“Kok lo disini?” tanya Rara memperhatikan sekitarnya. Ia menjadi pusat perhatian karena dijemput dengan mobil mewah di halte bus.
Naren turun dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuk Rara. Tak kunjung mendapat jawaban, Rara akhirnya melangkah masuk ke kursi penumpang.
Mobil mulai dilajukan, Rara hanya terdiam sembari menopang dagunya dan menatap keluar jendela. Rara kembali berpikir mengenai keterlibatan Naren.
“Nona, anda kenapa? Sepertinya ada yang mengganggu pikiran anda,” kata Naren sembari melirik dari spion tengah.
“Gue kepikiran sesuatu,” balas Rara tanpa mengalihkan pandangannya dari lalu lalang jalan.
“Tentang apa?” tanya Naren penasaran.
Rara segera mengalihkan pandangannya ke depan, pada kaca spion tengah. Matanya bertemu dengan mata tajam Naren.
“Tentang lo,” jawab Rara jujur.
Naren mengangkat alisnya, “Hm?”
“Kira – kira lo tau gak kelakuan bokap gue tanpa bantuan lo?” tanya Rara mulai
Terima kasih sudah membaca~ Mohon tinggalkan jejak ya ~
Jevan menghentikan langkahnya, ia tersenyum pada Bu Flora, “Maksud Ibu?” Bu Flora tertawa kecil, “Ibu kenal dengan Ibunya Rara. Bu Windia kan?” Jevan berlutut di hadapan sang ibu. Tertera di wajahnya rasa penasaran yang tinggi. “Ibu gimana bisa kenal?” “Kita hanya teman semasa kuliah. Bu Windia sempat bercerita dia mengalami keguguran,” tutur Bu Flora. “Keguguran? Maksud Ibu Rara anak angkat atau gimana?” tanya Jevan penasaran. Bu Flora tersenyum hangat, ia mengusap rambut Jevan lembut, “Kamu mulai perhatian sama seseorang ya.” “Ibuu~ jangan goda aku,” ucap Jevan cepat. “Jawab pertanyaan aku dulu.” “Ya ampun, anak ini. Tumben memaksa,” komentar Bu Flora. “Bu…” “Hahaha, baiklah. Ibu sudah tidak saling menyapa lagi semenjak dia mengalami keguguran dari seorang anak,” tutur Bu Flora. Bahu Jevan merosot, ia cemberut. Pikirannya tertuju ke Naren, lelaki yang tau tentang Bu Windia. Apa Naren mengetahui tentang
Rara memegang dadanya yang berdetak kencang. Hari ini adalah acara perayaan tujuh belas tahun berdirinya Perusahaan Kidan. Rara menatap Bibi Ica dan Bibi Nia yang berdiri di belakangnya. “Bi, aku gak terlihat aneh kan?” tanya Rara memastikan. Bibi Ica dan Bibi Nia bertatapan sebentar, keduanya kompak menggeleng dan menampilkan senyum. “Nona cantik sekali,” puji Bibi Ica. Bibi Nia mengangguk setuju, “Nona akan jadi pusat perhatian disana.” “Terima kasih Bi,” ucap Rara tulus. Rara menatap Naren yang baru saja sampai di kediamannya. Naren memakai setelan jas hitam dengan celana hitam dan sepatu pantofel. “Ren, lo tau bokap gue dimana?” tanya Rara menatap Naren yang berdiri tegak di belakangnya. Naren menatap jam tangannya, “Sekitar lima belas menit lagi akan sampai.” “Gue deg – degan,” gumam Rara pelan. Naren melirik Rara sekilas kemudian berujar, “Tenang Non. Tuan Besar orang baik.” “Lo ikut ke mobil
“Hahaha. Maksud Ayah apa?” tanya Rara tertawa kencang. Ayah Zarhan mengerutkan keningnya melihat tingkah putrinya, “Sudahlah. Kita bahas nanti saja.” “Tuan, kita sudah sampai,” ujar sopir tersebut. “Baiklah bersiap,” sahut Ayah Zarhan. Rara meneguk ludahnya, ia gugup. Mobil sedan mewah sampai di depan lobi hotel. Naren turun dari mobil, ia segera membuka pintu untuk Rara dan Ayah Zarhan. Rara pikir, akan ada jepretan kamera yang menyambutnya. Nyatanya, hanya pegawai hotel yang bertugas untuk menyambut. “Silakan Tuan ke lantai paling atas,” sambut pegawai hotel itu. Ayah Zarhan mengangguk. Rara menyamakan langkahnya dengan Ayahnya. Naren mengikuti langkah keduanya di belakang. “Silakan,” ucap Naren sembari mempersilakan Rara dan Ayah Zarhan untuk masuk ke lift terlebih dahulu. Naren menekan tombol dua puluh. Beberapa menit kemudian, ketiganya sampai di lantai paling atas. Ayah Zarhan keluar terlebih dahulu. Rara ikut menyusul di belakangnya. Naren keluar paling akhir. “Nona, a
Rara menatap Naren yang berdiri di sebelahnya. “Naren, lo ngapain?” Rara meraih tangan Naren untuk melepaskan tangan Jevan. Rara menatap sekelilingnya, beberapa orang yang berdiri di dekatnya menatap mereka penasaran. “Jangan buat gosip. Ini akan berdampak pada Perusahaan Kidan,” ucap Naren menatap Jevan dingin. Jevan menghela napas, “Sorry, gue gak bermaksud.” Rara tertawa canggung, “Hahaha, kalian itu kan dekat. Kenapa bertingkah begini?” “Pengawal itu siapa?” “Eh pengawalnya cakep banget.” “Pergaulan Jevan dengan orang rendahan kaya gitu?” “Anaknya Om Zarhan gaul sama pengawal?” “Mainnya gak level sama kita.” Rara mengepalkan tangannya mendengar perkataan orang – orang di sekitarnya. Rara sepertinya salah bicara. Rara melirik Naren yang tampak tidak peduli akan perkataan orang – orang. Jevan menatap tajam orang – orang yang bergosip. Ia berdeham pelan, “Kita cari tempat ngobrol yang enak yuk. Gue gak tahan sama orang penjilat gini,” ajak Jevan menatap Rara dan Naren berga
