Terima kasih sudah membaca~ Jangan lupa tinggalkan jejak`~
Naren berjalan dengan cepat tanpa memedulikan Rara yang berusaha menyamakan langkah kakinya. Naren segera mendekati Satria. “Ada apa, Pak?” tanya Naren dengan napas terengah – engah. Satria melirik Rara yang menyusul langkah Naren. Langkah gadis cantik itu terhenti karena Naziah memberikan sebotol air mineral padanya. “Kamu tidak menunggu Nona Rara?” tanya Satria. Naziah dan Rara mendekati Satria dan Naren. Naren melirik Rara, kemudian menatap pria di depannya. “Anda menyuruh saya untuk datang kesini dengan cepat. Jadi, ada apa?” tanya Naren mengabaikan pertanyaan Satria sebelumnya. “Tadi hanya untuk mengetes kegesitan kamu, Naren,” sahut Naziah. “Siapa sangka, kamu malah mengabaikan keselamatan Nona Rara,” timpal Satria. Rara yang tak tahu apapun, memilih berusaha berpikir keras akan ucapan kedua orang dewasa itu. Ia rasa pengawalnya dalam posisi yang tidak menguntungkan. “Tapi, logikanya kalau disuruh cepat datang, orang gak bisa berpikir jernih. Biasanya akan langsung panik
Jarvis mengangakat wajahnya begitu mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Laki – laki itu menemukan Sandra yang berdiri tepat di depannya. “Jev,” panggil Sandra lirih. “Naren bareng Rara pas kecelakaan?” Jarvis menatap Sandra sekilas, ia menepuk kursi di sebelahnya, mengkode Rara untuk duduk di sebelahnya. “Mereka mau ke suatu tempat,” duga Jevan. Gadis yang ceria itu mengacak rambutnya asal. “Kemana? Lo tahu?” tanya Sandra. “Gue udah suruh orang baut check. Gue rasa ada yang berniat nyelakai mereka,” ungkap Jevan. Sandra mengerutkan keningnya, ia menoleh pada temannya. Sandra tertawa kecil sebagai tanggapan. “Jangan bercanda, Jev. Mereka masih SMA, kenapa harus ada yang bikin mereka celaka?” tanya Sandra serius. “Mungkin, ada orang yang gak mau mereka ke tempat itu,” celetuk Jevan mengangkat bahunya “Mereka baru 17 tahun, Jev,” sentak Sandra. “Tapi, lo tahu kejamnya dunia bisnis,” kata Jevan. Sandra menyadar di kursi rumah sakit. Ia menghela napas panjang, gadis cantik
Hari ini, Rara merasa lebih baik. Gadis cantik itu cukup senang karena perkembangannya yang cukup pesat. Sayangnya, perkembangan Naren tidak ada perubahan. Lelaki itu masih tenggelam dalam dunia mimpi. Rara tidak ditemani siapapun di ruangan VVIP –nya karena Sandra dan Jevan bersekolah. Awalnya, Sandra menolak dan ingin menemaninya. Tetapi, Rara meyakinkan sang sahabat untuk mengutamakan sekolah dahulu. “Gabut banget gue,” monolog Rara. Rara menggeser pintu ruangan VVIP –nya. Ia akan mencari udara segar saja. Kakinya melangkah menuju taman di rumah sakit. Rara duduk di kursi taman. Ia menatap sekitarnya, para pasien yang ada di taman ditemani oleh keluarga. Rara memang tak mengabari kedua orang tuanya dan Bu Unike, ia tak mau membuat mereka khawatir. “Rara.” Rara menoleh pada sumber suara. Matanya membola melihat sosok wanita yang ia sayangi. “Bu Unike,” panggil Rara terharu. Wanita paruh baya itu mendekati Rara dan memeluknya erat. “Rara, kenapa kamu tidak mengabari Ibu?” tany
“Sandra,” gumam Rara pelan. “Maksudnya apa?” tanya Sandra menatap Rara dan Jevan. Sandra menatap wanita paruh baya itu, baru pertama kali dirinya bertemu dengan wanita itu. Keheningan menyelimuti ruangan VVIP itu. Baik Rara dan Jevan sama – sama bungkam dan tak berniat berbicara. Hingga, suara Bu Unike mengalihkan lamunan ketiganya. “Ini siapa? Ibu baru pertama kali bertemu denganmu,” ujar Bu Unike mendekati Sandra. “Halo, Bu. Nama saya Sandra, teman sekelas Rara dan Jevan,” sahut Sandra sopan. Bu Unike menuntun Sandra untuk duduk di sofa. Rara berdiri, ia berniat kembali duduk di kursi rodanya. Jevan yang cenderung peka menggeser kursi roda Rara. “Silakan duduk,” ucap Jevan. Rara mengangguk pada Jevan. Ia melihat Sandra tampak kebingungan duduk di samping Bu Unike. “Nak Sandra, cantik sekali,” puji Bu Unike pada Sandra. “Terima kasih, Bu,” balas Sandra. “Jadi, Ibu itu siapa?” Bu Unike menatap Rara, seolah meminta izinnya. Rara tampak kebingungan karena ia tak mau meminta wan
