Gedung tinggi di kawasan pusat berdiri dengan kokoh. Aktivitas para karyawan terlihat begitu jelas. Cakra Mas Development, merupakan perusahaan yang bekerja di berbagai bidang, terutama hotel dan apartemen. Siapa yang tak kenal dengan pemimpinnya, Gibran. Nama lelaki itu sudah terdengar di kancah nasional.Kini, lelaki itu tengah duduk di ruangan kerjanya. Ruangan dengan desain mewah dan elegan itu terlihat sangat tertata. Ruangan itu didominasi oleh warna monokrom, warna yang menjadi kesukaan mendiang istrinya.Gibran masih setia memejamkan mata. Kedua tangannya menyatu dengan kepala menengadah. Ada hal yang mengganggu mengganggu dirinya saat ini “Enyahlah!” perintah Gibran setelah mengembuskan nafas panjang.Tawa itu, Gibran tidak suka melihat tawa itu. Bukan, lebih tepatnya Gibran tidak suka siapa yang menjadi pemicu tawa itu, Daffa dan Zahra. Ya, dua nama itu yang sejak tadi mengganggu pikirannya.Dia masih ingat saat keduanya tertawa lepas, setelah Zahra keluar dari mobilnya. Mun
Teriknya matahari tak menyurutkan niat baik Zahra. Kini, wanita itu sudah berada di halaman perusahaan milik suaminya. Senyum cerahnya semakin mengembang saat melihat kotak makan siang di tangannya dan supir taksi yang mengantarnya.“Minta tolong bawakan ke dalam ya, Mas,” pinta Zahra pada driver taksi online yang ia pesan.“Siap Mbak.”Zahra jalan terlebih dahulu, menunjukkan jalan yang akan dilalui. Saat sampai di front office, dia melihat beberapa karyawan menyapa. Ini bukan kali pertama dirinya datang ke kantor Gibran.Sebelumnya, dia sudah pernah ke sini untuk mengantar Humaira mengantarkan makanan. Kini tugas mengantarkan makanan siang untuk Gibran, ia ambil alih. Semoga saja Humaira tidak marah tugasnya ia ambil alih sekarang.“Ib—”Zahra langsung meletakkan jari telunjuk di depan mulut saat Bunga —resepsionis— ingin memanggil dan menghampiri dirinya. Dari banyaknya karyawan yang bekerja di sini, hanya Bunga dan Devan yang mengetahui Zahra sudah menjadi istri Gibran. Bunga meru
Rembulan bersinar terang hari ini. Bintang-bintang setia menemaninya, membuat Zahra yang ada di balkon kamar Nazira tersenyum senang. Dia tengah menikmati keindahan malam dengan Nazira dalam gendongannya, tentu saja dia memberikan selimut tebal untuk anaknya.Sepertinya, bayi itu masih belum mengantuk karena baru saja bangun dari tidurnya. Zahra yang memang tidak memiliki pekerjaan setelah makan malam sangat senang. Kalau bukan Nazira yang menemani dan menghiburnya, siapa lagi? Tidak mungkin kalau Gibran.Mengingat sampai detik ini belum berhasil mendapatkan hati Gibran, membuat Zahra tersenyum miris. Usia pernikahan mereka sudah memasuki dua bulan, tetapi seperti tidak ada perkembangan berarti. Yang membedakan hanya Gibran tidak irit bicara lagi, seperti sebelumnya.“Buna harus melakukan apa lagi, Nak?” tanya Zahra sambil menatap mata bulat milik Nazira. “Buna merasa sudah melakukan semua cara agar bisa mendapatkan hati ayah kamu. Namun, sampai saat ini belum ada hilal sama sekali.”
