Kembali pada kejadian setelah Clara menghubungi Albert
Clara kini tinggal sendirian di penjara. Berkat Vincent, Clara sedikit lebih leluasa untuk menghubungi Albert dan juga lebih leluasa untuk melakukan apapun di penjara. Bahkan, para sipir sangat ramah padanya meskipun tak ada ketulusan dibaliknya. Tiga orang gadis yang mencari masalah dengannya telah dipindahkan di penjara lain. Meski begitu, ia merasa kesal lantaran ia harus di penjara atas kesalahan orang lain. Terlebih, pembunuh ayahnya sendirilah yang menjebloskannya.
"Tidak apa-apa, ini baru dimulai. Akan kuikuti permainanmu, Paman Alvin." Clara meremat koran yang ia baca sebelumnya. Koran tersebut menceritakan betapa hebatnya Alvin dalam mengelola perusahaan hingga mendapatkan penghargaan. Tak ada yang tahu, jika perusahaan itu milik ayahnya yang direnggut paksa oleh pamannya dengan cara yang tak semestinya.
"Nona Clara, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda." Clara mendongak, menatap sipir wanita itu.
"Siapa?" tanyanya.
"Pria itu bernama Albert." Clara manggut-manggut dan tersenyum tipis.
"Yah, dia pamanku. Aku juga ingin bertemu dengannya." Sipir wanita itu membuka pintu sel tahanan itu dan Clara pun mengikuti langkah sipir membawanya.
"Khe, kau terlihat berantakan sekali, Clara." Clara berdecak kesal.
"Kau berharap aku berpenampilan rapi di penjara?" Albert terkekeh.
"Tidak, aku hanya berbasa-basi." Clara mendengkus.
"Kupikir, kau datang kemari karena informasi penting. Ternyata, hanya basa-basi. Bye, waktu kunjungan selesai." Albert menghela napasnya.
"Hah ... kau memang susah diajak berbasa-basi seperti ayahmu. Aku telah mendapatkan informasi mengenai Vincent." Clara kembali duduk dan tampak penasaran.
"Katakan dan jangan ada yang terlewatkan." Albert menyeringai.
"Tidak ada yang spesial. Hari ini, aku mengikutinya setelah kau menghubungiku. Dia berkencan dengan putri Alvin lalu, menemui hakim." Clara menatap malas pada pamannya itu. Seringaiannya sangat menjijikan di mata Clara.
"Tidak ada yang spesial katamu. Lalu, kenapa kau menyeringai?" Albert memudarkan seringaiannya.
"Tidakkah kau ingin memanfaatkan putri Alvin untuk mempermainkan Alvin sebelum balas dendam?" Clara mengusap-usap dagunya sembari berpikir.
"Tidak mau. Tidak ada keuntungan bagiku untuk melakukannya." Albert kembali menghela napasnya dan memberikan dokumen yang berisi data-data Vincent.
"Itu data pribadinya. Percayalah, tidak ada yang spesial darinya. Tapi, bukankah mencurigakan? Bisa saja dia menyembunyikan identitas pribadinya." Clara mendengarkan sambil membuka dokumen tersebut.
"Kita akan mencari tahu lebih jauh lagi setelah aku keluar." Clara membaca dokumen tersebut dan tidak menemukan data yang spesial.
"Kau ingin tahu, Paman? Vincent sangat dipercayai oleh Paman Alvin," ujar Clara.
"Benarkah? Kalau begitu, permainan ini akan sangat menyenangkan." Clara mengangguk dan kembali membaca dokumen itu.
Ponsel Albert tiba-tiba berbunyi, membuatnya harus mengangkat panggilan tersebut.
"Halo."
"...."
"Apa?! Dasar anak itu! Bukannya merenungi kesalahan, dia malah berbuat nekat! Baiklah, aku segera pulang sekarang!" Clara menatap bingung melihat pamannya mengoceh.
"Ada apa, Paman?" tanya Clara setelah Albert mematikan sambungan panggilan itu.
Albert menghela napas lelah. "Si ratu drama itu menggores tangannya dengan beling kaca dan tidak sadarkan diri sekarang. Aku menyuruh Felix mengurungnya di kamar dan membatalkan misi mereka sampai kau keluar dari penjara agar ia menyadari semua kesalahannya." Clara mendengkus remeh.
