Aku tercekat dan hanya bisa menelan ludah yang terasa mengandung racun. Rasanya seperti tercekik hingga sulit bernafas.
Situasi ini membuatku merasa baru pertama kali mendengar kata 'hamil'. Seakan kata 'hamil' itu mengandung bubuk sianida 100 miligram -tanpa kopi tentunya-.
"Hamil Nin??"
Anin mengangguk-anggung lengkap dengan derai air mata. Dia tergugu ketakutan.
Tubuhku sendiri melemas pasrah. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis, dahi, juga tak ketinggalan di punggung. Ditambah lahi tifus membuat isi perutku bergejolak karena otak yang terus didesak berpikir keras dan cepat dalam waktu singkat. Mirip reaksi tubuh manusia saat lapar, di kepala ada pusing-pusingnya. Masalahnya pengakuan Anin ini tak bisa diatasi dengan sesobek roti atau sepiring nasi padang lauk rendang. Jika benar adanya, kondisi Anin adalah fatal. Kondisiku juga ya? Baru sadar.
Baiklah, tifus dan syok sedang bersatu melemahkanku. Sungguh pagi buta yang gelap benar. Me
vote komentarnya sangat dinanti say
"Rama! Aku perlu bicara!" Suara wanita yang kukenal itu memperparah kegalauan karena batal melepas Anindya semalam. Ya, aku batal melepasnya pergi. Belum rela hati. Bukan karena takut kehilangan, hanya saja aku tidak tega jika harus menyaksikan tangis kecewanya. Aku pun menoleh ke belakang. Lalu menemukan wanita dengan getar suara yang masih dan mungkin akan selalu kuhafal. Mau apa dia memanggilku dengan nada setinggi itu? Kasar pula. Emosi berpijar di kedua bingkai matanya. Aku gerah karena dia terus saja memanggil namaku. Apa sih maunya? Daun telingaku saja malas menangkap getar suaranya. Stempel pengkhianat terukir jelas di dahinya. Membuat rasa cintaku dulu berubah menjadi rasa muak yang berkerak. Aku tak menghiraukan, terus berjalan ke kamar meskipun langkahnya terdengar membuntuti. Hingga baru kusadari sesuatu yang mencurigakan, dia baru saja keluar dari kamar Anindya. Lalu kuhubung-hubungkan dan muncul sebuah firasat buruk. Jangan-jangan...
*** Sudah dua hari aku tak mendengar suara Anin. Tak melihat wajahnya. Tak menghirup aromanya. Kerinduan itu yang kini membuatku terpekur di tepi ranjangnya. Resah. Kuraba bedcover, seakan kudengar tawanya ketika kugoda. Tanpa sadar bibirku melebar, mengingat keluguannya, kepolosannya. Dan yang tiba-tiba menghambat nafasku adalah ketulusannya. Yah, Anin tulus saat menyatakan cinta padaku. Aku bisa menilai dari setiap suku kata yang berikatan dengan mimik muka dan gerak matanya. Ada yang meremas dadaku saat bibir ini justru mengelak, lalu menyakitinya dengan penolakan. Aku ingin dia di sini tapi harapan seperti itu jahat sekali. Dan kenapa di otakku masih ada harapan semacam itu? Aku yakin sudah melakukan hal benar, membiarkannya pergi adalah keputusan yang sahih kan? Sudah lama aku mengambil sari patinya, sudah saatnya aku melepasnya sebelum layu dan berhenti tumbuh lalu menjadi sampah. Jujur aku tidak menyangka, ternyata Anindya tetap bungkam
*** Hatiku terlonjak kegirangan bak seorang remaja jatuh cinta saat pulang dan melihat mobil om Ibra di depan pagar. Kemungkinan besar Anindya ikut serta. Jika kulihat di spion, sepertinya aura wajahku berubah seketika. Dari yang begitu kusut karena lelah menangani pasien IGD, hingga kecut karena terus menelan olokan Raka. Yah beginilah nasibku yang masih saja jadi dokter jaga di IGD. Mungkin aku harus segera mengikuti jejak Raka mengambil spesialis, biar naik kasta. Bicara kembali soal Raka. Keparat memang kawanku satu itu. Mentang-mentang dia sudah melewati masa sulit dengan Asya istrinya, sekarang jadi hobi mencibirku. Masalahnya kasusku ini beda, Anin itu masih bocah, sedangkan Asya punya masa depan yang lebih cerah sebagai dokter, dia mahasiswi kedokteran. Anindya? Dia hanya pelajar, akan sangat memalukan jika semua orang tahu aku mencabuli anak di bawah umur. Aku keluar dari mobil lalu tergopoh bersemangat menuju pintu, memasuki ruang ta
*** "Apa katamu?" Parau kudengar suara tante Fatma, agak berbarengan dengan Mama. Semua terhenyak. Tersentak. Termasuk Anindya. Maaf Nin, tapi aku puas melakukannya. Aku puas mempermalukan orang tuaku. Sangat puas. "BAJINGAN BIADAB!!" Kemarahan tante Fatma terdengar berkumpul di tengah pekik suara. Om Ibra pun berdiri, menahan istrinya berbuat lebih jauh. Saat itu, Anindya meluruh dengan lusuh. Dia terduduk melemas, melemah. Dan itu menghancurkan kepuasanku yang ternyata bersifat sementara. Refleksku menyusul Anindya yang melantai, tatapannya kosong penuh kekecewaan, penyesalan, juga harapan yang telah kusia-siakan. Apa sebenarnya yang kamu inginkan Nin? Jangan bilang kamu ingin aku menikahimu, jangan... Kuberanikan diri menatapnya, menyeka air matanya, tapi tak ada balasan selain air mata yang terus berlinang. Dia begitu hancur, terlihat tak lagi punya semangat hidup. Dan hatiku tercabik menyaksikannya, sakit sekali. Sungguh pedih.
