Langit tampak cerah, penerbangan menuju Makassar sepertinya tanpa kendala. Tak akan tertunda. Meskipun aku berharap ada kelonggaran. Siapa tahu akan ada seseorang yang berlari menerobos petugas bandara seperti di film-film romansa. Dan mungkin itu Kak Rama.
Namun sekarang, aku sudah berada di dalam burung besi bersama Mama. Usai ujian nasional, Mama segera memboyongku kesana. Menghindari segala kesialan. Melupakan perasaan dan jalan hidup menyakitkan.
Sayangnya hatiku tertinggal di Jakarta. Melekat karena terlanjur jatuh pada Kak Rama. Aku menggadang sebuah dunia tanpa dia, tapi ternyata sesulit ini, sesukar ini. Dia adalah luka membekas dan menghasilkan rasa perih.
"Dari siapa?"
Sontak aku menoleh pada Mama yang mengamati gelang mutiara di tanganku. Rupanya tanpa sadar, selagi mataku fokus ke luar jendela, jariku terus mengusap gelang itu.
"Dari.. Teman, Ma."
"Oh." Mama manggut-manggut. Lalu kembali fokus pada buku bacaannya.
Jangan lupa vote komentarnya say
Anindya. Aku gila layaknya lelaki bodoh ditinggal oleh kekasihnya. Nyaris mati karena rasa bersalah yang harus kutanggung saat harus rela melepasmu. Egoku runtuh bersamaan dengan pedihnya rasa rindu. Keangkuhan saat orang tuaku terus mendesak pertanggungjawabanku padamu terkikis satu per satu. Aku lemah karena ditertawakan waktu. Setiap detik dalam 24 jam, kukutuk sikap bajinganku, kebiadabanku terhadapamu. Segala keraguan karena jarak usia kita kini hanya menjadi kepulan asap yang berangsur menghilang. Menjadi pemikiran bodoh yang terabai. Aku rindu, aku sakit, aku mati tanpa Anindya. Aku terlambat jatuh cinta padanya. *** Saat cinta semakin menggerogoti akal sehatku, tiba-tiba Mama mengabari bahwa esok dia akan terbang ke Makassar. Hanya beberapa jam waktuku. Namun egoku kembali menguasai, aku tak boleh terjerumus ke lubang yang kugali sendiri. Bayangan masa depan akan serupa dengan kak Ranu turut menghantui. Aku berencana menghancurkan kelu
Makassar, aku terlalu menaruh banyak harapan besar, akan sebuah masa depan berbinar, setelah lupa telah menanam bibit kesalahan fatal. Kukira telah entas dari semua derita, ternyata aku baru saja memulainya. Baru. *** "Katakan apa yang sebenarnya terjadi Nin?" Aku menggeleng alot. Meremas rok dalam ketakutan saat desis amarah Mama dibarengi dengan gegat tak biasa oleh kedua giginya. "Jangan bohong Nin..." Dari nadanya, aku tahu Mama mencoba bersabar. Mendengarnya aku justru terisak. Menunduk pilu dalam ketakutan. Hancur duniaku, masa depanku. Aku tahu. "Mana mungkin ini terjadi kalau kamu rutin mengonsumsi obat itu? Katakan!" Mama berusaha mendesakku dengan emosi tertahan di tenggorokan. "Kapan? Kapan kalian melakukan dosa itu lagi?" Air mataku semakin deras mengucur. Sesekali saja tanganku mampu menepis airnya. Selebihnya air iru tumpah bak air bah. "Jujurlah Nin, semua akan lebih mudah." Kali ini Papa
Kedua kawanku tak habis pikir. Sama-sama menyesap latte nya untuk menjemput kesabaran. Ya aku memang keterlaluan. Bahkan di mata lelaki brengsek seperti mereka. Raka menunduk dengan alis terangkat, mengusap-usap dahinya keheranan. Sementara Tedy memilih mengambil selinting lagi dari bungkus di sakunya. Membakarnya lalu menghisap, memainkan lidahnya di bibir lalu mengulumnya perlahan. Terlihat sesekali melirikku, berusaha melampiaskan kekesalan padaku. Aku tahu, sebenarnya mereka sedang sama-sama memikirkan sikap yang tepat untuk menghadapi penjahat sepertiku. Aku sendiri sudah cukup letih menghadapi diri sendiri, sial! "Andai bukan di tempat umum, penjahat kelamin sepertimu pasti sudah remuk di tanganku.", ancam Tedy lengkap dengan picingan matanya. Heran, padahal dia sendiri berotak cabul tapi seenak itu menjukukiku. "Apa yang ada di otakmu saat menodai anak kecil begitub hm?", lanjutnya. "Aku mabuk." Aku berusaha membela diri karena nyatanya
