"Nin... Ka..kamu hamil?"
Semakin terkejut Anin mendengar pertanyaanku, membentuk bulatan di bibir yang ranum itu, bibir tipis yang kurindu. Ah kenapa pikiran seperti ini masih tertinggal di benakku. Lihat perut yang menggunduk itu sekarang, hasil perbuatan kotor siapa?
Anin berusaha kabur, bergegas menuju pintu untuk menghindariku. Yang tentu saja segera kutahan dengan mencekal di tangannya kuat-kuat. Tidak mungkm kusiakan kesempatan yang berbulan lamanya kugadang.
Dari dekat perut besar itu semakin kentara. Anin hamil? Anakku? Sial! Memangnya anak siapa lagi? Gadis sepolos dia bukan tipikal yang akan menjual diri.
Tentu saja kenyataan ini membuatku terkejut bukan mai. Ini seperti dejavu akan kisah Riri dan Ranu. Seharusnya aku membalas dendam, tapi kenapa aku justru termakan dendam itu. Mungkin salah caraku. Hmph.
Yang pentinh sekarang aku tidam boleh seperti Ranu. Aku akan bertanggungjawab. Bukan lari. Walaupun saat itu Ranu memang tidak ber
Jangan lupa vote dan komentarnya ya say
Lelaki yang selalu tenang dan tidak menunjukkan kegarangan padaku itu berdiri dan mengarahkan tangannya ke tepi teras. "Tidak masalah kan duduk di lantai?", tanyanya sempat membuatku bingung. Kukira dia akan mengajakku berbincang di bangku taman. Ternyata teras rumah yang mirip joglo itu lebih menjadi pilihannya. "Duduk di sini membuat ngobrol akan terasa lebih santai.", lanjutnya tenang lalu mengambil tempat lebih dulu. Degub jantungku berloncatan. Ayah dari bocah yang kurusak bisa setenang ini menghasapiku. Ini baru definisi sangar yang sesungguhnya. Aku jadi takut, jangan-jangan ini hanya pancingan. Bagaimana jika Om Ibra sudah siap dengan senjata di tangan? Ya pikiranku saja sih. Mau tak mau aku menyusulnya duduk di lantai dengan kaki ditekuk dan memijak anak tangga paling bawah, sama seperti yang dilakukan Om Ibra. Bedanya, tangam Om Ibra menyatu di antara lututnya. Sementara tanganku berpasrah di atas paha. Gugup. Aku akan disidang oleh seorang
Aku berlari. Tergopoh-gopoh dari bandara hingga ke rumah sakit ini. Camelia 18, di mana letak kamar itu? Kepanikan membuat semua pintu terbaca sama olehku. Aku pun kembali bertanya pada perawat yang lewat. Ternyata kamar Camelia ada di lantai satu. Baiklah, aku turun lagi sambil berlari-lari. Ini bahkan lebih membakar kalori dari pada olahraga apapun. Aku memajukan penerbangan yang semula lusa menjadi hari ini. Om Ibra menelepon jika Anindya mulai kontraksi sejak tadi pagi, maka segera kupersiapkan diri. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Om Ibra. Hakim yang bijak itu mengabulkan permintaanku untuk mendampingi Anindya melahirkan. Sebenarnya Anin dijadwalkan melakukan operasi dua hari lagi. Namun karena tanda melahirkan itu muncul, jadwalnya dimajukan nanti malam. Mana mungkin aku melewatkan momentum ini? Inilah satu-satunya tanggung jawab yang baru
Momentum, setahuku didefinisikan sebagai besaran yang dimiliki oleh benda yang bergerak. Setiap benda yang bergerak selalu punya kekuatan. Itu yang kuingat dari sepotong penjelasan yang kuterima saat masih homeschooling. Pemahaman itu menghubungkanku pada sesuatu, pada seseorang, pada diriku sendiri yang malang. Mementum, aku sempat tak memilikinya. Semua rusak karena aku tak bergerak. Langkahku terhenti di suatu masa tanpa koma. Hanya titik henti saat bayi kecil itu hadir di pelukku, di kehidupanku. Aku menyerah pada mimpiku. Mimpi yang sejatinya sudah dirusak oleh seseorang dari masa lalu kurang lebih lima tahun lalu. Saat aku begitu lugu dan sangat mudah dirayu. Siapa yang salah? Dia, lelaki itu? Orang tuaku? Atau justru diriku sendiri? Sayangnya aku sudah mangkir dari titik salah menyalahkan. Aku hanya ingin menatap masa depan tanpa lagi kebingungan. Aku sudah banyak kehilangan. Saatnya aku menata ulang masa depan yang berserakan agar bisa kujadikan pegan
Kukepalkan tangan untuk mengumpulkan kekuatan. Aku tidak lagi lemah. Aku bukan Anindya versi lama. "Seperti katamu, Nin. Semua terserah Tuhan. Kita berjumpa kembali setelah lima tahun berpisah pun terserah Tuhan." Kulenturkan otot-otot wajah. Begitupun dengan setiap sendi hingga alat gerak tubuh. Dalam beberapa detik yang gawat aku merasa seperti mendapat ilham. Kiranya pertemuan ini adalah saat yang tepat untukku membalaskan segala sakit di masa silam. Segera kuangkat wajah setelah berhasil mengusir ketegangan. Harus kuciptakan suasana yang lebih nyaman. Bukan untuknya, melainkan untukku sendiri. "Apa kabar Kak Rama?" Panggilan itu menegaskan bahwa tak ada yang pernah kulupa. Setitik pun tak pernah. Aku selalu menyimpannya rapat. Hanya saja kini kuanggap sebagai waktu yang tepat bagiku mengobati setiap luka yang belum sembuh. Maka perlu bagiku membuka penutup luka-luka itu. "Nin... ." Kudengar nadanya yang mengandung kekecewaan bergetar renta