Rara membulatkan matanya mendengar usul Sandra. Terlintas di benaknya, wajah terkejut Pak Haris, Ayah Jevan. “Lo bercanda ya? Usul lo bikin orang yang datang pas makan malam kaget,” tutur Rara. Sandra meringis membayangkannya. Ia tersenyum manis pada Rara, “Tapi, gue pikir itu ide yang bagus. Ayolah, Ra,” bujuk Sandra memelas. “Gak bisa gitu dong, San. Ide lo beneran bisa bikin semuanya kacau,” tolak Rara. Sandra menghela napas, “Coba dulu aja.” Rara menyadari Sandra menatapnya dengan tatapan memohon. Gadis cantik itu tak tega melihatnya, hatinya sedikit terbuka untuk menerima ajakan Sandra. “Gue rasa-“ “Gue baru selesai,” ucap Jevan sembari masuk ke ruangan VVIP. Sandra dan Rara menatap Jevan. Lelaki itu menyadari ada aura yang berbeda saat berkontak mata dengan Rara. “Ada apa nih?” tanya Jevan seraya menggeser kursi agar leluasa mengobrol dengan kedua temannya. “Dia nih. Lo harus denger ide Sandra,” tunjuk Rara. Jevan menoleh pada Sandra dan menatapnya dengan tanya. “Gue
Rara menatap langit – langit kamar VVIP tempatnya dirawat. Ia teringat ucapan Dokter Hans yang menjelaskan kemungkinan Naren akan bangun lebih cepat. Sayangnya, Naren mungkin akan butuh waktu untuk menyembuhkan tangannya yang mengalami patah tulang. Rara menghela napas panjang. Terbayang di benaknya, Naren yang memakai perban dan harus menjaganya karena tugasnya sebagai pengawal. “Gue takut lo harus berhenti jadi pengawal,” gumam Rara. “Masuk aja,” perintah Rara menyadari ketukan pintu dari luar ruangan. “Pasien Rara, perkenalkan saya perawat Sica. Saya diminta oleh Pak Jevan untuk menjaga Nona,” ucap Perawat Sica memperkenalkan diri. Rara buru – buru duduk, ia tersenyum ramah sebagai sapaan. “Halo, saya Rara,” sapanya. “Baiklah, Nona Rara. Saya harus memanggil Nona dengan panggilan apa?” tanya Perawat Sica. “Panggil saya, Rara saja. Tidak usah memakai Nona, Sus,” jawab Rara. “Baiklah, Rara. Anda bisa memanggil saya dengan menakan tombol bel di sebelah tempat tidur,” jelas Pera
“Iya, Mas?” tanya Sandra bingung. Gadis itu menatap kedua pria yang diduga mengawasi dirinya dan Jevan. “Apa Kakak tahu dimana toko baju?”tanya pria itu. “Lima gedung dari sini, Kak,” jawab Jevan. “Baik, terima kasih ya,” kata pria itu kemudian berlalu dari hadapan Jevan dan Sandra. “Lo yakin mereka ngawasin kita?” tanya Jevan pelan. “Iya. Mereka itu pura – pura pergi, soalnya gue curiga kan,” sahut Sandra yakin. “Lo ngarang kali,” tanggap Jevan tak percaya. Sandra mendelik mendengar ucapan Jevan. “Lo mau buktiin?” tantang Sandra. “Boleh, ayo buktiin,” ucap Jevan. “Tapi, kita harus bersikap dekat,” cetus Sandra. Gadis itu mulai memasukkan ponselnya ke dalam tas sekolahnya. “Loh kenapa?” tanya Jevan mengererutkan keningnya. “Rencana gue ini. Jadi, kita ke mall sekalian beli baju. Terus, kita harus bersikap dekat karena mereka pasti lapor ke nyokap gue betapa dekatnya kita,” jelas Sandra. “Ah itu mah lo mau sekalian belanja,” sinis Jevan. “Iya emang. Daripada penasaran omong
“Ayah,” panggil Sandra sembari mendekati sang ayah.“Loh Sandra?” pria paruh baya itu terkejut kemudian melirik Jevan yang menyusul langkah Sandra.“Halo, Om Andre,” sapa Jevan sopan.“Kalian sedang apa?” tanya Pak Andre bingung.“Biasa Yah. Ada yang ngikutin,” jawab Sandra santai.Jevan menyenggol lengan Sandra. Gadis di sebelahnya tak mempedulikan Jevan. Jevan menatap Pak Andre, sedikit takut akan tanggapan pria paruh baya itu.“Maksud Sandra itu –““Yah, aku laper. Kita makan sushi yuk,” sela Sandra cepat.Pak Andre tampaknya memahami kode putrinya. Ia tersenyum hangat pada putrinya kemudian mengangguk.“Ayo, ajak Jevan juga,” perintah Pak Andre.Sandra tersenyum senang. Ia menarik tangan Jevan.“Bokap lo gak curiga?” tanya Jevan tak mengerti.“Udah lo ikut dulu aja,” jawab Sandra pelan.Pak Andre masuk ke dalam restoran Jepang. Pria paruh baya itu menyewa satu ruangan VIP agar lebih leluasa. Jevan dan Sandra hanyak mengangguk mengerti karena pria itu terlihat tak ingin dibantah.“