Langit tampak cerah, penerbangan menuju Makassar sepertinya tanpa kendala. Tak akan tertunda. Meskipun aku berharap ada kelonggaran. Siapa tahu akan ada seseorang yang berlari menerobos petugas bandara seperti di film-film romansa. Dan mungkin itu Kak Rama. Namun sekarang, aku sudah berada di dalam burung besi bersama Mama. Usai ujian nasional, Mama segera memboyongku kesana. Menghindari segala kesialan. Melupakan perasaan dan jalan hidup menyakitkan. Sayangnya hatiku tertinggal di Jakarta. Melekat karena terlanjur jatuh pada Kak Rama. Aku menggadang sebuah dunia tanpa dia, tapi ternyata sesulit ini, sesukar ini. Dia adalah luka membekas dan menghasilkan rasa perih. "Dari siapa?" Sontak aku menoleh pada Mama yang mengamati gelang mutiara di tanganku. Rupanya tanpa sadar, selagi mataku fokus ke luar jendela, jariku terus mengusap gelang itu. "Dari.. Teman, Ma." "Oh." Mama manggut-manggut. Lalu kembali fokus pada buku bacaannya.
Anindya. Aku gila layaknya lelaki bodoh ditinggal oleh kekasihnya. Nyaris mati karena rasa bersalah yang harus kutanggung saat harus rela melepasmu. Egoku runtuh bersamaan dengan pedihnya rasa rindu. Keangkuhan saat orang tuaku terus mendesak pertanggungjawabanku padamu terkikis satu per satu. Aku lemah karena ditertawakan waktu. Setiap detik dalam 24 jam, kukutuk sikap bajinganku, kebiadabanku terhadapamu. Segala keraguan karena jarak usia kita kini hanya menjadi kepulan asap yang berangsur menghilang. Menjadi pemikiran bodoh yang terabai. Aku rindu, aku sakit, aku mati tanpa Anindya. Aku terlambat jatuh cinta padanya. *** Saat cinta semakin menggerogoti akal sehatku, tiba-tiba Mama mengabari bahwa esok dia akan terbang ke Makassar. Hanya beberapa jam waktuku. Namun egoku kembali menguasai, aku tak boleh terjerumus ke lubang yang kugali sendiri. Bayangan masa depan akan serupa dengan kak Ranu turut menghantui. Aku berencana menghancurkan kelu
Makassar, aku terlalu menaruh banyak harapan besar, akan sebuah masa depan berbinar, setelah lupa telah menanam bibit kesalahan fatal. Kukira telah entas dari semua derita, ternyata aku baru saja memulainya. Baru. *** "Katakan apa yang sebenarnya terjadi Nin?" Aku menggeleng alot. Meremas rok dalam ketakutan saat desis amarah Mama dibarengi dengan gegat tak biasa oleh kedua giginya. "Jangan bohong Nin..." Dari nadanya, aku tahu Mama mencoba bersabar. Mendengarnya aku justru terisak. Menunduk pilu dalam ketakutan. Hancur duniaku, masa depanku. Aku tahu. "Mana mungkin ini terjadi kalau kamu rutin mengonsumsi obat itu? Katakan!" Mama berusaha mendesakku dengan emosi tertahan di tenggorokan. "Kapan? Kapan kalian melakukan dosa itu lagi?" Air mataku semakin deras mengucur. Sesekali saja tanganku mampu menepis airnya. Selebihnya air iru tumpah bak air bah. "Jujurlah Nin, semua akan lebih mudah." Kali ini Papa
Kedua kawanku tak habis pikir. Sama-sama menyesap latte nya untuk menjemput kesabaran. Ya aku memang keterlaluan. Bahkan di mata lelaki brengsek seperti mereka. Raka menunduk dengan alis terangkat, mengusap-usap dahinya keheranan. Sementara Tedy memilih mengambil selinting lagi dari bungkus di sakunya. Membakarnya lalu menghisap, memainkan lidahnya di bibir lalu mengulumnya perlahan. Terlihat sesekali melirikku, berusaha melampiaskan kekesalan padaku. Aku tahu, sebenarnya mereka sedang sama-sama memikirkan sikap yang tepat untuk menghadapi penjahat sepertiku. Aku sendiri sudah cukup letih menghadapi diri sendiri, sial! "Andai bukan di tempat umum, penjahat kelamin sepertimu pasti sudah remuk di tanganku.", ancam Tedy lengkap dengan picingan matanya. Heran, padahal dia sendiri berotak cabul tapi seenak itu menjukukiku. "Apa yang ada di otakmu saat menodai anak kecil begitub hm?", lanjutnya. "Aku mabuk." Aku berusaha membela diri karena nyatanya