Suasana penampungan yang berada di tengah kota metropolitan memudahkan akses tele komunikasi dan transportasi dari dan menuju lokasi penampungan Tenaga Kerja Wanita, tempat Diana di karantina selama beberapa bulan lamanya.
Diana termasuk salah satu peserta pelatihan praktik kerja yang mudah menangkap dan memahami instruksi yang diberikan oleh trainer dengan cepat. Kecerdasan yang dimiliki oleh Diana mungkin berada di atas rata-rata kemampuan banyak wanita lainnya, sehingga dia termasuk salah seorang peserta terbaik yang menjad primadona disana.
Kecakapan dan kegesitan Diana dalam menjalankan instruksi dari pelatih menyebabkannya mendapat persaingan dari teman se karantinanya yang merasa cemburu dengan kelebihan yang dimiliki Diana dalam menangkap setiap perintah yang diberikan dalam p
Diana menangis histeris diujung ranjang, dia meratapi dirinya yang telah dinodai oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Pria biadab dengan kasar merenggut mahkota berharga miliknya begitu saja tanpa dihalal terlebih dahulu, satu kesalahan terbesar telah menodai kehidupannya yaitu dosa zina. Tapi dirinya dalam keadaan tidak berdaya, bukan dilakukan atas dasar suka sama suka melainkan dilakukan dalam keterpaksaan atau pemerkosaan lebih tepatnya. “Sudah, janganlah kamu menyesalinya. Toh, kamu juga bukan lagi seorang perawan!” ucap pria tadi menyindir kesedihan Diana yang masih terus menangisi keadaan dirinya. “Bapak bisa berkata seperti itu. Dasar bejat! Tidak punya perasaan sedikitpun
Diana sudah mandi, sarapan dan membantu Mbah Paniyem membersihkan rumahnya saat seorang pemuda terhuyung berjalan memasuki rumah hingga menyenggol benda-benda yang berada di dekat kakinya. Dari mulut tercium aroma sendawa minuman yang mengandung alkohol. “Tono!” teriak ibunya memaki ketika tak sengaja kakinya menumpahkan ember yang berisi air untuk mengepel lantai rumah.“Ini anak kerjanya cuma mabuk saja!” Seorang pria muda dengan tubuh atletis memasuki rumah dalam keadaan teller sehabis menenggak minuman keras, seperti bir atau lainnya. Pria muda yang dipanggil Tono oleh Mbah Paniyem ini masih berumur sekitar dua puluh lima tahun dengan tubuh kekar dan berotot serta bertato naga di lengan kirinya. Sepertinya pria ini menyandang masalah social yang memerlukan pertolo
Suasana pagi yang cerah, cahaya mentari tampak garang menyinari alam semesta. Panasnya mulai terasa mengenai kulit wajah yang terkena pancaran cahayanya. Terlihat keramaian mulai tampak di lokasi penampungannya Diana. Hiruk pikuk serta riuh rendah suara para penghuninya membuat kesibukan masing-masing. “Hai, Diana. Apa kabar?” tanya Mbak Minayah menemuinya di aula menebar senyum seakan tak terjadi apa-apa diantara mereka. “Baik, Mbak!” jawab Diana tenang membalas senyum Mbak Minayah. “Ceritain ya bagaimana cara kamu bisa keluar penyekapan?” kata Mbak MInayah menyeledik. 
Sore harinya, terlihat Mbak MInayah menemui Diana di kamarnya. Sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikannya sehingga harus bertemu langsung tanpa diketahui oleh orang lain. “Ada apa, Mbak?” ucap Diana menanyai Mbak MInayah ada keperluan apa dirinya sengaja bertamu ke kamarnya. “Boleh, Mbak masuk?” tanyanya memohon. “Boleh!” jawab Diana mempersilahkan mbak minayah masuk. “Tutup pintunya, Diana!” pintanya agar Diana menutup pintunya. Diana masih ter
Tinggalkan Diana dengan kisahnya yang sedang menunggu masa keberangkatan ke luar negeri. Kini saatnya kita menengok ke kampung halaman di mana orang tua dan anaknya, Maya ditinggalkan. Sejak kepergian Diana meninggalkan kampung halamannya, tetua adat bermusyawarah kembali karena banyaknya permintaan masyarakat adat untuk memberikan sangsi yang sama kepada kedua orang tua Diana yaitu diusir dari kampungnya. Pengusiran keluarganya agar memberikan efek jera bagi kaum adat yang lainnya sehingga tidak berani melanggar hukum adat dan ke depannya tidak akan ada lagi warga yang berani menentang hukum adat karena takut kehilangan harta benda dan diusir dari ke luar kampung. Dengan demikian akan memudahkan tetua adat dalam memimpin kaumnya agar kembali rukun dan damai, menuruti semua titah hokum adat yang berlaku sekalipun menurut pandangan sebagian warga sudah tidak relevan dengan kemajuan zaman
Tiga hari kemudian, sekelompok kaum batin muda berkumpul di suatu tempat yang biasa mereka berkumpul membahas belum berhasilnya tetua kampung mengusir keluarga Pak Wardi dari kampung adat mereka. Mereka menganggap tetua kampung gagal dalam menjalankan misi yang mereka sampaikan sehingga mereka sepakat untuk melaksanakan eksekusi sendiri kaum batin muda tanpa meminta izin atau ikut campur kaum tetua adat lagi yang dianggap lamban dalam menyikapi suatu masalah. “Kita kaum batin muda harus bertindak sendiri, sepertinya tetua adat gagal membujuk keluarga Pak Wardi untuk meninggalkan kampung adat kita,” ucap sekretaris batin muda memulai orasinya di hadapan teman-teman anggota perkumpulan batin muda di kampungnya. “Iya, sepertinya kaum tua terlalu lemah dan mudah kasihan
Bu Wati tak lagi mau mendengarkan nasehat siapa saja yang berusaha membujuknya agar segera pergi meninggalkan kampung adat sebelum kaum batin muda membuat keonaran di rumahnya nanti malam. Wanita keturunan pendekar itu telah mengasah pedang pusaka yang dimilikinya dan menyarungkan kembali setelah diberinya perahan jeruk nipis, sebagai pertanda pedang itu siapa mencari darah segar. “Paaghan, ingat ngah Maya dan kakakan, suami serta cucumu,” tangis Bik Ros menasehati keputusan Bu Wati akan duel menghadapi Rojali ketua kaum batin muda nanti malam. “Kepalangan harga diriku sudah diinjak-injak lebih baik aku mati berkalang tanah!” kata Bu Wati membulatkan tekadnya telah siap masih hidup atau mati nanti dalam duelnya mempertahankan gengsi dan harga diri.
Pak Wardi dan istrinya berjalan terus melewati lebat pohon karet, kebun kopi atau kebun sawit milik warga, tanpa kenal lelah. Mereka harus bisa mencapai pematang di luar kampung adat bagaimanapun caranya agar aman dari kejaran penduduk kampung adat. Dua lereng perbukitan pematang panjang harus mereka daki dan turuni demi mencapai kabupaten tetangga, terutama areal hutan kawasan register. Kaki yang letih dan terluka tak mereka hiraukan sampai rasa sakit mendera seluruh kakinya barulah mereka berhenti mengaso sebentar untuk melepas penat sambil berjaga-jaga kalau ada orang yang mencurigai. Rasa haus dan lapar menyebabkan perjalanan mereka agak terhambat apalagi melewati padang rumput pakis berduri yang lebat sangat sukar dilewati, dan tajamnya sisi mata batang pakis membuat luka di beberapa bagian kaki mereka.