Kejadian sebelum Clara menghubungi Albert dari penjara....
Di kamar bak istana, Naomi terlihat senang dan heboh sendiri. Ia senang, karena Clara tidak ada lagi di hadapannya.
"Akhirnya, tidak ada lagi pengganggu antara aku dan Felix. Selamat menikmati penderitaanmu di penjara, Clara. Bukan itu saja, aku juga mendapat banyak uang berkat itu. Ah, senangnya...." Naomi memeluk ponselnya dan berbaring di kasus queen sizenya.
"Belanja apa ya hari ini? Hah, sudah sekian lama aku tidak kemana-mana dan tidak belanja keluar. Ow, kulitku yang malang ... berkat latihan itu kulitku menjadi kasar. Setidaknya, aku bisa belanja online." Naomi membuka aplikasi belanja pada ponselnya dan melihat benda menarik di sana. Tanpa disadari oleh Naomi, Felix mengintip dari celah pintu dengan tatapan bak elang.
Tok, tok, tok....
"Masuk!" Pintu terbuka, Felix berjalan masuk ke ruangan Albert.
"Bagaimana, Felix? Apa kau tahu siapa orangnya?" Felix mengangguk.
"Dia adalah Naomi." Albert yang mendengar itu pun menghela napasnya.
"Naomi? Khe, tidak heran ... dia sangat membenci Clara dan berusaha untuk menyingkirkan Clara dengan cara apapun. Tapi, karena dia jugalah polisi mengetahui mansion ini." Albert memijat keningnya yang sedikit berdenyut.
"Jadi, apa yang harus kulakukan, Paman?" Albert mendongak dan menopang dagunya dengan tangan kanannya sembari berpikir.
"Sejujurnya, kemampuan Naomi dan Clara hampir setara untuk menyelesaikan misi ini. Mereka mampu menyamar, berbela diri, dan memainkan senjata dengan baik. Tapi, aku tidak ingin kau di penjara seperti Clara demi keuntungan dirinya sendiri." Felix tersenyum miris.
"Mungkin, lebih parah dari Clara." Albert mendengkus kesal. Ia benar-benar kesal dengan sikap Naomi yang sangat buruk itu. Clara bahkan pernah mengobati luka di telinganya tapi, ia tidak tahu terima kasih.
"Dia benar-benar tidak tahu diuntung! Tidak dibuat mati oleh Clara saja sudah bersyukur! Cih, mengerikan sekali obsesinya itu." Felix hanya tersenyum tipis menanggapi ocehan Albert.
"Tenang saja, Paman. Aku tidak akan termakan obsesinya." Albert mengangguk.
"Aku memutuskan, misi ini ditunda sampai Clara bebas dari penjara. Kuharap, keberuntungan ada dipihaknya. Kau tidak perlu melakukan apapun terhadap Naomi. Cukup kurung dia di dalam kamar selama seminggu."
"Baiklah jika itu maumu, Paman. Aku keluar dulu." Felix membungkuk dan meninggalkan ruangan Albert.
Kembali di kamar Naomi....
"Ada apa ini? Kenapa aku tidak bisa membeli produk ini? Sial!" Naomi memeriksa jumlah uang yang dikirimkan padanya setelah melaporkan keberadaan Clara.
"Loh? Bukannya mereka mengirimkan uang padaku, sebelumnya? Kenapa sekarang kosong? Apakah ada yang meretas akun bankku? Kurang ajar!" Naomi membanting ponselnya ke lantai dan mengamuk di kamarnya.
"Kembalikan uangku!!!" Naomi berteriak entah pada siapa. Ia terlihat seperti orang gila karena kehilangan uang dengan jumlah besar di akun banknya.
"Siapapun yang mengambil uangku, akan kubunuh! Akan kucari kalian sampai ke ujung dunia!" ujarnya geram.
Brakkk....
Naomi tersentak saat mendengar pintunya dibuka dengan kasar.
"F-Felix? Ada apa kemari? Apa kau ingin bicara denganku? Maaf, kamarku berantakan sekali. Tadi ada tikus yang lewat." Felix memutar bola matanya bosan. Ia tidak akan tertipu dengan trik murahan dari Naomi. Jelas-jelas, ia mendengar teriakan Naomi tadi.
"Kau pikir, aku percaya? Sayang sekali Naomi, aku tidak akan tertipu dengan trik murahanmu. Sebaiknya, kau jawab aku dengan jujur. Apakah kau yang memberitahu keberadaan Clara pada Polisi?" Naomi menegang mendengar pertanyaan itu.
