Kukepalkan tangan untuk mengumpulkan kekuatan. Aku tidak lagi lemah. Aku bukan Anindya versi lama.
"Seperti katamu, Nin. Semua terserah Tuhan. Kita berjumpa kembali setelah lima tahun berpisah pun terserah Tuhan."
Kulenturkan otot-otot wajah. Begitupun dengan setiap sendi hingga alat gerak tubuh. Dalam beberapa detik yang gawat aku merasa seperti mendapat ilham. Kiranya pertemuan ini adalah saat yang tepat untukku membalaskan segala sakit di masa silam.
Segera kuangkat wajah setelah berhasil mengusir ketegangan. Harus kuciptakan suasana yang lebih nyaman. Bukan untuknya, melainkan untukku sendiri.
"Apa kabar Kak Rama?" Panggilan itu menegaskan bahwa tak ada yang pernah kulupa. Setitik pun tak pernah. Aku selalu menyimpannya rapat. Hanya saja kini kuanggap sebagai waktu yang tepat bagiku mengobati setiap luka yang belum sembuh. Maka perlu bagiku membuka penutup luka-luka itu.
"Nin... ." Kudengar nadanya yang mengandung kekecewaan bergetar renta
Jangan lupa kasih ulasan ya say, makasih
Lama kurenungi surat beramplop putih di atas meja. Haruskah berangkat untuk mengantarnya atau sebaliknya berangkat untuk membagi semangat pada pasien-pasien yang telah terjadwal. Mereka telah menanti, menaruh harapan demi kesembuhan. Bukankah benar pekerjaan ini sangat mulia untuk dilakukan? Entahlah, apa egois namanya jika aku mengorbankan waktu mereka demi pertemuan dengan seseorang yang membawa kenangan suram? Sementara bekerja di rumah sakit besar itu adalah kesempatan yang baik untukku menjejaki karir gemilang di masa depan. Aku ingin menempuh pendidikan profesi lalu membuka klinik fisioterapi sendiri. Mandiri, sukses, membahagiakan orang tuaku yang selama ini belum sempat kulakukan sama sekali. Rasanya punggung ini masih enggan bergerak dari bean bag kamar kosku. Ya Tuhan, aku bimbang. Berikan aku petunjuk. Aku ingin menghapus wajahnya dari memoriku. Lepas darinya secara permanen. Aku takut terpedaya saat dia kembali datang dengan sosok yang berbeda. To
"Pulang!" sentakku padanya yang masih membuntuti. Aku berniat membeli sesuatu di minimarket saat dia yang sedari tadi menunggu di depan rumah kos mengekori gerak langkahku. Ujung dari balas dendamnya karena aku terus-terusan mengabaikan setiap pertanyaannya selama di rumah sakit beberapa hari ini. Di sela-sela memberi treatment kepada pasien pun dia masih sempat memanfaatkan kesempatan untuk mencari tahu segala hal yang terjadi padaku selama lima tahun terakhir. Muak? Tentu. Walaupun kadang tak habis pikir. Seorang dokter spesialis yang aku tahu punya jadwal padat merayap masih saja menyempatkan waktu untuk menjejaki bekas derap langkahku. Saat aku sibuk memilih roti di dalam minimarket, dia merapatkan diri. Saat aku sibuk memilih susu pun dia menghampiri. "Rasa coklat atau hazelnut?" tanyanya tanpa tahu diri seolah bibirku akan buka suara. Sampai di kasir pun dia masih setia melangkah pasti. Lalu menyodorkan kartu kreditnya sesaat setelah kas
"Di mana kamu semalam?" Aku menoleh kala mendengar sapaan seseorang dari arah belakang. Rupanya dia sudah datang. Kurasa akan lebih baik jika pertanyaan itu diubah menjadi 'siapa yang membawaku ke hotel semalam?' Meskipun aku tetap tam berkenan menjawab. Lebih baik lanjut menyiapkan ultrasound untuk pasien terapi pertama. Langkah kakinya tertangkap telinga sedang mendekat. Diiringi suara kaki kursi yang diseret. Kurasa dia mulai mengindahkan permintaanku agar tak lagi membahas masa lalu kami. "Nin." Aku menoleh, "Ya, Dok." Sudah kusiapkan jawaban untuk pertanyaan yang bersifat privasi. "Apa diagnosis pasien pertama?" Kepercayaandiriku lenyap. Kukira dia akan terus mendesakku dengan membahas masa lalu kami. Terutama meminta penjelasan soal yang terjadi semalam, saat dia pingsan. Ternyata dia menandai permintaanku dalam ingatan. Mau tak mau kudekati mejanya. Aku harus lebih profesional saat dia profesional. Kusodorkan berkas reka