Lama kurenungi surat beramplop putih di atas meja. Haruskah berangkat untuk mengantarnya atau sebaliknya berangkat untuk membagi semangat pada pasien-pasien yang telah terjadwal. Mereka telah menanti, menaruh harapan demi kesembuhan. Bukankah benar pekerjaan ini sangat mulia untuk dilakukan? Entahlah, apa egois namanya jika aku mengorbankan waktu mereka demi pertemuan dengan seseorang yang membawa kenangan suram? Sementara bekerja di rumah sakit besar itu adalah kesempatan yang baik untukku menjejaki karir gemilang di masa depan. Aku ingin menempuh pendidikan profesi lalu membuka klinik fisioterapi sendiri. Mandiri, sukses, membahagiakan orang tuaku yang selama ini belum sempat kulakukan sama sekali. Rasanya punggung ini masih enggan bergerak dari bean bag kamar kosku. Ya Tuhan, aku bimbang. Berikan aku petunjuk. Aku ingin menghapus wajahnya dari memoriku. Lepas darinya secara permanen. Aku takut terpedaya saat dia kembali datang dengan sosok yang berbeda. To
"Pulang!" sentakku padanya yang masih membuntuti. Aku berniat membeli sesuatu di minimarket saat dia yang sedari tadi menunggu di depan rumah kos mengekori gerak langkahku. Ujung dari balas dendamnya karena aku terus-terusan mengabaikan setiap pertanyaannya selama di rumah sakit beberapa hari ini. Di sela-sela memberi treatment kepada pasien pun dia masih sempat memanfaatkan kesempatan untuk mencari tahu segala hal yang terjadi padaku selama lima tahun terakhir. Muak? Tentu. Walaupun kadang tak habis pikir. Seorang dokter spesialis yang aku tahu punya jadwal padat merayap masih saja menyempatkan waktu untuk menjejaki bekas derap langkahku. Saat aku sibuk memilih roti di dalam minimarket, dia merapatkan diri. Saat aku sibuk memilih susu pun dia menghampiri. "Rasa coklat atau hazelnut?" tanyanya tanpa tahu diri seolah bibirku akan buka suara. Sampai di kasir pun dia masih setia melangkah pasti. Lalu menyodorkan kartu kreditnya sesaat setelah kas
"Di mana kamu semalam?" Aku menoleh kala mendengar sapaan seseorang dari arah belakang. Rupanya dia sudah datang. Kurasa akan lebih baik jika pertanyaan itu diubah menjadi 'siapa yang membawaku ke hotel semalam?' Meskipun aku tetap tam berkenan menjawab. Lebih baik lanjut menyiapkan ultrasound untuk pasien terapi pertama. Langkah kakinya tertangkap telinga sedang mendekat. Diiringi suara kaki kursi yang diseret. Kurasa dia mulai mengindahkan permintaanku agar tak lagi membahas masa lalu kami. "Nin." Aku menoleh, "Ya, Dok." Sudah kusiapkan jawaban untuk pertanyaan yang bersifat privasi. "Apa diagnosis pasien pertama?" Kepercayaandiriku lenyap. Kukira dia akan terus mendesakku dengan membahas masa lalu kami. Terutama meminta penjelasan soal yang terjadi semalam, saat dia pingsan. Ternyata dia menandai permintaanku dalam ingatan. Mau tak mau kudekati mejanya. Aku harus lebih profesional saat dia profesional. Kusodorkan berkas reka
"Nin... ." "Tidak. Anakku meninggal... ." Dia terus menerus mengigau tak jelas. Kadang menyebut namaku, kadang bertanya tentang anaknya, kadang hanya merintih. Terlalu banyak menenggak sake menyebabkannya berhalusinasi parah begini. Niatku meninggalkannya di kamar hotel harus gagal karena melihatnya terus menerus menangis dalam keadaan mata terpejam dan tak sadar. Seperti orang hilang akal. Dia sama sekali tidak sadar. Tak kuat membuka mata sambil sesekali mual walaupun tidak sampai memuntahkan isi perutnya. Dari kejauhan aku hanya memperhatikan. Diam. Menonton segala tingkah tak sadarnya tanpa menggumam. Hingga saat nafasnya teratur barulah aku berani mendekati. Jika aku harus menolongnya sekarang, itu bukan karena aku masih cinta atau telah melupakan kesalahannya, tetapi karena dia adalah manusia. Aku pun juga. Aku punya kewajiban untuk membantunya. Sempat meragu, pada akhirnya kubuka bagian atas kancing kemejanya. Pasalnya sedari ta