Kakiku terasa lemah saat ku gerakan, seluruh kekuatanku seakan ikut menghilang setelah mendengar cerita Elsa barusan. Suamiku sebelumnya orang yang sangat baik, dia bukan lelaki gampangan yang mudah tergoda oleh seorang perempuan. Jadi aku belum bisa menyimpulkan apapun saat ini sebelum aku melihat kebej*dan suamiku melalui kedua mataku sendiri. Namun meski begitu tetap saja, ucapan Elsa terus mengganggu pikiranku. Aku takut kehilangan orang sebaik Mas Dani. Dia satu-satunya penguatku saat aku kehilangan kasih sayang Ayahku yang lebih mencintai putri keduanya yakni Anisa.
Baru saja membuka pintu kamar, aku menemukan suamiku dengan penampilan yang sudah rapih. Tak lupa lelaki itu menyemproti tubuhnya dengan parfum yang sangat wangi.
"Mas, kok sudah rapih. Mau kemana kamu?" tanyaku pada Mas Dani.
"Mau makan diluar." jawabnya tanpa mau menatap kearahku.
"Kok makan di luar, sih. Mas. Di rumah makanan masih banyak, loh!"
"Aku sudah kehilangan selera makan di rumah ini." jawabnya ketus sembari menggerakan kakinya ke luar kamar.
"Tunggu Mas, ini kan cuma masalah sepele. Kenapa kamu bereaksi sampai separah ini?" Aku mengejar lalu mencengkal lengan suamiku. Mencoba menahan lelaki itu agar tidak pergi.
"Masalah sepele gimana? Sikapmu akhir-akhir ini menyebalkan banget, La. Sudah tiap hari bangun telat, marah-marah enggak jelas lagi sama adikmu. Kamu mau mempermalukan Mas di depan keluargamu?"
Mas Dani malah jadi mengungkit kesalahanku yang beberapa hari ini selalu bangun kesiangan. Padahal sebelumnya dia tak pernah mempermasalahkan hal ini.
"Mas, adik perempuanku itu jelas-jelas sudah melakukan hal di luar batas. Sebagai kakaknya emang enggak boleh ya aku nasehatin dia? Niatku padahal baik Mas, aku enggak mau adikku kenapa-kenapa. Masa depannya masih panjang, aku takut saja dia menyesal nantinya!"
"Niat kamu memang bener, tapi cara nasehetin kamu yang salah, La. Harusnya kamu merangkulnya, bicarakan ini baik-baik ketika kalian sedang berdua saja. Bukan malah memarahinya ketika banyak orang seperti tadi. Enggak kebayang betapa sakit hatinya Anisa saat di permalukan kamu di depanku dan ibumu!"
Aku akui kali ini aku salah, karena emosi aku langsung saja mengintrogasi adikku tanpa memikirkan perasaan wanita itu. Tapi sungguh aku tak berniat mempermalukannya. Semua reflek terjadi begitu saja.
"Betul katamu, Mas. Aku memang salah karena menegurnya pada saat enggak tepat seperti tadi. Aku minta maaf, jadi tolong enggak usah pergi. Yuk, aku temenin kamu makan di bawah!" bujukku. Aku mencoba meredakan amarah suamiku. Pertengkaran ini takan ada ujungnya kalau tidak ada yang mau mengalah.
"Aku baru mau makan di rumah kalau kamu sudah minta maaf sama adikmu. Kamu mau minta maaf sama dia?"
Aku membeku sambil menatap lurus kearah suamiku. Seberubah ini suamiku sekarang. Delapan tahun menikah dengannya aku selalu di perlakukan seperti ratu di rumah ini. Tak sekalipun lelaki ini membentakku sebelum pada akhirnya dia selalu membela Anisa seperti saat ini.
"Apa perasaan Anisa sekarang lebih penting buat kamu ketimbang aku, Mas? Kamu enggak sadar, permintaanmu barusan sangat melukai hati aku?" Aku berucap tanpa sadar cairan bening lolos begitu saja dari pelupuk mataku.
"Mulai baper lagi, kamu. Sudahlah Aku malas meladeni wanita pemarah yang baperan seperti kamu!" suamiku menepis tanganku kemudian melanjutkan langkahnya. Aku menatap penuh amarah kearah lelaki yang sudah sangat berubah itu.
Saat hendak berbalik menuju kamarku lagi, pintu kamar Anisa terbuka. Wanita itu pun terlihat sudah bernampilan rapih dengan mengenakan sling bag di tubuhnya.
