Drap!
Drap!
Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya.
Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat.
Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Seorang gadis duduk dengan raut tidak tenang, itu tampak di wajah putihnya yang kian memucat disertai peluh sebesar biji jagung menetes pelan di dahinya. Dalam 17 tahun hidupnya, tidak pernah ia merasa segugup dan secanggung ini—benar, ini adalah kali pertamanya ia dihadapkan pada suasana seperti ini dan di situasi yang bahkan tidak pernah terbayangkan, seperti sekarang. Menghela nafas panjang dan berat, gadis itu mendongak menatap ke tujuh orang di seberang mejanya. Tampak wajah-wajah baru dengan ragam ekspresi balas menatapnya. Di depannya, seorang pria berwajah cukup sangar dengan brewok yang tumbuh di sepanjang garis rahangnya yang tegas, terlihat menakutkan didampingi tatapan mengintimidasi yang nyata, membuat nyalinya seakan ciut. Padahal jika menilik dari kehidupan gadis itu, ia adalah gadis cerewet pula pemberontak.
"Aku. Tidak. Mau." Ramlan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut mendengar Rendi terus menolak keputusannya. Sungguh, anak bungsunya itu sangat pembangkang, belum lagi ia harus dihadapkan dengan seorang menantu labil tidak kalah menyebalkan. "Kamu pikir aku mau satu sekolah dengan mu? Tidak," Anya membalas ketus, sembari bersedekap di kursinya. Menatap Rendi dengan marah. Ramlan membuang nafas kasar. Sudah dua minggu sejak Anya bergabung dalam keluarganya dan gadis itu bahkan tidak sekalipun tampak menghormatinya. Apakah ia terlalu lunak kepada anak dan menantunya? Entahlah, ia hanya membutuhkan Rayland sekarang; membantunya mengatur kedua bocah tersebut. Rayland sendiri sedang dalam perjalanan bisnis, dan baru akan pulang besok bersama ana
Terhitung sudah empat minggu sejak Anya menjadi menantu Adiptara. Dan sejak saat itulah keluarga Adiptara benar-benar dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa anggoa baru yang mereka bawa ke rumah itu—benar-benar ajaib. Gadis itu sama sekali tidak pernah diam dan seringkali membuat keributan di mansion. Rendi yang pemarah dan cukup labil menjadi sasaran empuknya untuk melakukan ulah. Bukan hanya Rendi—Ramlan Ady Adiptara—yang notabene-nya adalah mertuanya sendiri, pun ikut menjadi korban kejahilan akan tingkah ajaibnya. Pria yang kelihatan sangar diluar itu, sungguh kelimpungan menghadapi sikap anak bungsu serta menantunya sendiri. Kemungkinan besar, orang lain berpikir, Anya dan Rendi merupakansepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Lantas menganggap hal-hal yang mereka lakukan, seperti sal
Anya sungguh terkejut mendapati Rayland sudah berada tepat di depannya. Mengapa pria itu ada di sini? Tidak biasanya pulang sangat cepat. Ataukah karena menyadari ponsel yang selama ini tidak pernah lepas dari tangannya—tiba-tiba tidak berada di sekitarnya—dan menyadari bahwa ponsel itu tertinggal di rumah, di ruang kerjanya? "Berikan ponselku, Anya!" titah Rayland tertahan, mencoba meredam emosinya yang membara. Gadis itu bergeming. Anya tidak tahu harus melakukan apa. Ia sungguh tidak ingin menyerahkannya. Anya merasa perlu memastikan siapa wanita yang beberapa saat lalu menelfon suaminya. Oh! Sekarang ia bahkan terdengar bagai istri yang tengah memergoki suaminya selingkuh. Tetapi, kenyataannya memang terdengar demikian. Melihat aura Rayland yang paling
"Apa kamu lumpuh? Cepatlah bodoh!" Anya mendelik menatap Rendi yang baru saja membentaknya. Gadis kurus itu lantas menarik koper berukuran jumbo yang tidak lebih besar dari badannya sendiri. Menarik koper dengan tergesa ia segera menyusul pemuda pms itu yang sudah berjalan jauh di depan. Meninggalkan bandara menuju mobil pribadi keluarga Adiptara yang sudah lebih dulu menunggu. Dan meninggalkan dia dengan koper besarnya. Mengapa tidak ada pelayan seperti biasanya? Anya berteriak! Kendati kesal. Tetapi Anya memilih diam, tidak mengatakan apapun. Sekarang ia sungguh senang. Rayland dengan tegas mengatakan keluarga ini akan berlibur ke pulau Dewata, Bali. Tapi mengapa harus Bali? Anya bukan ingin ke lain tempat atau keluar negeri. Hanya s
Ketika Anya berpikir Rayland akan sangat marah. Nyatanya ia salah. Pria itu justru menampakkan raut yang tidak bisa Anya sangka. Rayland terlihat sangat tenang, seolah emosi yang beberapa saat lalu ia tunjukkan tidak pernah ada. Bahkan, aura gelapnya yang pekat menghilang dengan cepat dari tubuh tegapnya. Menyisakan tatapan dinginnya kembali, sembari menatap Anya dengan rendah. Anya meringis! Bisakah pria itu berhenti menatapnya demikian? Anya mungkin masih bisa menerima, jika ditatap dengan dingin atau datar—tetapi rendah? Oh! Anya juga manusia yang punya perasaan sekalipun ia hanyalah orang biasa. Memilih memalingkan wajah, Anya menghela nafas sebentar. Menunggu reaksi apa lagi yang akan ditunjukkan Rayland setelah apa yang gadis itu tanyakan. Jujur saja—ia sendiri tidak tahu mengapa