Share

Bab 23

Kepulangan Akmal ke Jakarta disambut orang tuanya. Dua hari yang lalu setelah dihubungi Dila, mereka akhirnya kembali ke Jakarta. Akmal tidak peduli dengan kehadiran mereka, matanya masih sembab karena menangis seharian. 

Dasar cengeng.

Kalian tahu, alasan Renata tidak menyetujui hubungan Akmal dan Helsa adalah orangtua Akmal yang sudah berpisah sejak dia kecil.  Kata Renata, Akmal berasal dari keluarga yang tidak jelas asal-usulnya. Sakit, bukan? 

"Akmal," panggil Dewi, Mamanya.

"Ngapain Mama pulang? Masih peduli sama Akmal? Papa juga, ngapain? Kalian kembali atau tidak, nggak akan mengubah keadaan." Akmal beranjak dari sofa ruang tengah, dan kembali ke kamarnya. 

Dari bandara, pemuda itu minta untuk kembali ke rumah saja. Tadinya,  Dila ingin ke rumah yang ditempatinya.

"Akmal," tegur Andriano, Papanya.

"Kak, Akmal butuh waktu," sanggah Dila yang sangat mengerti perasaan keponakannya saat ini. Akmal benar-benar kehilangan gadisnya. 

Akmal menaiki anak tangga menuju kamarnya. "Pulang lo semua! Gue nggak butuh dikasihani."

*** 

Pemuda itu masuk ke kamar, meletakkan ranselnya dan juga koper milik Helsa yang tidak sempat gadis itu bawah. Matanya kembali berkaca-kaca ketika melihat fotonya bersama Helsa, disana mereka tampak bahagia. 

Akmal juga mengingat kembali ucapan tante Dila 'ikhlasin Helsa.' 

Sampai disini, kah, semuanya? Haruskah dia melepaskan gadis yang sudah menemaninya hampir tiga tahun ini?

Akmal beralih pada sebuah miniatur rumah yang diberikan Helsa untuk hadiah ulang tahunnya satu tahun lalu. 

'Welcome back, sayang' 

Itu suara dari miniatur tersebut. Miniatur yang sudah di desain dengan suara asli sang kekasih. Miniatur itu diberikan Helsa agar Akmal tahu bahwa dia selalu punya rumah untuk pulang. Ia tertawa miris, air matanya jatuh begitu saja tanpa persetujuannya. 

"Tapi, kalau aku juga orang yang salah?" 

"Aku minta sama Tuhan, biar benerin kamu." 

Pemuda itu mengingat kembali setiap ucapan Helsa yang ingin selalu bersamanya. Semuanya berubah begitu cepat. 

Akmal membuka koper milik Helsa, meraih baju milik kekasihnya. Ia peluk erat baju itu, mencium layaknya itu adalah tubuh gadisnya. 

"Gue harus gimana, Helsa Septian?" 

Tangisnya pecah. Akmal marah dan kecewa pada semua orang. Tidak ada yang bisa diandalkannya, tidak ada yang bisa membuat gadisnya kembali dalam pelukannya. 

*** 

Gadis itu duduk di salah satu ruangan bercat putih polos, ditemani wanita yang duduk disampingnya saat ini. Helsa, gadis itu sedang menunggu giliran untuk periksa kandungannya. Perasaannya begitu kalut, ketika namanya sudah dipanggil.

"Nona Helsa Septian," seru wanita yang bertugas sebagai  asisten dokter.

"Ayo, sayang. Giliran kamu," Renata menyentuh tangan putrinya. Wanita itu bisa merasakan tangan anak gadisnya yang bergetar. Renata menyunggingkan bibir, melihat Helsa seperti ketakutan.

Helsa bangkit, dan mengekori Renata menuju ruangan dokter kandungan. 

"Selamat sore, dok," ucap Renata ketika sudah memasuki ruangan tersebut. 

"Selamat sore," balas dokter perempuan itu, "Helsa gimana, siap untuk saya periksa?" 

Gadis itu memandang Renata, melihat Mamanya yang sedang tersenyum padanya. 

"Baik. Silahkan cantik, langsung baring di brankar," ucap dokter yang bername tag Dr. Valen.  "Emang ada keluhan apa anaknya, bu?" 