"Kurasa, bukan hanya karena dikurung dan tidak jadi satu misi dengan Felix, Paman." Alis albert terangkat sebelah. Ia tidak mengerti maksud Clara berkata seperti itu.
"Lalu, apa alasan lainnya?" tanya Albert.
"Paman tentu tahu, ia mendapat banyak keuntungan dengan memberitahukan keberadaanku. Ia mendapatkan uang yang dijanjikan dan berhasil menyingkirkanku dari mansionmu. Aku meminta Vincent untuk meretas akun banknya dan mengambil kembali uang itu lalu, menyumbangkannya ke panti asuhan. Mungkin, itulah yang menjadi alasan Naomi berbuat nekat." Albert pun mengangguk paham dan memijat keningnya.
"Maaf Paman, aku melakukannya agar ia tahu jika aku bukanlah tandingannya. Jika ingin menyingkirkanku, jangan bertindak layaknya pengecut. Beruntungnya diriku, Vincent menawarkan kerja sama ini sehingga aku bisa memanfaatkannya." Albert tersenyum dan mengusap rambut Clara hingga berantakan.
"Tidak apa-apa, kau sudah melakukan hal benar. Semoga Vincent bisa dipercaya untuk membantumu bebas dari sini. Setelah bebas, kau dan Felix akan menjalankan misi ini berdua." Clara tersenyum dan menggeleng.
"Aku ingin Naomi ikut dalam misi ini." Albert mengernyit.
"Kenapa?" tanyanya.
"Setelah bebas dari sini, aku akan menjelaskan semuanya padamu. Aku punya strategi bagus untuk menghancurkan Paman Alvin." Clara menyeringai membuat Albert meneguk salivanya.
"Aku percaya padamu. Aku pulang dulu dan sampai ketemu lagi." Albert beranjak dan meninggalkan ruangan besuk.
Clara kembali ke sel tahanan dan bersandar di dinding. Ia menengadahkan kepalanya ke atas dan menutup matanya. Air mata menetes dari matanya tatkala rasa kehilangan masih tertinggal di hatinya.
"Clara," panggilan itu membuat Clara membuka matanya dan air mata turun lebih deras dari seblumnya.
"Ayah," panggil Clara. Ia memeluk sang ayah dan melepas rindu di penjara.
"Kau sudah semakin besar, nak. Maafkan Ayah karena meninggalkanmu sebelum kau menikah." Clara menggelengkan kepalanya dalam pelukan sang ayah.
"Ayah tidak salah hiks ... yang salah adalah Paman Alvin. Clara berjanji, akan merebut kembali perusahaan Ayah dari tangannya. Clara juga akan menjebloskan Paman Alvin ke penjara dan menderita seumur hidupnya." David tersenyum dan mengusap surai sepinggang putrinya.
"Ayah pegang janjimu. Tapi, jangan libatkan Calista atas kejahatan orang tuanya." Clara melepaskan pelukannya dari sang ayah.
"Kenapa?" tanya Clara sambil mengusap air matanya.
"Karena, Calista tidak ada hubungannya dengan kejahatan orang tuanya. Kalian masih sedarah meski hanya sepupu. Bukankah Calista tidak pernah menyakitimu?" Clara mengangguk.
David tersenyum dan melanjutkan, "Ayah akan merasa bersalah jika kau menyakitinya. Sejujurnya, Ayah ingin kau merebut semua kekayaan kita karena Ayah tidak ingin pamanmu menyalahgunakan kekayaan itu." Clara kembali mengangguk.
"Kalau begitu, aku akan batalkan rencanaku untuk meneror Calista. Aku akan kabarkan ini dengan Paman Albert." David mengusap wajah Clara.
"Baiklah, Ayah pergi dulu. Ibumu akan marah jika Ayah pergi terlalu lama." Air mata kembali menetes.
"Jangan pergi, Ayah. Jemput Clara bersama kalian hiks...." David menggeleng.
"Kau masih punya urusan di dunia ini. Biarkan takdir yang menentukan hidup dan kematian seseorang. Selamat tinggal, Clara." Bayangan David menghilang dari pandangan Clara.
"Ayah, Ayah!!!!" Clara berteriak.