Tunggu, kenapa Anisa dan Mas Dani ingin keluar rumah saat bersamaan seperti ini. Mereka tak janjian kan?
"Mau kemana kamu, Nis?" tanyaku pada wanita pembuat masalah ini. Anisa mengunci pintu sembari menjawab ketus pertanyaanku.
"Mau jumpa temen!"
"Jumpa temen, dengan baju seperti itu?" tanyaku sambil menunjuk kearah dress seksinya.
"Bukan urusan Mbak!" jawabnya sinis.
"Nis, Mbak perhatikan sikap kamu akhir-akhir ini kok makin kurangajar, ya? Kamu pikir karena suami Mbak selalu belain kamu, kamu jadi bisa semena-mena ngelawan Mbak gitu?"
"Aku enggak punya waktu ngeladenin Mbak. Temenku sudah nungguin aku diluar. Minggir!" Anisa makin berani bersikap kurang aj*r.
"Denger ya, Nis. Mbak tunggu perubahan sikap kamu, jika kamu masih berani kurangaj*ar lagi sama Mbak, sumpah Mbak enggak mau lagi ngurusin kamu juga ibu. Silahkan kalian keluar dari rumah ini!"
Aku tak benar-benar ingin mengusir adik dan ibuku, ini hanya gertakan untuk kembali membuat Anisa menjadi adik manisku.Tapi, jika dia masih tak mau berubah, terpaksa aku benar-benar akan mengusirnya. Daripada rumahtanggaku dan Mas Dani hancur berantakan karena wanita ini, lebih baik dia pergi saja dari sini.
Mata Anisa terlihat berkaca, mungkin dia tak menyangka aku tega mengusirnya dari rumah suamiku.
Anisa pun pada akhirnya memilih tetap pergi. Dia menabrak sebagian bahuku saat melewati tubuhku. Hal ini seolah memberi tanda bahwa dia takut sama sekali dengan ancamanku. Aku menatap kepergian wanita itu dengan perasaan sangat jengkel.
Saat Anisa sedang berjalan menuruni anak tangga, bergegas aku lari ke balkon. sekedar memastikan kalau wanita itu keluar dengan Mas Dani atau tidak.
Dari balkon kamar, ku lihat teman dekat Anisa yang bernama Ririn sudah ada di depan pagar rumah. Aku pun pada akhirnya bisa bernafas lega ketika melihat Anisa menghampiri Ririn lalu mereka berboncengan pergi dengan motor milik Ririn. Kecurigaanku salah, ternyata Mas Dani dan Anisa tidak janjian keluar bersama.
Hari minggu yang membosankan, biasanya satu harian full di temani oleh Mas Dani tapi kini tidak lagi. Gara-gara pertengkaran kami, aku di tinggalnya sendiri di rumah.
Karena bosan akupun mengambil ponselku, mendengarkan musik favorit ku rasanya bisa sedikit mengobati perasaan kacauku saat ini.
Bosan mengulang lagu yang sama beberapa kali, akhirnya aku berselancar ke media sosial. Baru saja membuka akun f* ku tiba-tiba mataku menyipit melihat status yang adikku posting di wall pribadinya
'Makan siang yang sangat berkesan. Makasih ya, sayang!!!'
Anisa memamerkan beberapa hidangan mewah dan beberapa papper bag yang berlogo butik ternama. Harga satu pakaian di butik itu saja jutaan rupiah dan Anisa membeli bukan hanya satu pakaian saja. Aku penasaran siapa yang belikan Anisa barang-barang mahal itu. Kalau pacarnya masih bocah SMA sepertinya tidak mungkin. Mengingat Anisa di belanjakan barang-barang semahal itu pasti pacar Anisa orang kaya.
