Rara memberikan helm pada Jevan. "Makasih udah ngantar gue balik ya," kata Rara mengulas senyum. Jevan mengangguk, "Lo kelihatan senang. Hari ini ada hal baik?" tanyanya.. Rara terdiam beberapa saat, ia kemudian menggeleng kecil. Gadis itu memilih untuk tak memberitahu Jevan perihal pulangnya Naren. "Gue hari ini bakalan balik ke rumah utama yang dikasih bokap," terang Rara. Jevan tersenyum kecil, "Perlu gue antar kesana?" "Gak usah. Gue emang mau pulang malam entar kok," jawab Rara. "Kabarin gue ya," pinta Jevan. "Kabarin apa?" tanya Rara bingung. "Lo pulang dari sini. Gue mau antar lo," jawab Jevan. "Gue kan udah bilang gak usah," kata Rara. "Lo sama siapa entar kesananya?" tanya Jevan menatap Rara penasaran. "Gue balik sama taksi kayanya," sahut Rara tak yakin. "Atau bisa minta tolong nyokap antar gue, kalau gak lembur." "Tuh kan. Sama gue aja ya," bujuk Jevan tak menyerah. "Kenapa mau antar gue? Lagian gue -" "Karena gue peduli sama lo dan gue gak mau lo dalam baha
Jevan mengikuti langkah Rara dari belakang. Lelaki itu tersenyum kecil, melihat Rara yang tampak sibuk dengan memilih barang yang ada di depannya. "Lo ngasih kado buat siapa?" tanya Jevan menyamakan langkahnya dengan Rara. Rara menoleh pada Jevan, ia tersenyum manis. "Cuman untuk orang yang gue kenal," tanggap Rara. Jevan terdiam beberapa saat, ia kemudian mengangguk kecil. "Apa gue kenal sama orangnya?" tanya Jevan, penasaran. "Kenapa lo penasaran?" tanya Rara. "Gue enggak penasaran," sanggah Jevan. Rara mengambil sepatu putih di depannya. Ia menunjukkan sepatunya pada Jevan, "Apa ini cocok untuk orang yang mau gue kasih?" tanya Rara. "Iya itu bagus. Sepatu olah raga banyak fungsinya," jawab Jevan. Rara membawa sepatu putih itu ke kasir. Gadis itu meletakkan sepatu putih itu ke kasir. "Tolong bungkus ini," ujar Rara. Pelayan kasir itu mengangguk. Tangannya mulai sibuk d
"Buka pintunya Narendra!" seru seseorang dari luar. Naren memutar bola matanya mendengar suara yang tak asing di telinganya. Lelaki itu membuka pintu dengan perlahan. Seorang wanita melengos begitu saja dan sengaja menabrak pundak Naren. Naren menghela napas melihat wanita yang telah melahirkannya. "Saya tidak mempunyai uang," ucap Naren datar. Wanita itu masih mencari uang di ruang tamu. Dengan sengaja memecahkan akuarium sebagai bentuk memaksa. "Bukankah waktu itu kamu bilang, kamu punya uang?" sentak wanita itu. "Saya terakhir mengabari anda adalah saya tidak punya uang," jawab Naren. "Lalu saya harus bagaimana?" tanya Naren bingung. "Saya tidak tahu, saya mohon jangan buat kacau. Saya baru saja -" Wanita itu menarik kerah Naren dengan paksa. "Tunjukan uangnya!" bentak wanita itu. "Ibu, saya gak ada uang. Saya sudah memakainya," balas Naren tenang. Wanita itu terkekeh kecil, "Dipakai untuk apa?" tanyanya. "Saya memakainya untuk membeli sepatu dan beberapa keperluan
Rara menatap gaun hitam yang ada di depannya. Ia memakai gaun hitam itu kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. "Oke, gue harus bersiap nanti malam," ucap Rara.Hari ini adalah hari makan malam keluarga Jevan. Seperti yang direncanakan di awal, ia akan berpura - pura menjadi kekasih Jevan. Rara mengambil ponselnya yang bergetar. Ia menatap layar ponselnya sebelum menjawab panggilan itu."Halo Jev," sapa Rara. "Halo Ra, lo siap kan?" tanya Jevan."Iya gue siap. Jangan lupa yang waktu itu kita bahas," pesan Rara. "Oke, gue sudah mengingatnya. Lo harus tampil cantik ya biar meyakinkan mereka yang hadir di makan malam nanti." pesan Jevan."Tentu saja, gue akan berusaha keras biar lo dan Sandra terbebas," timpal Rara semangat."Hahaha, lo lucu banget," kekeh Jevan."Hah? Lucu?" "Gue akan jemput lo saat jam tujuh malam di rumah lo," ucap Jevan berdeham kecil."Oke, gue akan tunggu lo," sahut Rara.Jevan memutuskan panggilan teleponnya. Rara membuka aplikasi catatan di benda pipih