“Ibu?” Rara menatap wanita yang turun dari mobil sedan. Jevan ikut menatap ke wanita itu dan Rara bergantian. Ia teringat perkataan sang ibu kalau Ibu Windia sempat mengalami keguguran. “Ra, lo se-“ “Rara, Jevan!” panggil Ibu Windia dengan senyumnya. Ibu Windia sampai di depan keduanya. “Kalian ngapain disini?” tanya Ibu Windia menatap toko kecil itu jijik. “Di tempat kumuh begini.” “Kita beli es krim,” jawab Rara pelan sembari menundukan kepalanya. Jevan menatap kedua orang itu dalam diam. “Ngapain beli di toko kecil begini?! Kamu tidak punya harga diri?!” bentak Ibu Windia emosi. Rara mengangkat wajahnya, ia tak memahami sang Ibu. “Maksud Ibu apa? Aku emang mau beli disini dan es krimnya cu-“ “Saya yang meminta Rara untuk menemani saya,” sela Jevan cepat. Rara menatap Jevan bingung, pasalnya yang meminta ditemani adalah dirinya. “Kamu mengajarkan anak saya untuk hidup miskin?” tanya Ibu Windia. “Ibu kenapa bertingkah begini? Aku hanya makan es krim. Kenapa Ibu sampai berlebi
Jevan menatap Ayah Haris yang membalas pertanyaannya dalam diam. Ayah Haris memilih menyesap tehnya yang sudah dingin. “Ayah…” Jevan menatap ayahnya sendu. “Apa Ayah tahu kalau Ibu punya pe-“ “Nak,” sela Ayah Haris. “Kamu bebas untuk menemui Ibumu. Ayah tidak akan membatasinya. Ayah hanya bingung, kenapa kamu tidak berbicara setiap berkunjung pada Ibumu.” Jevan menghela napas, “Aku takut, Ayah gak izinin aku,” jawabnya jujur. Ayah Haris menatap Jevan, “Ayah gak akan membatasi kamu, Nak. Kamu sudah paham harus bersikap bagaimana, itu sudah cukup.” “Apa Ayah pernah berkunjung ke Ibu untuk menanyakan keadaannya?” tanya Jevan penasaran. Ayah Haris tersenyum sendu, “Ayah sering datang kesana. Tetapi, tidak pernah disambut dengan baik.” Jevan menatap ayahnya. Dari mata tajam ayahnya, tampak terluka dan menyimpan kesedihan. Jevan jadi ingat saat dirinya pertama kali tahu kalau ibunya sakit. “Ayah, ayo datang sama aku ke rumah Ibu,” ajak Jevan semangat. Ayah Haris terkekeh pelan, “Kam
Rara menyinggungkan senyumnya, “Aku rasa itu masih bisa diobati,” ucap Rara berusaha memberikan semangat. “Tante masih bisa dioperasi.” Gelengan dari Ibu Flora membuat semangat Rara turun. “Kemungkinannya berapa persen?” “Tidak banyak, Nak,” lirih Ibu Flora. “Jangan beritahu Jevan ya, Nak.” Rara terdiam beberapa saat. Ia tidak bisa berjanji pada wanita itu. Jevan juga pasti berharap untuk mengetahui penyakit Ibunya. “Tante mohon,” pinta Ibu Flora sembari meraih tangan Rara untuk ia genggam. Rara mengigit bibir bawahnya, ia kebingungan. “Aku…” “Kamu tidak mau Jevan terluka kan?” tanya Ibu Flora. Rara menggeleng. Ibu Flora menyahuti, “Kalau begitu, tolong jangan kasih tahu dia.” “Tapi dengan Tante gak jujur. Itu pun ngebuat Jevan terluka,” sanggah Rara. Ibu Flora tersenyum sendu, “Tidak apa. Setidaknya, dia akan membenci Tante setelah itu.” “Kenapa Tante berharap begitu?” tanya Rara sedih. “Biar dia lebih cepat melupakan Tante,” jawab Ibu Flora. “Jangan begini, Tan. Jevan aka
Rara dan Naren sudah sampai di Panti Asuhan Bahagia. Keduanya disambut oleh anak kecil yang sibuk bermain di halaman belakang. Rupanya, Bu Unike sedang berbelanja sehingga panti asuhan dipenuhi suara anak – anak. “Kak Nalen, ayo main sama aku,” ucap Darel menarik tangan Naren. Lelaki itu sedikit panik, ia menatap Rara meminta bantuannya. Rara menyinggungkan senyumnya, kemudian ia sedikit mendorong Naren untuk menjauh darinya. “Lo temenin Darel ya. Gue mau ke dapur.” Rara berlalu meninggalkan Naren yang hanya tersenyum canggung pada Darel. Lelaki itu ikut duduk di samping Darel. “Kak Nalen, kenapa kalau kesini suka pake jas?” tanya Darel penasaran sembari memberikan pensil warna. “Um…soalnya itu pekerjaan saya,” sahut Naren. Darel menatap Naren sebentar kemudian ia mulai melanjutkan kegiatan mewarnainya. “Kak Nalen, kaya olang mau nikah aja,” komentar Darel dengan suara cadelnya. Naren nyaris saja tersedak ludahnya sendiri. Ia menatap Naren kemudian tersenyum canggung, “Belum wa