“Loh siapa nihh?” tanya Pak Haris, ayah Jarvis. Pak Haris memberikan jas kerja dan tasnya pada pelayan.
Rara buru – buru berdiri kemudian menyalami pria di hadapannya itu. “Halo Om. Saya Rara.”
Pak Haris menatap Jarvis sembari menaikan satu alisnya, “Saya Ayahnya Jarvis, panggil saja Om Haris.”
“Dia temen aku, Yah,” kata Jarvis cepat saat sang ayah tersenyum licik.
“Kirain…” balas Pak Haris kemudian ia menatap Rara, tampak berpikir. “Wajahnya gak asing.”
“Anaknya Om Zarhan, Yah,” info Jarvis.
“OH! Kamu anaknya Zarhan! Kamu baru pulang dari panti asuhan ya?” kata Pak Haris semangat.
“Hehe iya,” Rara tersenyum canggung. Padahal, sejak kecil ia sudah tinggal di panti asuhan. Ternyata, Ayahnya pun menyembunyikan kebenaran dari pria di hadapannya.
“Kamu cantik sekali. Pantas saja Jevan membawamu ke rumah,” puji Pak Haris.
“Apa sih Yah! Ngarang ngomongnya!” kata Jevan kesal.
“Diam dulu, Nak. Ayo duduk,” kata P
Terima kasih sudah membaca~ Mohon dukungannya dengan meninggalkan jejak~
Rara memberikan cokelat pada Sandra. Sandra yang baru saja duduk di kursinya menatap Rara bingung. “Dalam rangka apa nih?” tanya Sandra sembari membuka cokelat itu. Rara duduk di kursi depan Sandra, kemudian tersenyum, “Tanda permintaan maaf atas sikap keras kepala gue.” Sandra tediam beberapa saat. Ia kemudian menampilkan senyumnya, “Santai aja, Ra. Gue anaknya mudah memaafkan. Makasih cokelatnya.” Rara membuka mulutnya karena Sandra memberikan sepotong cokelat, “Lo ikut ke perayaan Perusahaan Kidan?” Sandra mengunyah cokelatnya, “Itu dia! Gue hari ini mau nanya ke lo. Lo ikut gak?” “Waktu itu gue udah jawab ikut. Rencananya, gue berangkat sama bokap gue,” tanggap Rara. Bahu Sanda merosot, “Tadinya gue mau ajak lo bareng gue. Soalnya, bokap nyokap gue lagi di luar kota dan gak bisa datang. Jadi, gue perwakilan mereka.” “Gue minta maaf, San,” kata Rara merasa bersalah. Kalau tahu Sandra berangkat sendiri, ia ikut saja d
“Kok lo disini?” tanya Rara memperhatikan sekitarnya. Ia menjadi pusat perhatian karena dijemput dengan mobil mewah di halte bus. Naren turun dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuk Rara. Tak kunjung mendapat jawaban, Rara akhirnya melangkah masuk ke kursi penumpang. Mobil mulai dilajukan, Rara hanya terdiam sembari menopang dagunya dan menatap keluar jendela. Rara kembali berpikir mengenai keterlibatan Naren. “Nona, anda kenapa? Sepertinya ada yang mengganggu pikiran anda,” kata Naren sembari melirik dari spion tengah. “Gue kepikiran sesuatu,” balas Rara tanpa mengalihkan pandangannya dari lalu lalang jalan. “Tentang apa?” tanya Naren penasaran. Rara segera mengalihkan pandangannya ke depan, pada kaca spion tengah. Matanya bertemu dengan mata tajam Naren. “Tentang lo,” jawab Rara jujur. Naren mengangkat alisnya, “Hm?” “Kira – kira lo tau gak kelakuan bokap gue tanpa bantuan lo?” tanya Rara mulai
Jevan menghentikan langkahnya, ia tersenyum pada Bu Flora, “Maksud Ibu?” Bu Flora tertawa kecil, “Ibu kenal dengan Ibunya Rara. Bu Windia kan?” Jevan berlutut di hadapan sang ibu. Tertera di wajahnya rasa penasaran yang tinggi. “Ibu gimana bisa kenal?” “Kita hanya teman semasa kuliah. Bu Windia sempat bercerita dia mengalami keguguran,” tutur Bu Flora. “Keguguran? Maksud Ibu Rara anak angkat atau gimana?” tanya Jevan penasaran. Bu Flora tersenyum hangat, ia mengusap rambut Jevan lembut, “Kamu mulai perhatian sama seseorang ya.” “Ibuu~ jangan goda aku,” ucap Jevan cepat. “Jawab pertanyaan aku dulu.” “Ya ampun, anak ini. Tumben memaksa,” komentar Bu Flora. “Bu…” “Hahaha, baiklah. Ibu sudah tidak saling menyapa lagi semenjak dia mengalami keguguran dari seorang anak,” tutur Bu Flora. Bahu Jevan merosot, ia cemberut. Pikirannya tertuju ke Naren, lelaki yang tau tentang Bu Windia. Apa Naren mengetahui tentang
Rara memegang dadanya yang berdetak kencang. Hari ini adalah acara perayaan tujuh belas tahun berdirinya Perusahaan Kidan. Rara menatap Bibi Ica dan Bibi Nia yang berdiri di belakangnya. “Bi, aku gak terlihat aneh kan?” tanya Rara memastikan. Bibi Ica dan Bibi Nia bertatapan sebentar, keduanya kompak menggeleng dan menampilkan senyum. “Nona cantik sekali,” puji Bibi Ica. Bibi Nia mengangguk setuju, “Nona akan jadi pusat perhatian disana.” “Terima kasih Bi,” ucap Rara tulus. Rara menatap Naren yang baru saja sampai di kediamannya. Naren memakai setelan jas hitam dengan celana hitam dan sepatu pantofel. “Ren, lo tau bokap gue dimana?” tanya Rara menatap Naren yang berdiri tegak di belakangnya. Naren menatap jam tangannya, “Sekitar lima belas menit lagi akan sampai.” “Gue deg – degan,” gumam Rara pelan. Naren melirik Rara sekilas kemudian berujar, “Tenang Non. Tuan Besar orang baik.” “Lo ikut ke mobil