"Ayah!!!" Mata Clara terbuka dan napasnya memburu setelah berteriak memanggil sang ayah.
"Hah ... hah ... ternyata hanya mimpi. Kenapa rasanya seperti nyata?" Clara berusaha menetralkan napasnya dan meminum air putih di nakas sebelahnya. Ia menengadahkan kepalanya ke atas dan menutup matanya untuk menekan rasa sedih.
Kembali ke kediaman Albert....
"Kami berhasil menjahit lukanya. Beruntung, goresan kaca itu tidak mengenai urat nadinya. Sekarang, ia hanya perlu istirahat." Albert menatap datar Naomi yang tidak sadarkan diri itu.
"Syukurlah. Kami akan lebih berhati-hati lagi dalam menjaganya. Kalau perlu, aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa jika ia kembali nekat." Dokter yang bernama Dita itu terkekeh.
"Kau pasti kewalahan menghadapinya, Tuan Albert," timpal Dokter Dita.
"Biasanya dia tidak pernah seperti ini. Obsesi terhadap sesuatu yang diinginkan membuatnya seperti ini. Terlebih, sejak kedatangan Clara kemari." Dita ber oh ria.
"Engh...." Dokter Dita dan Albert menoleh saat mendengar Naomi melenguh.
"Di mana aku?" Albert mendengkus.
"Kau di rumah sakit jiwa." Dokter Dita menutup mulutnya. Albert terlihat kesal sekali hari ini.
"Ayolah, Tuan Albert. Jangan membohongiku di saat aku sedang sakit." Albert tersenyum remeh.
"Siapa suruh kau sakit?" Naomi mengerucutkan bibirnya dan membuang wajah kesal.
"Kau dan Felix yang membuatku sakit, Tuan. Jika saja kau tidak membatalkan misi dan mengurungku, aku tidak akan berbuat seperti ini." Albert memutar bola matanya bosan.
"Benarkah itu, Ratu Drama? Bukan karena kau kehilangan sepuluh juta di rekeningmu?" Naomi membelalak dan beranjak dari posisi baring.
"A-apa maksudmu? Aku tidak mengerti." Albert menatap malas Naomi yang bertingkah polos itu.
"Lupakan saja. Aku tidak jadi membatalkan misimu dengan Felix," Naomi yang mendengar itu pun berbinar.
"Benarkah?" tanya Naomi semangat.
"Aku belum selesai bicara, Ratu Drama. Kau akan melaksanakan misi bersama Felix dan Clara setelah Clara bebas dari penjara." Semangat Naomi runtuh dan menatap datar Albert.
"Kenapa harus menunggu Clara bebas? Bukankah dia telah membunuh ayahnya sendiri? Pasti dia akan di penjara dalam waktu yang lama." Albert menyeringai.
"Sayang sekali, dugaanmu meleset. Clara akan bebas dari penjara dan dia punya rencana untuk menjalankan misi ini. Kuharap, kalian bisa bekerja sama dengan baik." Setelah mengatakan itu, Albert meninggalkan Naomi di kamar perawatan.
Naomi mendecih, "Kurang ajar. Pasti ada orang yang membantu Clara bebas. Aku harus mencari tahu soal ini."
TBC
Jarak updatenya cepat nih. Semoga saja para readers gk pusing ya, cerita ini sangat gaje. Jujur saja, aku ingin bermain-main sebentar sebelum masuk ke konfliknya. Konfliknya akan butuh waktu yang lama dan ada plot twist di cerita ini. See you in the next chapter, everyone....