"Nin... ." "Tidak. Anakku meninggal... ." Dia terus menerus mengigau tak jelas. Kadang menyebut namaku, kadang bertanya tentang anaknya, kadang hanya merintih. Terlalu banyak menenggak sake menyebabkannya berhalusinasi parah begini. Niatku meninggalkannya di kamar hotel harus gagal karena melihatnya terus menerus menangis dalam keadaan mata terpejam dan tak sadar. Seperti orang hilang akal. Dia sama sekali tidak sadar. Tak kuat membuka mata sambil sesekali mual walaupun tidak sampai memuntahkan isi perutnya. Dari kejauhan aku hanya memperhatikan. Diam. Menonton segala tingkah tak sadarnya tanpa menggumam. Hingga saat nafasnya teratur barulah aku berani mendekati. Jika aku harus menolongnya sekarang, itu bukan karena aku masih cinta atau telah melupakan kesalahannya, tetapi karena dia adalah manusia. Aku pun juga. Aku punya kewajiban untuk membantunya. Sempat meragu, pada akhirnya kubuka bagian atas kancing kemejanya. Pasalnya sedari ta
Dia berlutut di kaki. Tangan kanannya memegang dada, sedangkan yang kiri menahan pintu yang akan kubuka. Entah apa maksudnya bersikap demikian. Mungkin sengaja membuatku layaknya penguasa yang sedang disembah. Tampak bagaikan antagonis yang murka.Aku melayangkan protes keras. Sikapnya sangat menyudutkanku jika sampai dilihat orang. "Berhenti bersikap seperti korban, ini menggangguku, Kak.""Am..puni aku, Nin." Suaranya tersengal. Lalu mendongak menatapku. "Kecewakan aku hingga ratusan kali, tapi jangan Mama dan Papa. Mereka sudah cukup menderita karenaku.""Aku tidak pernah berjanji akan menemui mereka. Coba ingat-ingat, mana ucapanku yang mengatakan akan menemui mereka. Kakak saja yang terlalu percaya diri."Kulihat matanya yang menerawang jauh ke belakang. Lalu terpejam lesu mengidap penyesalan karena telat menyadarinya. Namun yang bisa dilakukan hanya menghakimiku tanpa kekuatan."Jadi pergilah, Kak. Aku mau istirahat."***
Terbebani, itu yang kurasakan setelah dokter Bianca mendudukkanku. Mungkin dia memang sengaja membuatku begitu karena ingin menggiringku mendekati kak Rama. Anehnya, yang membuatku tak habis pikir adalah aku mengetahui kenyataan bahwa sedang diarahkan, dijebak, tapi sengaja masuk perangkap. Naluriku bicara, hati kecilku membangunkan perasaan di masa lalu.Benarkah dia hampir gila karena aku dan anaknya? Lalu sekarang kambuh karena tahu anaknya telah tiada. Baiklah, sekalipun kalian tidak mempercayai, hati kecilku kini telah meyakini. Dan itu pula yang mengusik nyenyak tidurku semalam, hingga mengantarku memasuki rumah bersejarah yang menjadi titik mula segala derita.Debar itu menyerang sejak pertama kulangkahkan kaki setelah pintu terbuka. Wanita yang menatap dengan serba salah di hadapanku duduk dengan gelisah.“Tante buatkan minum dulu ya, Nin.”“Tidak usah, Tante,” jawabku tenang, harus cukup dewasa. “Saya cuma sebentar. Cuma m
Sepanjang perjalanan dari kamar lamaku menuju kamar Kak Rama yang juga terletak di lantai dua, aku terus berusaha menenangkan diri. Berdoa semoga Tuhan memberiku kekuatan juga kepastian untuk bersikap. Mengampuni dengan sebenar-benarnya memaafkan. Karena ternyata melupakannya tidak sama dengan memaafkan, dan memaafkan tidak semudah yang selalu kuucapkan kala sendirian. Jika sempat terpikir olehku untuk balas dendam, kurasa itu adalah kesalahan besar. Apa bedanya aku dengan Kak Rama jika demikian? Semua yang menimpaku juga akibat balas dendamnya. Lalu kini semua yang menimpanya adalah akibat balas dendamku. Akan menjadi lucu ketika yang kami alami seperti mata rantai tak berujung. Dokter Bianca menoleh setelah mendengar suara pintu yang dibuka Tante Nurma. Dia menangkap wajahku dan menyamarkan keterkejutannya pada bibir yang sedikit terbuka. Namun bukan itu yang menjadi fokusku sekarang. Melainkan ses
Sepanjang perjalanan dari kamar lamaku menuju kamar Kak Rama yang juga terletak di lantai dua, aku terus berusaha menenangkan diri. Berdoa semoga Tuhan memberiku kekuatan juga kepastian untuk bersikap. Mengampuni dengan sebenar-benarnya memaafkan. Karena ternyata melupakannya tidak sama dengan memaafkan, dan memaafkan tidak semudah yang selalu kuucapkan kala sendirian.Jika sempat terpikir olehku untuk balas dendam, kurasa itu adalah kesalahan besar. Apa bedanya aku dengan Kak Rama jika demikian? Semua yang menimpaku juga akibat balas dendamnya. Lalu kini semua yang menimpanya adalah akibat balas dendamku. Akan menjadi lucu ketika yang kami alami seperti mata rantai tak berujung. Dokter Bianca menoleh setelah mendengar suara pintu yang dibuka Tante Nurma. Dia menangkap wajahku dan menyamarkan keterkejutannya pada bibir yang sedikit terbuka. Namun bukan itu yang menjadi fokusku sekarang. Melainkan seseorang yang duduk menghadap ke luar jendela di belakang s