Pak Camat keluar dari ruangan sementara istri Pak Sekcam masih terlihat sangat marah kepada suaminya, dengan gemetar bibirnya menahan emosi yang meluap sampai ke ubun-ubun kepala. Bujuk rayu Pak Sekcam dalam melunakkan hati istrinya yang sedang full emosi tak mempan, malah suaminya dibentaknya dengan suara yang keras,
”Ini kehendak Papa!” ujarnya sambil menghujam belati kecil yang terselip di dalam tas membeset kulit tangan yang mulus.
Seketika darah keluar dari jari tangan Bu Sekcam yang tanpa disadari telah melukai dirinya sendiri dengan menorehkan belati kecil yang selalu dibawa kemana-mana untuk memperingatkan Pak sekcam agar tidak main-main dengan perempuan di belakangnya.
“Mama, ini sudah gila!” bentak Pak Sekcam mengambil belati kecil dan melemparkannya ke lantai, sambil menotok jalan darah yang terus mengalir di lengan istrinya yang terluka.
“Inilah akibat kalau Papa berani selingkuh!” kata istrinya dengan suara yang keras.
“Papa tidak selingkuh! Mama saja yang cemburuan, terlalu mudah diprovokasi oleh orang yang tidak bertanggungjawab,” ujar Pak Sekcam menyudutkan kecemburuan membabibuta istrinya selalu membawa masalah di tempat kerjanya.
“Mana ada lelaki selingkuh yang mau mengaku, Pa! Kalau semua pria selingkuh mengaku maka penjara akan penuh oleh suami nakal yang tergoda gadis atau janda ga***.”
Pak Sekcam dan istrinya sedang perang besar di ruangannya, terdengar suara pintu dibanting keras oleh istrinya agar tertutup rapat. sehingga tidak ada satupun staf atau warga yang melihat pertengkaran diantara kedua pasangan suami istri tersebut. Untuk sementara Pak Sekam sedang berusaha meredakan emosi sang istri yang tersulut cemburu oleh foto dan video receh hasil editan.
Sementara di sudut ruangan pelayanan umum, nampak dua orang staf perempuan tertawa senang sekaligus geram melihat kejadian salah sasaran.Dua orang wanita berparas jelita yang culas mengenakan seragam dinas sedang asyik melihat dari kejauhan kejadian salah paham antara orang nomor dua di kecamatan ini dengan istrinya sendiri.
“Sial!” umpat salah seorang diantaranya, ”Sudah membayang muka Diana akan ditampar keras , tapi malah tangan Bu Sekcam yang luka.”
“Bukannya Diana dan istrinya Pak Wongso yang berantem, sekarang malah mereka berdua suami istri yang berantem,” ungkap mereka kesal dengan perangkap mereka yang tidak sesuai prediksi.
Keberadaan mereka yang mencurigakan karena tatapan tajam dan penuh kebencian serta sinis ketika melihat Diana, terpantau oleh staf lainnya yang merasa kalau dua orang staf perempuan ini sedang memainkan sandiwara.
Begitu Diana memasuki ruangan kerja, sementara mereka masih di dalam. Mereka mendekati Diana dan mengajaknya ribut dengan berusaha memancing emosinya.
‘Selamat ya Diana! Masih dilindungi Pak Camat,” ungkap salah seorang diantaranya.
“Makanya jangan sok kegenitan. Ini baru permulaan, Ingat!” ancam satunya lagi sambil menunjukkan jari telunjuknya kepada Diana.
“Ingatin itu! Jangan sok belagu. Kirana mau dilawan,” ucap seorang wanita yang ternyata bernama Kirana mengingatkan Diana agar tidak bertingkah sok cantik dan sok pintar, yang membuat mereka marah karena merasa terganggu semenjak kehadirannya sebagai tenaga honor di kecamatan ini.
“Apa salah saya, sehingga kamu berdua begitu benci!” kata Diana meminta keterangan dari mereka. Perasaannya selama ini dirinya tidak pernah berusaha mengusik urusan kedua staf perempuan yang memang sering mencari sensasi dan bertempramen kasar.
“Kamu masih bertanya apa salah kamu?” ucap mereka tak senang karena Diana berani melawan.
“Salah kamu karena kamu bekerja sebagai staf honorer di kecamatan ini!”