Keesokan harinya, Albert kembali datang untuk membesuk Clara. Namun, ia urungkan niatnya sebentar tatkala melihat Vincent mendatangi kantor polisi. Ia mengalihkan langkahnya menuju kafe di seberang kantor polisi dan memesan kopi di sana. "Paman, bukankah Paman ingin ke kantor Polisi?" Albert mendongak dan menatap Felix yang menjulang tinggi di hadapannya karena berada dalam posisi berdiri. "Ada seseorang yang menemui Clara dan Paman tidak ingin mengganggunya." Felix mengernyit penasaran. Ia pun duduk di kursi dan ingin mendengar lebih lanjut mengenai seseorang yang menemui Clara. "Siapa dia, Paman?" tanya Felix. "Vincent Alexander. Dia anak angkat David, ayah kandung Clara." Felix membelalak. "Lalu, apa dia tahu jika Tuan David meninggal?" Albert mengangguk ragu. "Kurasa, ia mengetahuinya. Tidak mungkin pemuda itu mengajak Clara bekerja sama untuk menghancurkan Alvin tanpa mengetahuinya. Hanya saja, Paman belum bisa percaya sepenuhnya
"Hm ... sepertinya, aku mengenal tulisan ini," ujar Vincent. "Kau mengenali tulisan itu? Beritahu aku siapa orangnya!" perintah Alvin yang tak sabaran. "Aku memang mengenal tulisan ini tapi, bukan berarti aku tahu siapa yang menulisnya. Aku hanya merasa familiar saja, Ayah." Alvin menghela napas kesal. Calon menantunya ini suka sekali menjahilinya di situasi darurat. "Kalau begitu, cari tahu sesegera mungkin dan laporkan padaku jika kau menemukannya." Vincent mengangguk. "Beri aku waktu untuk mencari pelakunya, Paman," pinta Vincent. "Baiklah, kupercayakan semuanya padamu." Vincent membungkuk dan keluar dari ruangan Alvin. "Eh, ada Nak Vincent. Kau habis bertemu dengan suamiku, ya?" Vincent membungkuk hormat dan tersenyum manis pada calon ibu mertuanya ini. "Iya, Bu. Ayah bilang, ia baru saja diteror seseorang. Aku ditugaskan untuk mencari tahu, siapa peneror itu." Risa ber oh ria. "Berarti, kau akan sibuk ya?" tanya Risa. "Yah, begitulah. Aku akan sibuk beberapa hari ke depan
"Kurasa, dia menggunakan alat pelacak untuk mengikutimu. Kita harus membungkam mulutnya agar tidak ada yang tahu jika aku masih hidup." Vincent mengangguk. "Kita harus menunggunya selesai bertarung dan membuatnya pingsan untuk sementara waktu," sambung David. "Khe, akui saja jika tubuh kalian itu lemah. Tubuh penuh lemak kalian banggakan tapi, melawan tiang listrik saja tidak bisa." Felix tertawa bak psikopat setelah menghina kemampuan bertarung kedua bodyguard itu. "K-kurang ajar kau bocah!!!" Salah satu bodyguard itu menggeram menahan sakit dan amarah. Tidak mereka sangka, Felix memiliki tenaga yang besar dibalik tubuhnya yang tak sebanding dengan ukuran mereka. "Tidak usah mengamuk di saat tak berdaya, Tuan. Tubuh anda akan semakin sakit jika banyak bergerak. Tidurlah dengan nyaman dan beristirahatlah dengan tenang." Tanpa Felix sadari, ada dua orang yang menatapnya intens di belakang. "Cukup, anak muda!" Suara tegas di belakang
"Clara tidak akan marah jika mendengar langsung dari anda, Tuan David." David tersenyum tipis. "Semoga saja." David menyandarkan tubuhnya di sofa. Keheningan melanda ketiga pria di ruang tamu tersebut hingga suara ponsel Felix memecah keheningan. Felix mengambil ponsel di saku celananya dan menatap nama pemanggil. "Aku angkat dulu teleponnya, permisi." David dan Vincent mengangguk mempersilakan. "Halo, Paman," sapa Felix. "Halo, Felix. Kenapa lama sekali perginya? Bukankah tugasmu hanya mengikuti Vincent dan memberikan informasi padaku?" Felix menatap David dan Vincent lalu menjawab, "Maaf Paman, bodyguard Vincent menyerangku dan Vincent mengetahuinya. Vincent melerai pertarungan kami dan membuatku pingsan lalu, memaksaku untuk mengakui semuanya. Mau tidak mau, aku mengakui jika kau menyuruhku untuk mengikutinya." Setelah mengucapkan itu, Felix meringis mendengar umpatan Albert. "Sh*t, kenapa sampai ketahuan?! Buka