"M-m-maksudmu apa, Felix? Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan." Felix mendengkus mendengar jawaban Naomi.
"Tidak usah bertingkah polos, Naomi. Pertanyaan tadi hanya basa-basi untukmu. Selama seminggu, kau tidak boleh keluar dari kamar ini." Naomi yang mendengar itu pun langsung menangis dan berlutut.
"Tidak, Felix. Kumohon, jangan kurung aku di sini. Bukankah sebentar lagi kita akan menjalankan misi? Jika bukan denganku, siapa lagi yang akan menemanimu? Kau tidak mungkin mengerjakan misi ini sendiri, bukan?" Felix mendecih.
"Aku tidak mau satu misi denganmu. Melihat kejadian Clara, bukan tidak mungkin jika kau akan menjebloskanku ke penjara demi keuntunganmu. Atau, bisa saja kau menyuruhku untuk mengorbankan nyawaku demi dirimu seperti drama korea yang sering kau lihat itu, bukan? Lebih baik, aku pergi sendiri dari pada satu misi dengan beban sepertimu." Naomi yang mendengar itu pun menangis dan sakit hati.
"Kenapa kau kejam sekali padaku, Felix?! Hiks ... aku menyingkirkan Clara agar aku bisa bersamamu, Felix. Aku mencintaimu hiks...." Felix ingin memuntahkan isi perutnya ketika mendengar pernyataan cinta yang terlontar dari mulut Naomi.
"Khe, rasa cintamu itu hanya obsesi semata. Aku yakin, obsesi itu tidak akan bertahan lama. Sudahlah, tidak ada gunanya berbicara denganmu. Aku pergi." Felix meninggalkan kamar Naomi dan disusul Naomi untuk menahan pintu kamarnya.
"Kumohon, jangan kurung aku, Felix. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku minta maaf, aku akan melakukan apapun yang kau minta asalkan kau tidak mengurungku, ya. Please...." Felix bersikukuh ingin menutup pintu kamar Naomi namun, Naomi bersikeras menahan agar pintu kamar itu tidak tertutup.
"Permintaan maafmu, tidak diterima. Selama seminggu kau tidak menyadari kesalahanmu, kau akan berada di sini sampai mati."
Blam....
Cekrek....
Felix menutup pintu kamar Naomi dengan kasar dan mengunci pintu dari luar. Dapat ia dengar teriakan memohon Naomi dari kamar namun, ia tidak menghiraukannya. Ia melempar kunci kamar itu ke atas dan menangkapnya kembali lalu, meninggalkan kamar berisi raungan tersebut.
"HUAAAA ... Felix, keluarkan aku dari sini...," teriak Naomi pilu. Ia menendang pintu kamar itu berharap pintunya rusak dan terbuka. Namun, meskipun ia menendang sekuat tenaga pintu itu, ia tidak bisa merusaknya. Ia mengacak-ngacak rambutnya sambil mengerang frustasi. Pada akhirnya, rencana yang ia buat malah menjerumuskan dirinya sendiri.
"Sial sekali! Meski di penjara sekalipun, kau selalu membuatku repot! Kuharap, kau tidak pernah bebas dari penjara, Clara! Kuharap, kau membusuk selamanya di penjara! Ini semua karenamu, kau pembawa sial! Kau membuatku hidup hancur dan aku tidak bisa berduaan dengan Felix!" ujar Naomi geram.
Naomi terpikirkan sesuatu. Ia lupa jika ia memiliki pistol. Ia pun mengambil pistol di sarung yang tertempel pada pinggangnya dan menembak knop pintu kamarnya. Entah karena sedih atau emosi, ia tidak berpikir untuk memeriksa pistolnya sehingga, tidak ada letusan peluru yang keluar dari pistol itu.
"Kenapa tidak bisa?" Naomi mencoba sekali lagi menembak namun, nihil. Ia memeriksa pistolnya dan benar, tidak ada peluru sedikitpun di pistolnya. Ia memeriksa di laci kamarnya untuk mencari peluru namun, tidak terdapat peluru di sana. Ia berusaha mencari di segala penjuru dan tidak menemukan peluru itu. Ia hanya bisa pasrah dan mengamuk di kamarnya hingga kamarnya semakin berantakan. Meja rias tak terbentuk, peralatan make-up berserakan di lantai, ranjang yang terlucuti, dan busa-busa berterbangan dari bantal tidurnya.
TBC
Entah apa yang kuperbuat di chapter ini. Rasanya terlalu berlebihan atau pas, aku gk tahu. Terlebih, saat Naomi mengamuk karena dikurung oleh Felix. Semoga semua pembaca dapat memahami isi cerita ini. See you....