“Memangnya apa kesalahan saya honor di sini?” tanya Diana yang semakin membuat mereka naik pitam.
“Masih berani bertanya lagi! Dasar jab*** tak tahu diri!” maki Kirana merendahkan Diana.
Spontan naik darah Diana mendengar harga dirinya dilecehkan seperti itu. Diangkatnya tangan hendak dikepalkannya meninju wajah tirus Kirana, wanita yang telah merendahkan harga dirinya tersebut.
”Stop! Sudahlah Diana jangan ladeni mereka,” Tiba-tiba terdengar suara Yuli menggema melerai pertikaian mereka.”Ini hanya siasat supaya kamu dikeluarkan jika berbuat onar. Mereka sudah siap merekayasa dan melaporkan kamu ke Pak Camat dengan tuduhan keji.”
Diana mengurungkan niatnya, seketika diturunkan tangannya. Kalau tidak sudah terjadi perkelahian yang tidak seimbang, dua melawan satu di ruangan pelayanan publik ini. Dua staf yang sangat terbawa emosi untuk menghakimi Diana ternyata harus menunda niatnya karena kehadiran Yuli yang datang tepat pada waktunya sehingga menyelematkannya dari sifat bar-bar kedua wanita tadi.
“Heran, ya dengan kalian berdua. Perasaan setiap ada staf baru perempuan yang lebih cantik dari kalian, selalu dijahati dengan fitanah-fotnah keji,” ungkap Yuli marah menatap kedua orang tersebut dengan senyum sinis penuh kebencian juga.
“Kamu Yul! Nggak usah ikut campur urusan kita,” bentak salah satu dari mereka berusaha menakiti Yuli.
“Saya akan ikut campur jika kalian membuat keributan di ruang kerja!” bentak Yuli dengan suara keras menatap keduanya geram.
“Mau sok jadi pahlawan kesiangan kamu!” umpatnya sambil menatap tajam sorot mata Yuli.
“Kalian silahkan keluar dari ruangan ini, kalau tidak saya laporkan ke Pak Camat sehingga kalian diberhentikan dari staf kecamatan ini,” ancam Yuli memperingatkan mereka berdua agar segera keluar mencari ruangan lain.
“Enggak usah kamu usir. Kita juga mau keluar, Yuli. Siapa juga yang mau seruangan dengan janda gat**,” ucap mereka sambil pergi keluar meninggal Diana dan Yuli yang masih tidak habis pikir dengan ulah mereka yang selalu mencari keonaran di tempat kerja.
Diana melirik kepergian dua orang musuh bebuyutannya dengan tatapan tajam penuh kegusaran, dalam hatinya bergejolak perasaan ingin membungkam mulut kotor mereka yang sudah berani mengatai dirinya seperti barang sampah saja layaknya.
“Diana, kamu juga kalau ada mereka jangan masuk ruangan sendirian, Tunggu aku atau Eko datang untuk menemani kamu kerja agar tidak berani mereka menganggu kamu,” pesan Yuli mengingatkan.
“Maaf,Yul. Aku nggak menyangka mereka mau menjahati, makanya aku masuk saja. Kalau tahu mereka mau menjaili, tentu saja aku menunggu kamu dulu, baru masuk ruangan.”
“Lain kali, jika aku, Eko atau Fitra belum datang. Sebaiknya kamu tunggu di ruangan lain dulu,” pesan Yuli kepada dirinya.
Diana mengangguk perlahan. Dalam benaknya masih belum mengerti sepenuhnya mengapa meeka memusuhi dirinya, padahal dia tidak pernah mengusik keberadaan dan tingkah laku mereka berdua mereka yang terkenal brutal dan suka melawan serta mengerjai kawan sendiri.
“Tenang saja, Diana. Kamu tidak usah takut dengan mereka. Mereka sudah menerima SP 2 dari pimpinan kita, menerima 1 surat peringatan lagi mengantarkan mereka harus meninggalkan kantor lebih dahulu daripada kita alias dipecat!” kata Yuli menerangkan kalau kedua orang musuh Diana hanya tinggal menerima satu kali lagi surat teguran, maka harus siap diberhentikan sebagai pegawai honorer.