"Cuma mau memastikan kandungannya baik-baik saja, karena sebentar lagi dia akan menikah." Renata mengalibi, tidak mungkin mengatakan bahwa Helsa sedang hamil atau takut anaknya hamil.

Helsa diam menatap mamanya dari brankar, benar-benar wanita ini. 

Alat  pendeteksi kandungan sudah mulai menjamah bagian luar dari rahim. Dokter sedang mengamati rahim gadis itu dari layar monitor. Beberapa saat kemudian, dokter menaruh kembali alat tersebut dan membangunkan Helsa dari brankar. 

"Rahimnya bersih. Tidak ada gejala apapun disana," jelas dokter Valen.

Renata tersenyum senang. Wanita itu menang lagi.   "Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan ya, dok?" 

"Iya, bu." 

"Baik. Terima kasih, dok. Mungkin hanya itu saja, kami permisi." Renata berjabat tangan dengan dokter itu, lalu keluar dari ruangan. 

"Bohong sama orang tua hukumnya besar loh," sindir Renata. "Gimana ya, kalau Papa tahu? Dia pasti tidak menyukai si brandal itu." 

"Ma, Helsa nggak akan berangkat ke Kanada. Helsa mau tetap di Jakarta," ujarnya.

"Supaya kamu tetap bersama berandalan itu? Jangan mimpi, sayang!" 

"Walaupun kamu di Jakarta, Mama akan kenalkan kamu dengan seseorang yang lebih baik dari Akmal. Yang bisa menjaga kamu, bisa bahagiakan kamu tentu saja," ucap Renata. 

*** 

Mbak Ana turut bersedih dengan kepindahan Helsa. Wanita itu sedang bantu mengemas  barang-barang yang akan dibawah Helsa besok. Mungkin hanya beberapa, karena sebagiannya akan dipaketkan saja. 

Gadis itu duduk di pintu balkon kamarnya, menatap keluar. Malam ini, malam terakhir nya disini. Semua urusan kepindahan dari SMA Harapan sudah diurus oleh asisten Mamanya. 

Hari ini Yuda dan Renata sudah mengurus semua keperluannya di Kanada. Helsa pun turut meminta dibelikan apartemen, ia tidak mau tinggal bersama sepupunya. Gadis itu sudah pasrah dengan kepergiannya. 

"Sa, mau mbak buatin teh?" tanya mbak Ana, wanita berusia kepala tiga itu mengambil duduk disamping Helsa.

"Mbak, Helsa boleh nanya nggak?" lirih gadis itu menyeka air matanya.

"Boleh banget," jawab mbak Ana.

"Mbak Ana sering nangis pas jauh dari rumah?" tanya Helsa. "Apa aku bisa jauh dari Akmal?" 

Mbak Ana bergeming,  tahu betul perasaan gadis itu, apalagi ketika menanyakan hal seperti ini. Apa Helsa bisa jauh dari Akmal?

Mbak Ana tahu bagaimana Akmal dan Helsa yang hampir setiap hari bersama. 

"Selama perasaan kamu dan Akmal sama, tidak ada yang namanya jauh. Nyatanya kalian masih berdiri dibawah langit yang sama.  Jakarta dan Kanada hanya masalah geografis." 

Benar kata mbak Ana, tidak ada jarak untuk mereka yang saling mencintai. Sejauh apapun Helsa melangkah, Akmal akan selalu bersamanya. 

"Sejauh apapun kamu pergi, kalau garis takdirnya sama Akmal, kalian akan dipertemukan kembali," tambah mbak Ana. 

Helsa berhambur ke pelukan wanita itu, menangis sejadi-jadinya disana. Tidak pernah terbayangkan tentang hal ini, ia harus jauh dari Akmal. Ini tidak pernah ada dalam daftar list kehidupannya.

"Mbak, Helsa sayang sama Akmal," jerit Helsa. 

Mbak Ana menepuk-nepuk punggung kecil yang bergetar itu, menenangkan gadis yang selalu rapuh. 

"Nggak apa-apa berpisah dulu. Suatu saat nanti bertemu lagi," kata mbak Ana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status