Kembali pada kejadian setelah Clara menghubungi Albert Clara kini tinggal sendirian di penjara. Berkat Vincent, Clara sedikit lebih leluasa untuk menghubungi Albert dan juga lebih leluasa untuk melakukan apapun di penjara. Bahkan, para sipir sangat ramah padanya meskipun tak ada ketulusan dibaliknya. Tiga orang gadis yang mencari masalah dengannya telah dipindahkan di penjara lain. Meski begitu, ia merasa kesal lantaran ia harus di penjara atas kesalahan orang lain. Terlebih, pembunuh ayahnya sendirilah yang menjebloskannya. "Tidak apa-apa, ini baru dimulai. Akan kuikuti permainanmu, Paman Alvin." Clara meremat koran yang ia baca sebelumnya. Koran tersebut menceritakan betapa hebatnya Alvin dalam mengelola perusahaan hingga mendapatkan penghargaan. Tak ada yang tahu, jika perusahaan itu milik ayahnya yang direnggut paksa oleh pamannya dengan cara yang tak semestinya. "Nona Clara, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda." Clara mend
Keesokan harinya, Albert kembali datang untuk membesuk Clara. Namun, ia urungkan niatnya sebentar tatkala melihat Vincent mendatangi kantor polisi. Ia mengalihkan langkahnya menuju kafe di seberang kantor polisi dan memesan kopi di sana. "Paman, bukankah Paman ingin ke kantor Polisi?" Albert mendongak dan menatap Felix yang menjulang tinggi di hadapannya karena berada dalam posisi berdiri. "Ada seseorang yang menemui Clara dan Paman tidak ingin mengganggunya." Felix mengernyit penasaran. Ia pun duduk di kursi dan ingin mendengar lebih lanjut mengenai seseorang yang menemui Clara. "Siapa dia, Paman?" tanya Felix. "Vincent Alexander. Dia anak angkat David, ayah kandung Clara." Felix membelalak. "Lalu, apa dia tahu jika Tuan David meninggal?" Albert mengangguk ragu. "Kurasa, ia mengetahuinya. Tidak mungkin pemuda itu mengajak Clara bekerja sama untuk menghancurkan Alvin tanpa mengetahuinya. Hanya saja, Paman belum bisa percaya sepenuhnya
"Hm ... sepertinya, aku mengenal tulisan ini," ujar Vincent. "Kau mengenali tulisan itu? Beritahu aku siapa orangnya!" perintah Alvin yang tak sabaran. "Aku memang mengenal tulisan ini tapi, bukan berarti aku tahu siapa yang menulisnya. Aku hanya merasa familiar saja, Ayah." Alvin menghela napas kesal. Calon menantunya ini suka sekali menjahilinya di situasi darurat. "Kalau begitu, cari tahu sesegera mungkin dan laporkan padaku jika kau menemukannya." Vincent mengangguk. "Beri aku waktu untuk mencari pelakunya, Paman," pinta Vincent. "Baiklah, kupercayakan semuanya padamu." Vincent membungkuk dan keluar dari ruangan Alvin. "Eh, ada Nak Vincent. Kau habis bertemu dengan suamiku, ya?" Vincent membungkuk hormat dan tersenyum manis pada calon ibu mertuanya ini. "Iya, Bu. Ayah bilang, ia baru saja diteror seseorang. Aku ditugaskan untuk mencari tahu, siapa peneror itu." Risa ber oh ria. "Berarti, kau akan sibuk ya?" tanya Risa. "Yah, begitulah. Aku akan sibuk beberapa hari ke depan
"Kurasa, dia menggunakan alat pelacak untuk mengikutimu. Kita harus membungkam mulutnya agar tidak ada yang tahu jika aku masih hidup." Vincent mengangguk. "Kita harus menunggunya selesai bertarung dan membuatnya pingsan untuk sementara waktu," sambung David. "Khe, akui saja jika tubuh kalian itu lemah. Tubuh penuh lemak kalian banggakan tapi, melawan tiang listrik saja tidak bisa." Felix tertawa bak psikopat setelah menghina kemampuan bertarung kedua bodyguard itu. "K-kurang ajar kau bocah!!!" Salah satu bodyguard itu menggeram menahan sakit dan amarah. Tidak mereka sangka, Felix memiliki tenaga yang besar dibalik tubuhnya yang tak sebanding dengan ukuran mereka. "Tidak usah mengamuk di saat tak berdaya, Tuan. Tubuh anda akan semakin sakit jika banyak bergerak. Tidurlah dengan nyaman dan beristirahatlah dengan tenang." Tanpa Felix sadari, ada dua orang yang menatapnya intens di belakang. "Cukup, anak muda!" Suara tegas di belakang