"Nona cantik sekali," puji Bibi Ica. Rara menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menarik napasnya kemudian menghembuskan napasnya perlahan. Gadis itu tersenyum manis. "Nona, Tuan Jevan sudah menunggu di luar," kata Bibi Nia. Rara mengangguk. "Bi, aku gak terlihat aneh, kan?" tanya Rara. "Tidak Nona. Nona cantik sekali," tanggap Bibi Nia. Rara akhirnya keluar dari ruangan khusus gaun. Gadis itu keluar dari rumahnya. "Jevan!" seru Rara melambaikan tangan. Jevan yang sedang memainkan ponselnya, segera menghentikan kegiatannya. Ia mengangkat kepalanya. Seketika lelaki itu merasa dunianya berbunga. Rara terlihat cantik dengan gaun hitam model off shoulder. "Wow lo cantik banget Ra," puji Jevan. "Makasih. Lo juga tampan," tanggap Rara ceria. Rara menatap penampilan Jevan dari atas ke bawah. Lelaki di depannya memakai jas hitam dan dasi berwarna hitam. "Gue gak salah milih lo," ucap Jevan. "Sebenarnya, gue takut banget kelihatan aneh. Tapi ternyata enggak ya," kata Rara. "
"Jadi ada yang bisa jelaskan, apa yang terjadi antara kalian?" tanya Ayah Haris. Rara dan Jevan berpandangan. Rara memilih bungkam daripada ia salah berbicara. "Kita gak seperti yang ayah pikirkan," terang Jevan. Ayah Haris mengangkat alisnya, "Memangnya kamu tahu pikiran ayah?" "Tidak," jawab Jevan singkat. "Sebaiknya kalian jelaskan pada ayah tentang kejadian hari ini," pinta Ayah Haris. "Jev, lo aja yang jelaskan," bisik Rara pelan. Jevan meneguk ludahnya, ia berdeham kecil. "Ini adalah rencana aku agar terhindar dari perjodohan yang mau dilakukan," aku Jevan hati - hati. "Dengan mengaku pada Bu Sri kalau kamu punya pacar?" tanya Ayah Haris, memastikan. "Iya Om. Aku disini membantu Jevan agar dia dan Sandra tidak dijodohkan lagi," sahut Rara. "Lalu apa benar kamu adalah pacar Jevan?" tanya Ayah Haris menatap Rara. "Dia -" "Bukan Om. Saya hanya teman Jevan," tegas Rara. Ayah Haris mengangguk. Ia melirik putranya yang terlihat sedih. "Kamu memangnya tidak ada peras
Rara membuka kedua matanya perlahan. Hari ini adalah hari Naren kembali masuk ke sekolah. Rara mulai bersiap untuk ke sekolah. Setengah jam kemudian, Rara sudah selesai. Gadis cantik itu turun dari lantai atas. Baru saja ia masuk ke dalam ruang makan, ia dikejutkan dengan sosok Naren yang berdiri dengan tegap. "Lo padahal gak usah berdiri gitu," kata Rara tak enak. "Tidak masalah, Non," sahut Naren. Rara menatap Naren. "Lo udah sarapan?" tanya Rara. Naren berdeham pelan. Ia mengkode Rara agar tidak banyak berbicara. Sayangnya, Rara tidak mengerti dengan kode Naren. Gadis itu memilih menggeser piring yang ada di dekatnya kemudian mengambil roti bakar dan meletakannya di piring itu. "Lo makan dulu, Ren," kata Rara. Bibi Nia yang berdiri tak jauh dari Rara, segera berbisik, "Nona, ada aturan kalau bawah tidak bisa makan dengan tuan rumah." Rara menoleh pada Bibi Nia. Ia menepuk dahinya pelan, baru sadar kalau ia melakukan kesalahan. Rupanya Naren tadi itu memperingatinya. "Bi,
Sandra yang sedang meneguk minumnya, tiba – tiba tersedak.“Uhuk uhuk.” Sandra memegang dadanya yang terkejut.“Eh, lo gak apa?” tanya Rara sedikit panik seraya mengambil tissue di dekatnya.Sandra menerima tisu pemberian Rara, gadis cantik itu menatap sang sahabat kesal. Ia memukul pelan bahu Rara.“Omongan lo sembarangan,” ucap Sandra.Rara hanya tersenyum kecil, “Tapi serius lo gak suka sama Naren?”“Siapa yang gak suka sama Naren?” Sandra malah bertanya balik.“Jadi lo suka ya?” tanya Rara lagi.“Iya. Dia juga sahabat baik gue sama kaya lo dan Jevan,” tanggap Sandra santai.“Ngomong – ngomong San, lo udah ada rencana abis ini mau kemana?” tanya Rara.“Maksud lo kuliah ya?” tanya Sandra memastikan.Rara mengangguk. Tangannya fokus mengeluarkan buku pelajaran yang akan berlangsung di jam pertama.“Gue rencananya mau ambil les untuk SBMPTN, tapi untuk jurusan yang gue mau, belum kepikiran,” terang Sandra.“Gak coba ambil bisnis?” tanya Rara.“Entahlah, lo sendiri gimana?” tanya Sandr