Rembulan bersinar terang hari ini. Bintang-bintang setia menemaninya, membuat Zahra yang ada di balkon kamar Nazira tersenyum senang. Dia tengah menikmati keindahan malam dengan Nazira dalam gendongannya, tentu saja dia memberikan selimut tebal untuk anaknya.Sepertinya, bayi itu masih belum mengantuk karena baru saja bangun dari tidurnya. Zahra yang memang tidak memiliki pekerjaan setelah makan malam sangat senang. Kalau bukan Nazira yang menemani dan menghiburnya, siapa lagi? Tidak mungkin kalau Gibran.Mengingat sampai detik ini belum berhasil mendapatkan hati Gibran, membuat Zahra tersenyum miris. Usia pernikahan mereka sudah memasuki dua bulan, tetapi seperti tidak ada perkembangan berarti. Yang membedakan hanya Gibran tidak irit bicara lagi, seperti sebelumnya.“Buna harus melakukan apa lagi, Nak?” tanya Zahra sambil menatap mata bulat milik Nazira. “Buna merasa sudah melakukan semua cara agar bisa mendapatkan hati ayah kamu. Namun, sampai saat ini belum ada hilal sama sekali.”Z
Suasana hening sangat terasa di dalam mobil. Kalimat terakhir tadi cukup membuat keduanya merasa canggung, mungkin. Setelah dipikir, Zahra merasa dirinya terlalu percaya diri saat melihat reaksi yang Gibran tunjukkan.Ya, mungkin lelaki itu tengah melakukan kewajiban untuk mengingatkan dirinya agar tidak terlalu dekat dengan lelaki lain. Hal wajar bagi suami istri. Namun, terasa sedikit janggal saat mengingat situasi pernikahan mereka yang bisa dikatakan tidak harmonis, atau lebih tepatnya pura-pura harmonis.Oke, kita kembali pada perjalanan ke rumah orang tua Zahra. Jujur saja wanita itu sudah tak kuat menahan kantuk. Hanya saja, di tidak bisa membiarkan Gibran membuka matanya sendirian. Dia ingin menemani sang suami. Rasa kantuk membuatnya beberapa kali bergerak tak terkontrol.“Tidur!”Mata Zahra langsung terbuka meski tak sepenuhnya. “Apa, Mas?” Zahra mengusap dan menutup mulutnya dengan tangan kanan.“Kalau ngantuk tidur!” perintah Gibran dengan lebih jelas. Dia tetap fokus ke ja
Di tempat yang berbeda, langkahnya menaiki anak tangga mulai melambat. Jantungnya berdetak kencang, perasaannya kembali tidak menentu. Saat memejamkan mata, Gibran seolah merasakan kehadiran Humaira. Bahkan, dia mematung saat berada di depan pintu kamarnya dengan Humaira dulu.Kilasan kenangan bersama Humaira kembali melintas. Senyum itu, senyum yang selalu menyambutnya setiap pulang kerja, rasa lelahnya hilang seketika. Kini, senyum itu sudah tidak bisa ia lihat. Meski ada wanita dengan wajah serupa, tetapi mereka berbeda. Zahra tidak akan pernah bisa menjadi Humaira atau menggantinya.“Assalamualaikum,” ucap Gibran sambil membuka pelan pintu kamarnya dengan Humaira. Gibran merasakan dadanya begitu sesak saat pintu terbuka lebar. Matanya turut terpejam, ia tengah menghirup wangi parfum Humaira yang menyentak indera penciumannya. Sungguh, dia sangat merindukan perempuan itu. Tidak ada yang berubah atau berbeda dari kamar ini.“Humaira,” gumamnya memanggil nama sang istri dengan mata
Berada dalam posisi sulit terkadang membuat seseorang ingin menyerah. Terlebih jika beberapa cara yang dilakukan dan diupayakan tidak bisa memecahkannya. Begitu pula yang dirasakan Zahra saat ini. Rasanya, dia ingin sekali menyerah dengan pernikahannya ini. Namun, janjinya terhadap mendiang kakaknya membuat Zahra kembali bimbang. Selain itu, ada Nazira yang menjadi pertimbangan terberat baginya.“Doakan Buna ya, Sayang.” Zahra menatap Nazira dengan lekat. Tangannya mengusap dengan lembut —penuh kehati-hatian— pipi Nazira. “Semoga Buna diberikan kekuatan untuk berada di sisi ayah kamu.”Zahra menghela nafas panjang. Dia kembali sesak saat mengingat perkataan Gibran tadi siang. Suaminya itu kembali memukul mundur dirinya tanpa melakukan kontak fisik. Secara verbal saya, Gibran sudah sangat menyakiti hatinya.“Jika nanti benar-benar sudah tidak sanggup,” —Zahra menatap anaknya dengan lekat. Tanpa sadar air matanya kembali menetes—, “Buna minta maaf. Tapi Buna sangat menyayangi kamu sampa
Sinar mentari tersenyum begitu lebar, memancarkan rasa hangat yang meliputi dua anak manusia yang tidur saling memeluk. Entah sadar atau tidak dengan posisi ini, tetapi mereka terlihat begitu nyenyak sekaligus nyaman.Jika seperti ini, keduanya terlihat seperti pasangan suami istri —yang sebenarnya—. Tidak ada kata-kata menyakitkan yang terucap dan kecewa saat mendengarnya.Perlahan-lahan, kedua mata yang terpejam itu mulai mengerjap. Keningnya sempat mengerut saat merasakan gangguan dari sinar mentari. Bahkan, tangannya digerakkan untuk menutup kedua mata, mencoba menghalau agar cahaya sang mentari tak.mengenai langsung wajahnya.“Enghh,” lenguhnya sambil menguap.Sedetik kemudian, tubuhnya terasa kaku. Matanya membulat sempurna saat melihat dada bidang seseorang. Dia tidak ingin merasa di atas awan dulu. Ia ingin memastikan apakah ini mimpi atau bukan.“Ini benaran?” tanyanya sambil menutup mata.Perlahan-lahan, kepalanya mendongak. Ia kembali membeku saat melihat pemilik dada bidan