Hari menjelang sore, aku membantu Bik Yuli menyirami bunga di halaman rumah ini. Saat kami sedang asik berbincang, aku melihat sebuah taksi berhenti di depan pagar. Aku dan Mbok Yuli kompak melihat kearah taksi tersebut.Seorang wanita dengan dres seksi yang di kenakannya membuat moodku yang awalnya baik-baik saja seketika berubah menjadi buruk. Wanita itu adalah Anisa, adik tiriku yang tak tau terimakasih itu."Mbok, bukain gerbangnya dong!" mohon Anisa sambil berdiri tepat di depan pagar."Mbok Yuli sedang sibuk, kamu kan punya tangan. Mending langsung buka saja dengan tanganmu. Enggak usah ngerepotin orang yang lagi sibuk!""Aku bawa banyak barang, Mbak. Susah!" ucapnya sambil memamerkan beberapa papper bag yang ada di tangannya."Susah gimana, Nis. Kamu loh tinggal letakin papper bag itu lalu geser gerbangnya. Apa susahnya?"Wajah Anisa cemberut, namun meski begitu wanita itu tetap melakukan seperti apa yang ku suruh. Setelah selesai, dia berjalan melewatiku, aku membiarkannya lew
Hari yang sangat melelahkan, setelah semalaman tadi Mas Dani menguras tenagaku, pagi ini aku di sibukan dengan aktivitas mencuci pakaian yang menggunung milik Mas Dani juga Elsa. Pagi ini mbok Yuli izin pulang karena mendadak anaknya sakit, jadi dia tak sempat mencucikan baju kami semua.Saat aku hendak menyikat celana milik Mas Dani yang dia gunakan semalam. Tak sengaja aku menemukan beberapa lembaran uang biru dalam saku celananya. Dan diantara uang-uang tersebut, aku menemukan sebuah nota pembelian dari salah satu butik ternama di kota ini.Melihat nominal yang tertera dalam nota itu membuat mataku membulat sempurna. Buat apa Mas Dani menghabiskan hingga sepuluh juta rupiah dalam waktu sehari saja.Ku baca satu persatu barang yang Mas Dani beli. Aneh, kenapa dia membeli baju wanita?Aku membungkam mulutku sendiri saat mengingat kalau butik yang di datangi Mas Dani ternyata sama dengan yang Anisa datangi kemarin. Jadi benar dugaanku sebelumnya kalau mereka sebenarnya janjian pergi?
Pintu kamar terdengar terbuka, aku yakin itu Anisa. Nafasku sudah kembang kempis rasanya karena tak sabar ingin mencakar mukanya, namun setelah mempertimbangkan lagi dampak yang akan terjadi, aku mencoba untuk menahan diri. Aku hanya ingin tahu sejauh mana mereka berhubungan di belakangku selama ini. Baru setelahnya aku bisa mengambil keputusan."Kalau kamu menuruti Mas untuk pergi ke hotel saja tadi pagi, Mas enggak akan repot-repot buat Ola tidur seperti ini!"Apa? Jadi ternyata Mas Dani tadi pagi menyusul Anisa, bukan karena ada meeting di kantornya seperti yang ia katakan padaku?Dasar pembohong!"Aku kurang bergairah kalau di hotel, Mas. Tiap denger desah*n dan er*nganmu di samping Mbak Ola itu memberi kepuasan sendiri buat aku!"Ya Tuhan, dadaku rasanya sesak sekali mendengar ucapan adik tiriku. Apa yang membuat wanita itu sangat membenciku, padahal selama ini aku sudah memperlakukannya dengan sangat baik. Pada kesempatan tertentu aku memang sering tak bisa mengontrol emosi keti
"Ola, ini semua tidak seperti yang ada dalam pikiranmu!" ucap Mas Dani setelah ia bangkit. Terlihat Anisa bersembunyi dengan tangan gemetar di belakang tubuhnya. Entah kemana keberaniannya menghilang padahal saat aku pura-pura tidur tadi dia sangat menikmati caciannya yang tak henti ia lontarkan padaku."Enggak seperti yang aku pikirkan gimana? Dari awal kalian bicara aku sudah mendengarnya. Gila kamu Mas, tega-teganya kamu melakukan ini di belakangku!""Mas cuma--""Cuma apa? Nafsu? Dasar memang kamu doyan sama pelakor kecil ini!" teriakku kemudian melemparkan lagi semua barang yang ada di sekitarku. Mas Dani melindungi gund*knya dari seranganku menggunakan tubuhnya. Sebegitu takutnya dia kalau seranganku akan membuat gund*k kecilnya terluka."Hentikan Ola, kamu jangan kaya orang kesetanan gini!" ucap suamiku. Aku tak peduli dengan ucapannya hingga pada akhirnya saat aku meraih vas bunga yang lumayan besar, Mas Dani berlari kearahku dan menggagalkan seranganku.Plak!Sebuah tamparan