“Hahaha. Maksud Ayah apa?” tanya Rara tertawa kencang. Ayah Zarhan mengerutkan keningnya melihat tingkah putrinya, “Sudahlah. Kita bahas nanti saja.” “Tuan, kita sudah sampai,” ujar sopir tersebut. “Baiklah bersiap,” sahut Ayah Zarhan. Rara meneguk ludahnya, ia gugup. Mobil sedan mewah sampai di depan lobi hotel. Naren turun dari mobil, ia segera membuka pintu untuk Rara dan Ayah Zarhan. Rara pikir, akan ada jepretan kamera yang menyambutnya. Nyatanya, hanya pegawai hotel yang bertugas untuk menyambut. “Silakan Tuan ke lantai paling atas,” sambut pegawai hotel itu. Ayah Zarhan mengangguk. Rara menyamakan langkahnya dengan Ayahnya. Naren mengikuti langkah keduanya di belakang. “Silakan,” ucap Naren sembari mempersilakan Rara dan Ayah Zarhan untuk masuk ke lift terlebih dahulu. Naren menekan tombol dua puluh. Beberapa menit kemudian, ketiganya sampai di lantai paling atas. Ayah Zarhan keluar terlebih dahulu. Rara ikut menyusul di belakangnya. Naren keluar paling akhir. “Nona, a
Rara menatap Naren yang berdiri di sebelahnya. “Naren, lo ngapain?” Rara meraih tangan Naren untuk melepaskan tangan Jevan. Rara menatap sekelilingnya, beberapa orang yang berdiri di dekatnya menatap mereka penasaran. “Jangan buat gosip. Ini akan berdampak pada Perusahaan Kidan,” ucap Naren menatap Jevan dingin. Jevan menghela napas, “Sorry, gue gak bermaksud.” Rara tertawa canggung, “Hahaha, kalian itu kan dekat. Kenapa bertingkah begini?” “Pengawal itu siapa?” “Eh pengawalnya cakep banget.” “Pergaulan Jevan dengan orang rendahan kaya gitu?” “Anaknya Om Zarhan gaul sama pengawal?” “Mainnya gak level sama kita.” Rara mengepalkan tangannya mendengar perkataan orang – orang di sekitarnya. Rara sepertinya salah bicara. Rara melirik Naren yang tampak tidak peduli akan perkataan orang – orang. Jevan menatap tajam orang – orang yang bergosip. Ia berdeham pelan, “Kita cari tempat ngobrol yang enak yuk. Gue gak tahan sama orang penjilat gini,” ajak Jevan menatap Rara dan Naren berga
“Ibu?” Rara menatap wanita yang turun dari mobil sedan. Jevan ikut menatap ke wanita itu dan Rara bergantian. Ia teringat perkataan sang ibu kalau Ibu Windia sempat mengalami keguguran. “Ra, lo se-“ “Rara, Jevan!” panggil Ibu Windia dengan senyumnya. Ibu Windia sampai di depan keduanya. “Kalian ngapain disini?” tanya Ibu Windia menatap toko kecil itu jijik. “Di tempat kumuh begini.” “Kita beli es krim,” jawab Rara pelan sembari menundukan kepalanya. Jevan menatap kedua orang itu dalam diam. “Ngapain beli di toko kecil begini?! Kamu tidak punya harga diri?!” bentak Ibu Windia emosi. Rara mengangkat wajahnya, ia tak memahami sang Ibu. “Maksud Ibu apa? Aku emang mau beli disini dan es krimnya cu-“ “Saya yang meminta Rara untuk menemani saya,” sela Jevan cepat. Rara menatap Jevan bingung, pasalnya yang meminta ditemani adalah dirinya. “Kamu mengajarkan anak saya untuk hidup miskin?” tanya Ibu Windia. “Ibu kenapa bertingkah begini? Aku hanya makan es krim. Kenapa Ibu sampai berlebi
Jevan menatap Ayah Haris yang membalas pertanyaannya dalam diam. Ayah Haris memilih menyesap tehnya yang sudah dingin. “Ayah…” Jevan menatap ayahnya sendu. “Apa Ayah tahu kalau Ibu punya pe-“ “Nak,” sela Ayah Haris. “Kamu bebas untuk menemui Ibumu. Ayah tidak akan membatasinya. Ayah hanya bingung, kenapa kamu tidak berbicara setiap berkunjung pada Ibumu.” Jevan menghela napas, “Aku takut, Ayah gak izinin aku,” jawabnya jujur. Ayah Haris menatap Jevan, “Ayah gak akan membatasi kamu, Nak. Kamu sudah paham harus bersikap bagaimana, itu sudah cukup.” “Apa Ayah pernah berkunjung ke Ibu untuk menanyakan keadaannya?” tanya Jevan penasaran. Ayah Haris tersenyum sendu, “Ayah sering datang kesana. Tetapi, tidak pernah disambut dengan baik.” Jevan menatap ayahnya. Dari mata tajam ayahnya, tampak terluka dan menyimpan kesedihan. Jevan jadi ingat saat dirinya pertama kali tahu kalau ibunya sakit. “Ayah, ayo datang sama aku ke rumah Ibu,” ajak Jevan semangat. Ayah Haris terkekeh pelan, “Kam