Rara menatap gaun hitam yang ada di depannya. Ia memakai gaun hitam itu kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. "Oke, gue harus bersiap nanti malam," ucap Rara.Hari ini adalah hari makan malam keluarga Jevan. Seperti yang direncanakan di awal, ia akan berpura - pura menjadi kekasih Jevan. Rara mengambil ponselnya yang bergetar. Ia menatap layar ponselnya sebelum menjawab panggilan itu."Halo Jev," sapa Rara. "Halo Ra, lo siap kan?" tanya Jevan."Iya gue siap. Jangan lupa yang waktu itu kita bahas," pesan Rara. "Oke, gue sudah mengingatnya. Lo harus tampil cantik ya biar meyakinkan mereka yang hadir di makan malam nanti." pesan Jevan."Tentu saja, gue akan berusaha keras biar lo dan Sandra terbebas," timpal Rara semangat."Hahaha, lo lucu banget," kekeh Jevan."Hah? Lucu?" "Gue akan jemput lo saat jam tujuh malam di rumah lo," ucap Jevan berdeham kecil."Oke, gue akan tunggu lo," sahut Rara.Jevan memutuskan panggilan teleponnya. Rara membuka aplikasi catatan di benda pipih
"Nona cantik sekali," puji Bibi Ica. Rara menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menarik napasnya kemudian menghembuskan napasnya perlahan. Gadis itu tersenyum manis. "Nona, Tuan Jevan sudah menunggu di luar," kata Bibi Nia. Rara mengangguk. "Bi, aku gak terlihat aneh, kan?" tanya Rara. "Tidak Nona. Nona cantik sekali," tanggap Bibi Nia. Rara akhirnya keluar dari ruangan khusus gaun. Gadis itu keluar dari rumahnya. "Jevan!" seru Rara melambaikan tangan. Jevan yang sedang memainkan ponselnya, segera menghentikan kegiatannya. Ia mengangkat kepalanya. Seketika lelaki itu merasa dunianya berbunga. Rara terlihat cantik dengan gaun hitam model off shoulder. "Wow lo cantik banget Ra," puji Jevan. "Makasih. Lo juga tampan," tanggap Rara ceria. Rara menatap penampilan Jevan dari atas ke bawah. Lelaki di depannya memakai jas hitam dan dasi berwarna hitam. "Gue gak salah milih lo," ucap Jevan. "Sebenarnya, gue takut banget kelihatan aneh. Tapi ternyata enggak ya," kata Rara. "
"Jadi ada yang bisa jelaskan, apa yang terjadi antara kalian?" tanya Ayah Haris. Rara dan Jevan berpandangan. Rara memilih bungkam daripada ia salah berbicara. "Kita gak seperti yang ayah pikirkan," terang Jevan. Ayah Haris mengangkat alisnya, "Memangnya kamu tahu pikiran ayah?" "Tidak," jawab Jevan singkat. "Sebaiknya kalian jelaskan pada ayah tentang kejadian hari ini," pinta Ayah Haris. "Jev, lo aja yang jelaskan," bisik Rara pelan. Jevan meneguk ludahnya, ia berdeham kecil. "Ini adalah rencana aku agar terhindar dari perjodohan yang mau dilakukan," aku Jevan hati - hati. "Dengan mengaku pada Bu Sri kalau kamu punya pacar?" tanya Ayah Haris, memastikan. "Iya Om. Aku disini membantu Jevan agar dia dan Sandra tidak dijodohkan lagi," sahut Rara. "Lalu apa benar kamu adalah pacar Jevan?" tanya Ayah Haris menatap Rara. "Dia -" "Bukan Om. Saya hanya teman Jevan," tegas Rara. Ayah Haris mengangguk. Ia melirik putranya yang terlihat sedih. "Kamu memangnya tidak ada peras
Rara membuka kedua matanya perlahan. Hari ini adalah hari Naren kembali masuk ke sekolah. Rara mulai bersiap untuk ke sekolah. Setengah jam kemudian, Rara sudah selesai. Gadis cantik itu turun dari lantai atas. Baru saja ia masuk ke dalam ruang makan, ia dikejutkan dengan sosok Naren yang berdiri dengan tegap. "Lo padahal gak usah berdiri gitu," kata Rara tak enak. "Tidak masalah, Non," sahut Naren. Rara menatap Naren. "Lo udah sarapan?" tanya Rara. Naren berdeham pelan. Ia mengkode Rara agar tidak banyak berbicara. Sayangnya, Rara tidak mengerti dengan kode Naren. Gadis itu memilih menggeser piring yang ada di dekatnya kemudian mengambil roti bakar dan meletakannya di piring itu. "Lo makan dulu, Ren," kata Rara. Bibi Nia yang berdiri tak jauh dari Rara, segera berbisik, "Nona, ada aturan kalau bawah tidak bisa makan dengan tuan rumah." Rara menoleh pada Bibi Nia. Ia menepuk dahinya pelan, baru sadar kalau ia melakukan kesalahan. Rupanya Naren tadi itu memperingatinya. "Bi,