"Clara tidak akan marah jika mendengar langsung dari anda, Tuan David." David tersenyum tipis. "Semoga saja." David menyandarkan tubuhnya di sofa. Keheningan melanda ketiga pria di ruang tamu tersebut hingga suara ponsel Felix memecah keheningan. Felix mengambil ponsel di saku celananya dan menatap nama pemanggil. "Aku angkat dulu teleponnya, permisi." David dan Vincent mengangguk mempersilakan. "Halo, Paman," sapa Felix. "Halo, Felix. Kenapa lama sekali perginya? Bukankah tugasmu hanya mengikuti Vincent dan memberikan informasi padaku?" Felix menatap David dan Vincent lalu menjawab, "Maaf Paman, bodyguard Vincent menyerangku dan Vincent mengetahuinya. Vincent melerai pertarungan kami dan membuatku pingsan lalu, memaksaku untuk mengakui semuanya. Mau tidak mau, aku mengakui jika kau menyuruhku untuk mengikutinya." Setelah mengucapkan itu, Felix meringis mendengar umpatan Albert. "Sh*t, kenapa sampai ketahuan?! Buka
Flashback Kehidupan Alvin Di Masa Lalu.... Alvin saat itu baru pulang kuliah dan melewati kamar sang ayah yang sedikit terbuka. Ia menghentikan langkahnya dan mendapati sang ayah berbicara dengan David, saudara angkatnya. 'Apa yang mereka bicarakan? Kenapa aku penasaran sekali?' tanya batinnya. Biasanya, ketika sang ayah dan David berbicara berdua, Alvin tidak pernah mempedulikan itu. Namun, hatinya terdorong untuk mencari tahu. "David, uhuk... Ayah ingin kau mewarisi sebagian harta warisanku uhuk...," David langsung memberi minum pada sang ayah. "Minum dulu, Ayah." Sang ayah minum dengan perlahan dan melanjutkan, "Gunakanlah sebagian harta warisanmu untuk buka usaha dan sumbanglah beberapa untuk panti asuhan. Ayah ingin kau menggunakannya untuk kebaikan." "Tapi Ayah, kenapa harus aku? Kenapa tidak kau wariskan saja padanya?" tanya David bingung. Sejujur
Kekasih Lydia yang mendengar itu pun mengambil botol wine dan melayangkan botol wine tersebut ke kepala Alvin. Happ.... Tak disangka, Alvin dengan sigap menangkap tangan kekasih Alvin dan merebut botol tersebut. Crashhhh.... "AAAAHHHH!!!!" Lydia berteriak saat sang kekasih tergeletak bak ikan kehabisan napas. Alvin menebas leher kekasih Lydia dan membuatnya sekarat. Alvin menyeringai menatap hasil karyanya. Kekasih Lydia tergeletak bersimbah darah. "Ti-tidak hiks... kekasihku tidak mungkin mati hiks... bangun sayang hiks... jangan tinggalkan aku hiks...," isak Lydia sambil menggerakkan tubuh tak bernyawa kekasihnya. Lydia menatap tajam pada Alvin. Tidak ia sangka, bencana melanda hidupnya setelah menggoda Alvin. "Hiks... kupastikan kau di penjara, Tuan! Kau telah membuat kekasihku mati, keparat
"Ayah!!!" David berteriak memanggil sang ayah tatkala ia melihat sang ayah tergeletak di lantai. Ia bergegas menghampiri sang ayah tanpa menyadari Alvin yang berdiri mematung di sana. "Ayah, apa yang terjadi denganmu?" tanya David khawatir sambil mengguncang tubuh sang ayah. Ia takut jika hal buruk terjadi pada sang ayah apalagi, penyakit jantung sang ayah sering kambuh akhir-akhir ini. Ia melirik ke berbagai arah dan mendapati Alvin yang masih mematung. "Alvin!" panggil David cukup keras, membuat Alvin tersadar. "A-Ayah! Apa yang terjadi denganmu, Ayah?! Ayah!!!" Alvin terduduk di sebelah David dan menggerakkan tubuh sang ayah. Sayangnya, hal itu sia-sia karena sang ayah telah kehilangan kesadarannya. "Alvin, kita harus membawa Ayah ke rumah sakit sekarang," ujar David dan dijawab anggukan oleh Alvin. Mereka membopong tubuh ayah ke mobil dan menuju ke rumah sakit. "Penyakit jantung aya