Berbekal informasi tentang tempat tugas baru Om Ibra di Makassar, yang kudapat dari kantor lamanya, aku menyusuri jalanan kota Makassar yang sudah jauh berbeda dengan masa kecilku dulu. Banyak yang berubah. Bedanya kota ini jauh lebih baik, sementara diriku berubah menjadi.. Yah kalian lebih tahu. Entahlah mengesalkan jika mengingat kelakuanku sendiri. Mengurut setiap kejadian dari malam saat kumabuk itu, hingga mendamparkanku di sini. Pengadilan Tinggi Makassar. Aku berdiri di depannya dengan gemuruh di dada seperti seorang pesakitan. Takut tapi terus melangkah. Benar kata Raka, bertanggungjawab itu tidak mudah. Maka kubulatkan tekad. Aku sudah pernah membiarkan Riri lepas karena tidak mencintaiku. Rasanya sakit sekali. Jadi aku tidak mau merasakan sakit yang kedua kali karena seseorang yang mencintaiku pun harus pergi. Hembus nafasku cukup berat. Panas. Karena memang cukup terik di luar. Aku turun dan meminta taxi menunggu sebentar. Sabar Pak, aku s
"Nin... Ka..kamu hamil?" Semakin terkejut Anin mendengar pertanyaanku, membentuk bulatan di bibir yang ranum itu, bibir tipis yang kurindu. Ah kenapa pikiran seperti ini masih tertinggal di benakku. Lihat perut yang menggunduk itu sekarang, hasil perbuatan kotor siapa? Anin berusaha kabur, bergegas menuju pintu untuk menghindariku. Yang tentu saja segera kutahan dengan mencekal di tangannya kuat-kuat. Tidak mungkm kusiakan kesempatan yang berbulan lamanya kugadang. Dari dekat perut besar itu semakin kentara. Anin hamil? Anakku? Sial! Memangnya anak siapa lagi? Gadis sepolos dia bukan tipikal yang akan menjual diri. Tentu saja kenyataan ini membuatku terkejut bukan mai. Ini seperti dejavu akan kisah Riri dan Ranu. Seharusnya aku membalas dendam, tapi kenapa aku justru termakan dendam itu. Mungkin salah caraku. Hmph. Yang pentinh sekarang aku tidam boleh seperti Ranu. Aku akan bertanggungjawab. Bukan lari. Walaupun saat itu Ranu memang tidak ber
Lelaki yang selalu tenang dan tidak menunjukkan kegarangan padaku itu berdiri dan mengarahkan tangannya ke tepi teras. "Tidak masalah kan duduk di lantai?", tanyanya sempat membuatku bingung. Kukira dia akan mengajakku berbincang di bangku taman. Ternyata teras rumah yang mirip joglo itu lebih menjadi pilihannya. "Duduk di sini membuat ngobrol akan terasa lebih santai.", lanjutnya tenang lalu mengambil tempat lebih dulu. Degub jantungku berloncatan. Ayah dari bocah yang kurusak bisa setenang ini menghasapiku. Ini baru definisi sangar yang sesungguhnya. Aku jadi takut, jangan-jangan ini hanya pancingan. Bagaimana jika Om Ibra sudah siap dengan senjata di tangan? Ya pikiranku saja sih. Mau tak mau aku menyusulnya duduk di lantai dengan kaki ditekuk dan memijak anak tangga paling bawah, sama seperti yang dilakukan Om Ibra. Bedanya, tangam Om Ibra menyatu di antara lututnya. Sementara tanganku berpasrah di atas paha. Gugup. Aku akan disidang oleh seorang
Aku berlari. Tergopoh-gopoh dari bandara hingga ke rumah sakit ini. Camelia 18, di mana letak kamar itu? Kepanikan membuat semua pintu terbaca sama olehku. Aku pun kembali bertanya pada perawat yang lewat. Ternyata kamar Camelia ada di lantai satu. Baiklah, aku turun lagi sambil berlari-lari. Ini bahkan lebih membakar kalori dari pada olahraga apapun. Aku memajukan penerbangan yang semula lusa menjadi hari ini. Om Ibra menelepon jika Anindya mulai kontraksi sejak tadi pagi, maka segera kupersiapkan diri. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Om Ibra. Hakim yang bijak itu mengabulkan permintaanku untuk mendampingi Anindya melahirkan. Sebenarnya Anin dijadwalkan melakukan operasi dua hari lagi. Namun karena tanda melahirkan itu muncul, jadwalnya dimajukan nanti malam. Mana mungkin aku melewatkan momentum ini? Inilah satu-satunya tanggung jawab yang baru
Momentum, setahuku didefinisikan sebagai besaran yang dimiliki oleh benda yang bergerak. Setiap benda yang bergerak selalu punya kekuatan. Itu yang kuingat dari sepotong penjelasan yang kuterima saat masih homeschooling. Pemahaman itu menghubungkanku pada sesuatu, pada seseorang, pada diriku sendiri yang malang. Mementum, aku sempat tak memilikinya. Semua rusak karena aku tak bergerak. Langkahku terhenti di suatu masa tanpa koma. Hanya titik henti saat bayi kecil itu hadir di pelukku, di kehidupanku. Aku menyerah pada mimpiku. Mimpi yang sejatinya sudah dirusak oleh seseorang dari masa lalu kurang lebih lima tahun lalu. Saat aku begitu lugu dan sangat mudah dirayu. Siapa yang salah? Dia, lelaki itu? Orang tuaku? Atau justru diriku sendiri? Sayangnya aku sudah mangkir dari titik salah menyalahkan. Aku hanya ingin menatap masa depan tanpa lagi kebingungan. Aku sudah banyak kehilangan. Saatnya aku menata ulang masa depan yang berserakan agar bisa kujadikan pegan