Sandra yang sedang meneguk minumnya, tiba – tiba tersedak.“Uhuk uhuk.” Sandra memegang dadanya yang terkejut.“Eh, lo gak apa?” tanya Rara sedikit panik seraya mengambil tissue di dekatnya.Sandra menerima tisu pemberian Rara, gadis cantik itu menatap sang sahabat kesal. Ia memukul pelan bahu Rara.“Omongan lo sembarangan,” ucap Sandra.Rara hanya tersenyum kecil, “Tapi serius lo gak suka sama Naren?”“Siapa yang gak suka sama Naren?” Sandra malah bertanya balik.“Jadi lo suka ya?” tanya Rara lagi.“Iya. Dia juga sahabat baik gue sama kaya lo dan Jevan,” tanggap Sandra santai.“Ngomong – ngomong San, lo udah ada rencana abis ini mau kemana?” tanya Rara.“Maksud lo kuliah ya?” tanya Sandra memastikan.Rara mengangguk. Tangannya fokus mengeluarkan buku pelajaran yang akan berlangsung di jam pertama.“Gue rencananya mau ambil les untuk SBMPTN, tapi untuk jurusan yang gue mau, belum kepikiran,” terang Sandra.“Gak coba ambil bisnis?” tanya Rara.“Entahlah, lo sendiri gimana?” tanya Sandr
Rara turun dari mobil. Gadis itu menatap bangunan perusahaan sang ayah, ia terkadang masih tak percaya kalau ia adalah anak semata wayang dari pemilik bangunan tinggi itu.“Nona Rara, menurut informasi dari Naren, ada yang menunggu Nona di lobi,” terang sopirnya.“Terima kasih ya Pak. Bapak tunggu aja ya, saya mau ke ayah saya dulu,” ucap Rara tersenyum.Rara masuk ke dalam bangunan itu. Ia otomatis menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang, dengan memakai seragam sekolah. Rara dalam hati meringis karena tidak berganti baju terlebih dahulu. Mata Rara menatap kesana kemari, ia mencari sosok yang katanya menunggunya. Gadis itu mengerutkan kening saat melihat seorang wanita cantik mendekat padanya.“Anda Rara? Anak dari Pak Zarhan?” tanya wanita cantik itu.“Iya, anda siapa?” tanya Rara bingung.“Saya diminta oleh Pak Zarhan untuk mengantar anda ke lantai atas. Mari ikuti saya,” ucap wanita itu ramah.Rara mengikuti langkah wanita itu dari belakang. Wanita itu membawanya ke lift.
“A-ayah,” ucap Rara terkejut.Rara tanpa sengaja menjatuhkan ponsel ayahnya. Gadis itu menatap ponsel ayahnya yang jatuh lalu menatap ayahnya yang mendekat ke arahnya.“Ayah, aku gak sengaja jatuhin HP,” sesal Rara.Ayah Zarhan menerima ponsel yang diberikan putrinya, ia tersenyum hangat.“Tidak apa Nak,” balas Ayah Zarhan tenang.“Maaf Yah, layarnya sampai retak ya, biar aku -”“Tidak perlu Nak, Ayah akan menyuruh orang untuk memperbaiki,” potong Ayah Zarhan. “Oke. Masih bisa nyala ya kan, Yah?” tanya Rara cemas.Ayah Zarhan mengecek ponselnya, pria itu mengangguk sebagai jawaban. Ia menunjukan layar ponselnya pada Rara.“Ini masih nyala,” ucap Ayah Zarhan.Rara memperhatikan layar ponsel sang ayah. Tiba – tiba saja tertera panggilan masuk dengan emotikon cinta. Rara buru – buru mengalihkan pandangannya.Ayah Zarhan dengan canggung menarik kembali ponselnya.“Siapa Yah?” tanya Rara bersikap tidak tahu.“Oh bukan siapa – siapa,” balas Ayah Zarhan.Rara melirik ponsel ayahnya yang lag
Rara masuk ke dalam kediamannya. Di belakangnya ada Naren yang mengikuti.“Nona Rara, biar bibi bawakan tasnya,” ucap Bibi Ica.“Gak usah Bi,” sahut Rara dengan sengaja memegang erat tas ranselnya.Bibi Ica dan Bibi Nia saling berpandangan. Keduanya akhirnya memilih untuk mengikuti Rara di belakang. Rara tiba – tiba menghentikan langkahnya saat ia hendak ke lantai atas. Gadis itu menoleh ke belakang dan menatap ketiga orang yang mengikutinya.“Bi, untuk hari ini aku gak mau makan malam ya,” kata Rara.Gadis itu menatap Naren yang menatapnya datar.“Kenapa Nona? Nona sakit?” tanya Bibi Nia cemas.“Bukan itu Bi, aku hari ini mau diam di kamar aja,” kata Rara.“Kalau begitu, biar bibi siapkan air untuk mandinya,” tanggap Bibi Ica.“Gak usah Bi, aku ingin sendiri dulu,” tolak Rara tersenyum.“Baik Non,” ucap Bibi Ica.“Kalau Nona butuh bantuan, bisa beritahu kami ya,” kata Bibi Nia.Rara mengangguk kecil. Gadis itu kemudian melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Baru saja ia hendak meraih