Sejak kejadian saat itu, Diana mengintrospeksi dirinya. DIa mulai menjaga jarak kedekatan dengan Pak Sekcam, sehingga jika berada di ruangan mengajak Yuli atau Eko sebagai teman. Jika harus melakukan lawatan perjalanan ke kampung, Diana pun tidak mau dibonceng Pak Sekcam lagi. Menghindar dan menjauh ketika sudah melihat sang pembuat onar.
Bekerja bagi Diana adalah mencari uang dan pahala bukan mencari musuh, karenanya belajar dari beberapa pengalaman yang didapatnya selama ini mengajarkannya banyak hal tentang cara bersosialisasi, berinteraksi maupun bermobilisasi sehingga tercipta suasana yang kondusif dan menyenangkan jauh dari fitnah dan pertikaian.
==BERSAMBUNG BAB 8==
Kirana semakin marah, benci dan tidak suka dengan Diana yang sudah dipercaya oleh atasan untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya mereka kerjakan. Sekarang malah mereka yang dikucilkan oleh teman-teman sehingga mereka dijauhi dan tidak dipercaya lagi mengerjakan job pelayanan administrasi kependudukan.Mereka juga sering ditinggalkan menunggu kantor jika ada acara kunjungan kegiatan di kampung tertentu. Biasanya mereka yang dulu menjadi ujung tombak protokolernya acara yang akan dilangsungkan tetapi sekarang malah Diana yang diserahi menggantikan tugas Kirana. Otomatis dia hanya datang ke kantor hanya untuk mengabsen, duduk santai sambil mengobrol saja, setelah itu makan siang lalu pulang jika jam kerja sudah berakhir.“Semenjak Diana bekerja, kita tidak pernah lagi diberi tugas protokoler,” ucap KIrana kepada temannya gusar.“Ya, kita sekarang jadi kayak pengangguran. Datang hanya untuk absen, ngobrol,makan siang lalu pulang,&
Hampir dua minggu lamanya Diana menganggur, untuk mengurangi rasa bosannya berada di rumah terus. Dia ikut ibunya ke sawah atau ke kebun, walaupun hanya sebagai teman saja bagi ibunya. Setidaknya keikutsertaan anaknya ke kebun menjadi tukang masak dan pembuat kopi atau teh ketika istirahat dari kerja, lumayan menghemat kerjaan karena begitu waktu istirahat tinggal menyeruput kopi dan kue buatan anak gadisnya. Dari jauh, Diana terpaku pandangannya saat melihat sosok lelaki yang sangat dia kenal sedang menghalau gerombolan burung yang hendak hinggap dan mematuk padi yang mulai menguning. Lelaki yang begitu dekat dihatinya beberapa waktu yang lalu, lelaki yang menemani hidupnya sebelum pisah ranjang. Masih terselip rasa sayang yang begitu dalam kepada sosok tersebut, hanya karena ibunya yang tidak bersahabat saja menjadi batu sandungan bagi keharmonisan rumah tangga yang dibangun dahulu.
Bu Eneng tidak mempedulikan lagi apa yang ingin dilakukan oleh menantunya. Jika suasana hatinya sedang tidak baik, sesekali masih terlihat gaya lamanya yang suka menyinggung perasaan Diana baik dengan perkataan atau tingkah laku yang sinis, tidak diobral seperti dulu yang setiap saat selalu memarahinya. Semua yang dilakukan oleh Bu Eneng semata agar Herman tidak meninggalkannya seorang diri, dia tak ingin kehilangan anaknya setelah suaminya meninggalkannya sejak Herman masih remaja. Betapa sulitnya move on ketika kehilangan, oleh sebab itu dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Biarlah dia saja yang meninggalkan anaknya menghadap Ilahi jika ajal telah menjemput daripada Herman yang meninggalkannya menyewa rumah lain. Diana juga lebih berhati-hati lagi menghadapi gelagat mertuanya, jika dilihatnya sang mertua dalam suas