"Enggak ada gunanya menangis, ayo kita bawa Elsa ke rumah sakit sekarang juga!" ucap suamiku sambil mengambil alih Elsa dari pangkuanku. Tak ku pedulikan darah Elsa yang ikut mengotori bajuku. Kami harus sampai ke rumah sakit secepatnya agar putri kecilku segera mendapatkan pertolongan."Mas, aku ikut!"Anisa merengek ikut layaknya anak kecil yang tak mau ditinggal Ayahnya pergi tanpa peduli keadaan sedang sangat genting seperti ini. Benar-benar tak tahu malu."Kamu jaga rumah saja, Mas buru-buru!" ucap suamiku sambil meletakan Elsa dalam pangkuanku di jok mobil belakang."Mas, aku enggak mau di tinggal sendiri di rumah. Aku maunya selalu sama kamu! Pleace, aku ikut ya!" rengeknya sekali lagi sembari menahan tubuh suamiku agar tidak masuk dalam mobil.Rasanya ingin sekali mencakar wajah adik tiriku sekali lagi. Elsa sedang bertaruh nyawa di pangkaunku tapi wanita itu seolah sengaja mengulur waktu agar kami terlambat ke rumah sakit."Kamu enggak mikir ya kalau sekarang keadaan Elsa lag
Pov Anisa"Nis, layar ponsel kamu sudah retak gitu. Enggak mau ganti ponsel?" tanya temanku yang bernama Bening."Iya, Nis. Masa dari kelas satu aku lihat ponsel kamu enggak pernah ganti. Enggak bosen apa pakai ponsel buruk kamu itu terus!" temanku Intan menimpali. Aku sangat malu mendengar ejekan mereka, akhirnya aku jawab sekenanya saja."Minggu depan aku ganti kok ponselnya. Kata kakakku, minggu depan suaminya baru gajian jadi harus sabar dulu sementara ini!""Kakakmu orang kaya, masa mau belikan ponsel kamu saja nunggu suaminya gajian sih!" Aku menunduk malu mendengar ucapan Intan."Mbak Ola kan dari dulu orangnya pelit. Aku tahu juga dari kakakku yang kebetulan dulu satu sekolah sama dia!" Dalam hatiku membenarkan ucapan Bening barusan, Mbak Ola memang sangat pelit, jangankan ponsel. Uang sakuku saja selalu dia kasih pas saja. Aku harus selalu gigit jari melihat temen-temenku yang selalu shoping sepulang sekolah karena uang saku mereka yang banyak."Kakakmu kaya tapi pelit, masa
Pov AnisaPlak!Sekali lagi Ibu Mas Dani menamparku dengan sangat kuat, rasanya sama perihnya dengan tamparan yang pertama."Dasar wanita enggak tahu terima kasih. Di kasih tumpangan di sini malah godain suami kakak sendiri!"Sial, jadi aku gagal mencuci otak ibu mertua Mbak Ola. Malah sekarang jadi senjata makan tuan buatku."Maaf, ya, jeng. Jangan salahin anak saya saja, anak situ kalau enggak kegatelan sama anak saya, semua ini enggak mungkin terjadi!"Tatapan ibu Mas Dani beralih ke ibuku, dia maju beberapa langkah sembari mencekeram kerah baju ibuku."Aku yakin kamu dalang di balik semua perbuatan bej*d mereka berdua kan?"Sebenarnya ucapan Ibu Mas Dani benar, ibuku yang awalnya menyuruhku untuk memakai baju seksi sehingga Mas Dani tergoda dengan kemolekan tubuhku. Tapi kenapa ya, meski ucapannya benar aku tetep enggak terima dengan tuduhannya."Ya ampun, jeng. Jangan fitnah sembarangan, ya. Saya saja terkejut mendengar kabar ini. Seharusnya yang marah itu saya. Saya pihak dari p
Pov Anisa"Mas, kamu jadi suami kok bod*h banget. Katanya enggak cinta sama Mbak Ola, nyatanya semua uang tabunganmu kamu percayakan sama wanita itu. Gimana, sih!"Jujur, aku sangat kecewa pada Mas Dani. Setahuku Mbak Ola cuma di kasih setengah gajinya saja, tapi di luar dugaan lelaki itu juga mempercayakan uang tabungannya pada Mbak Ola. Kalau ceritanya begini, aku tidak akan sudi mau tidur dengannya. Rugi dong, kalau aku tak sampai dapat apa-apa.Memang sih beberapa hari ini sudah tumbuh benih-benih cinta untuk lelaki itu, tapi makan cinta saja aku enggak mungkin bisa kenyang. Aku butuh uang dan kemewahan agar teman-temanku tidak pernah lagi memandangku sebelah mata."Ola orangnya hemat, makanya Mas percayakan uang Mas pada dia. Lagian dia enggak pernah banyak bertanya kalau Mas sewaktu-waktu mau ambil uang buat kebutuhan mendesak ataupun buat kebutuhan Nayla.""Terus tiap bulan Mas cuma dapet capenya saja kalau semua uang Mas percayakan pada Mbak Ola?" tanyaku semakin geram."Ya en