku mulai mencerna kata-kata yang baru saja di dengar. Perlahan mataku mulai mengembun.“Ma...maksudnya bagaimana ya, Bu?” Dengan bibir bergetar aku memberanikan diri bertanya. Kuarahkan pandangan ke arah Mas Rafi yang duduk di sebelah Ibunya, berharap mendapatkan penjelasan, namun saat pandangan mata kami bertemu, ia malah menunduk. Bukankah kami di sini berencana membicarakan pernikahanku dengan Mas Rafi. Tapi mengapa malah berubah? Apa ini bagian dari prank yang Mas Rafi buat untuk mengerjaiku? Ah, banyak pertanyaan-pertanyaan tak jelas yang memenuhi otakku saat ini.“Rafi tidak bisa menikahimu.”“La...lalu bagaimana dengan anak ini?” tany
Perkenalanku dengan Mas Rafi dimulai saat motornya tak sengaja menyerempet motorku di depan kampus. Aku yang notabene dikenal sebagai mahasiswi urakan saat itu, tentu saja langsung marah-marah tak terima dan meminta ganti rugi. Karena kerusakan motor cukup parah, aku dan Mas Rafi jadi sering bertemu untuk membicarakan masalah itu. Walaupun Mas Rafi sempat menawarkan untuk mengganti motorku dengan yang baru, tapi aku menolak karena motor itu adalah motor peninggalan Ibu yang menurutku memiliki nilai sejarah yang tak bisa digantikan.“Heh, cewe aneh! Gara-gara ngurusin motor bututmu ini, aku diputusin pacarku,” kata Mas Rafi sambil menendang motor yang baru keluar dari bengkel ini.“Itu bukan urusanku ya, Mas!” jawabku cuek.“Jelas itu urusan kamu dong! Aku dituduh selingkuh gara-gara sering ketemu dan di telepon kamu.”“Kan aku telepon buat tanya motor, bukan ngerayu kamu. Palingan pacar kamu yang udah bosen sama kamu, jadi bikin alesan enggak jelas kayak gitu.”Memang sebulan ini aku
“Sopirmu udah nungguin tuh!” ucap Devi teman satu kosku.“Aku duluan, ya! Aku Pamit pada semua teman yang sedang berjalan bersamaku.“cie ... cie ... nempel teroos!” ledek Devi yang disambut oleh siulan beberapa temanku.Aku segera menghampiri Mas Rafi yang sudah bersiap di atas motor. Setelah memakai helm yang di berikan Mas Rafi, aku langsung naik dan melingkarkan tanganku ke pinggang Mas Rafi.“Siap?” tanya Mas Rafi sambil menghidupkan motornya.“Iya.”Mas Rafi segera melajukan motornya perlahan. Seperti biasa Mas Rafi akan mengajak makan sebelum mengantarkanku pulang ke tempat kos. Ramai suasana jalan khas sore hari membuat motor berjalan sedikit pelan. Aku mengeratkan pelukan dan meletakkan kepalaku di bahu Mas Rafi menikmati udara sore yang begitu dingin karena cuaca sedikit mendung. Walaupun hatiku sedikit ragu setelah bertemu keluarga Mas Rafi, pada nyatanya hubungan kami tetap berjalan seperti biasa. Bahkan saat ini kami sudah tak segan lagi mengumbar kemesraan di depan umum
“Dasar pelakor, bisa-bisanya kamu minta di nikahi Mas Rafi!” Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar suara keras Mbak Silvi di seberang sana. Dari nada bicaranya dia pasti dalam keadaan sangat marah.“Mau gimana lagi, Mbak! Orang Mas Rafi ngejar-ngejar aku terus. Aku jadi kasihan dong,” jawabku dengan nada sombong.“Kan aku udah bilang sama kamu kemarin, jauhi Mas Rafi. Bilang aja kamu pengen apa, pasti aku kasih kok.”“Tapi aku pengennya menikah sama Mas Rafi, Mbak! Lagian kan Mbak enggak bisa kasih anak, kalo enggak nikah sama aku bisa saja dia nikah sama yang lain.”“Gila kamu, ya!” “Aku waras, Mbak! Kan aku masih baik sama Mbak, jadi Cuma minta jadi istri kedua bukan istri satu-satunya.” Aku segera mengakhiri panggilan dan kembali melempar ponselku ke atas ranjang.Aku harus mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini jika nanti aku benar-benar menikah dengan Mas Rafi. Aku sadar tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas jika suaminya menikah lagi. Tapi mau bagaimana lagi,
"Ayah Miko sebenernya ... " Aku tak tahu harus menjawab apa, yang jelas aku tak mungkin mengatakan bahwa Mas Rafi adalah ayah kandungnya. "Pasti bukan keduanya ya, Ma! Kan Ayah Miko udah meninggal," lanjut Miko.Aku bernafas lega karena selamat dari pertanyaan keramat seperti itu. "Tapi kata Bude Yati, Om Rafi Ayah Miko.""Emang kapan Bude Yati bilang?" tanyaku penasaran."Udah lama, sih!" Miko meletakka telunjuknya di dagu seperti orang sedang berpikir."Bude Yati bilang apa aja sama Miko?""Cuma bilang gitu aja, sih! Palingan tanya udah di kasih apa aja sama Om Rafi dan Om Rendi. Sering tanya-tanya lah pokoknya," jelas Miko.Dasar Bu Yati, anak kecil aja di tanyain macam-macam. Sebegitu pentingkah informasi tentang aku bagi dia. Awas aja kalo dia bilang yang tidak-tidak sama Miko."Ya udah enggak apa-apa. Sekarang Miko tidur, ya!"Aku menarik selimut hingga menutupi sebatas perut Miko."Ma!" panggil Miko lagi."Kenapa, Sayang!” Aku mendekap dan mengelus rambut Miko.“Kalo Mama
“Miko sekarang jajannya yang mahal-mahal, ya!” kata Bu Yati yang melihat Miko sedang memegang susu UHT dan makanan ringan berukuran besar ditangannya.“Kan Ayahnya sering datang, kemarin neneknya juga datang. Apalagi Om kesayangan Mamanya, enggak pernah absen. Pasti uang Mamanya sekarang banyak, dong!” timpal Bu Lusi.Kalo bukan karena gas di rumah tiba-tiba habis, aku jarang sekali mengunjungi toko ini. Bukannya tak mau membeli di warung tetangga, tapi aku hanya menghindari mulut julid Bu Yati dan kawan-kawannya.“Semua berapa, Bu?” tanyaku pada Bu Sumi-pemilik toko ini.“Totalnya seratus kurang dua ribu, Mbak!” jawabnya sambil menyodorkan nota.Aku segera membuka dompet dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru lalu menyerahkannya pada Bu Sumi-pemilik toko ini.“Kembalinya, Mbak Nita!"“Sekarang uang dua ribu mah kecil ya, Nit?” celetuk Bu Yati saat melihatku memasukkan uang kembalian pada salah satu kotak amal yang berderet di meja kasir.“Alhamdulillah, Bu! Bisa beramal walau