Baru saja Diana menikmati indahnya kebahagiaan menjalani bahtera pernikahan, tiba-tiba hadirlah seorang perempuan lain yang menumpang di rumahnya. Wanita geulis berdarah Sunda, yang berambut ikal berwajah tirus dengan face wajah yang manis. Bertingkah sedikit genit dan nakal, paling suka menggoda Herman dengan kerlngan mata yang manja.Bu Eneng sangat senang dengan kehadiran Dita, apalagi wanita yang masih kerabat ibunya Herman ini memiliki perasaan tersendiri kepada Herman. Ibunya Herman sangat mendukung keinginan Dita agar dapat merebutnya dari Diana untuk dijadikan suaminya. Dita minta dukungan dari Bu Eneng untuk melunakkan hati Herman agar mau menerimanya sebagai istri dan mencampakkan Diana.“Ibu harus membuat rencana yang jitu untuk memisahkan mereka,” kata Dita membujuk Bu Eneng untuk menyusun siasat memisahkan Herman dan Diana.“Iya, tapi kamu juga harus mencari ide juga, jangan Ibu saya yang kamu suruh mencari jalan memutuskan h
Dita semakin sering mencuri waktu mendekati Herman di sela-sela waktu yang ada, apalagi secara diam-diam ibu mertuanya mendukung rencana Dita bermain api asmara terlarang. “Ibu harus mendukung aku, pokoknya,” kata Dita kepada Bu Eneng meminta dukungan dengan penuh semangat. “Ibu mendukungmu dari belakang, bahaya kalau ketahuan Herman,” ucap Bu Eneng “Iya, Bu. Jangan sampai ketahuan. Ibu mesti bermain cantik,” ucap Dita menekankan agar Bu Eneng berhati-hati dalam menjalankan siasat mereka. “Sip,” kata Bu Eneng menimbali. Dita begitu bersemangat untuk memisahkan Diana dari H
Sejak saat itu Dita tak canggung lagi berduaan dengan Herman sekalipun ada Diana diantara mereka. Suasana terwujudnya cinta segitiga ini hanya menunggu waktu saja terjadi, sebab kepandaian Dita dalam mengambil hati Herman yang selalu disupport oleh Ibunya membuat dirinya tak bisa menolak jika Ibunya ingin dirinya mengantarkan atau menemani dan ditemani oleh Dita jika pergi ke suatu tempat termasuk ke sawah. Keakraban antara suaminya dan Dita memjadi buah bibir orang di kampungnya. Banyak orang yang mencibir, banyak pula yang merasa kasihan dengan Diana yang harus termakan oleh isu poligami. Tak sedikit orang yang berusaha menunjukkan empatinya dengan terus memberikan dukungan kepada Diana agar bersabar dan tetap mempertahankan rumah tangganya yang saat ini berada di ujung tanduk. “Sabar, Diana. Ini ujian dari Yang Kuasa, insy
Ketika Herman sedang ke sawah, sementara Diana tidak ikut karena dia merasa kurang enak badan. Badannya terasa lemah dan menimbulkan rasa mual yang luar biasa menyerang dirinya, sehingga dia seperti ingin muntah tapi tidak ada yang dimuntahkan hanya air liur saja yang keluar dari dalam perut. Diana mengingat-ingat jika dirinya sudah terlambat beberapa bulan, terlintas di benaknya bayangan sedang berbadan dua. Segera dibelinya testpack untuk memastikan benar tidaknya dirinya yang terlambat bulan sedang mengandung benih yang selama ini sangat mereka nantikan. Diana berharap dirinya memang benar sedang hamil, sehingga dia mempunyai kekuatan untuk menjauhkan hubungan suaminya dengan Dita yang semakin mesra saja saat ini. ‘Walaupun ka
Mata Diana sembab, semalaman dia tak berhenti menangis, meratapi nasibnya yang kini sudah dimadu oleh suaminya. Menyesali keputusannya kembali rujuk setelah berpisah sewaktu Ibu mertua mengusirnya dulu, serta menyumpahi dirinya yang tak mendengar nasehat ibunya sendiri saat tidak menyetujui rencananya kembali lagi hidup rukun bersama Herman, lelaki yang dicap Ibunya sebagai bunglon. “Ibu!” panggilnya dalam hati ingin mencurahkan segala kisah pilunya kepada Ibunya, meminta maaf karena tak menuruti nasehat Ibunya. Perasaan penyesalan itu baru datang sekarang saat semua sudah terlanjur terjadi, jika saat waktu bisa ditarik mundur dan dia setuju dulu untuk kembali rujuk bersama Herman tentulah saat ini luka yang menyanyat kalbunya tak akan terjadi. Tak pamit! Diam-diam Diana menyelinap pergi menuju rumah oran