Flashback Kehidupan Alvin Di Masa Lalu.... Alvin saat itu baru pulang kuliah dan melewati kamar sang ayah yang sedikit terbuka. Ia menghentikan langkahnya dan mendapati sang ayah berbicara dengan David, saudara angkatnya. 'Apa yang mereka bicarakan? Kenapa aku penasaran sekali?' tanya batinnya. Biasanya, ketika sang ayah dan David berbicara berdua, Alvin tidak pernah mempedulikan itu. Namun, hatinya terdorong untuk mencari tahu. "David, uhuk... Ayah ingin kau mewarisi sebagian harta warisanku uhuk...," David langsung memberi minum pada sang ayah. "Minum dulu, Ayah." Sang ayah minum dengan perlahan dan melanjutkan, "Gunakanlah sebagian harta warisanmu untuk buka usaha dan sumbanglah beberapa untuk panti asuhan. Ayah ingin kau menggunakannya untuk kebaikan." "Tapi Ayah, kenapa harus aku? Kenapa tidak kau wariskan saja padanya?" tanya David bingung. Sejujur
Kekasih Lydia yang mendengar itu pun mengambil botol wine dan melayangkan botol wine tersebut ke kepala Alvin. Happ.... Tak disangka, Alvin dengan sigap menangkap tangan kekasih Alvin dan merebut botol tersebut. Crashhhh.... "AAAAHHHH!!!!" Lydia berteriak saat sang kekasih tergeletak bak ikan kehabisan napas. Alvin menebas leher kekasih Lydia dan membuatnya sekarat. Alvin menyeringai menatap hasil karyanya. Kekasih Lydia tergeletak bersimbah darah. "Ti-tidak hiks... kekasihku tidak mungkin mati hiks... bangun sayang hiks... jangan tinggalkan aku hiks...," isak Lydia sambil menggerakkan tubuh tak bernyawa kekasihnya. Lydia menatap tajam pada Alvin. Tidak ia sangka, bencana melanda hidupnya setelah menggoda Alvin. "Hiks... kupastikan kau di penjara, Tuan! Kau telah membuat kekasihku mati, keparat
"Ayah!!!" David berteriak memanggil sang ayah tatkala ia melihat sang ayah tergeletak di lantai. Ia bergegas menghampiri sang ayah tanpa menyadari Alvin yang berdiri mematung di sana. "Ayah, apa yang terjadi denganmu?" tanya David khawatir sambil mengguncang tubuh sang ayah. Ia takut jika hal buruk terjadi pada sang ayah apalagi, penyakit jantung sang ayah sering kambuh akhir-akhir ini. Ia melirik ke berbagai arah dan mendapati Alvin yang masih mematung. "Alvin!" panggil David cukup keras, membuat Alvin tersadar. "A-Ayah! Apa yang terjadi denganmu, Ayah?! Ayah!!!" Alvin terduduk di sebelah David dan menggerakkan tubuh sang ayah. Sayangnya, hal itu sia-sia karena sang ayah telah kehilangan kesadarannya. "Alvin, kita harus membawa Ayah ke rumah sakit sekarang," ujar David dan dijawab anggukan oleh Alvin. Mereka membopong tubuh ayah ke mobil dan menuju ke rumah sakit. "Penyakit jantung aya
3 tahun sudah berlalu sejak kematian sang ayah. Alvin bekerja di kafe sebagai tukang cuci piring dan sungguh menikmatinya. Namun, tak bisa dipungkiri kehidupannya sekarang jauh dari kata mudah. Ia harus berhenti kuliah karena tidak mampu membayar uang semester. Bahkan, ia hanya memakan mie instan sehari sekali setiap harinya. "Nih, cucian tambah lagi! Jika kinerjamu lamban seperti ini, lebih baik tidak usah kerja lagi!" bentak pemilik kafe tersebut. Alvin membungkuk pada pemilik kafe tersebut. "Ma-maaf, Pak. Saya akan lebih cepat mencuci hari ini. Saya mohon... jangan pecat saya." Pemilik kafe tersebut mendengkus remeh. "Kau selalu bicara begitu tiap tahun! Tapi kenyataannya, kinerjamu tidak ada kemajuan sama sekali! Kau tahu tidak, pelangganku selalu marah karena pesanannya selalu telat dan kau tahu karena apa? Karena kelambananmu dalam mencuci piring, paham?!" Alvin kembali membungkuk dan meminta maaf la