Share

Akibat Numpang di Rumah Mertua
Akibat Numpang di Rumah Mertua
Penulis: Nuniek KR

Perihal Token Listrik dan Hutang Ipar

"Kok listrik masih bunyi-bunyi aja sih, Ti?" Tanya Halimah.

Dia buru-buru masuk ke dalam rumah mencari sang menantu, Rianti.

"Ti! Kamu belum beli token buat bulan ini?!" Tanya Halimah sekali lagi, dia mendorong pintu kamar menantunya dengan kencang sampai pintunya menjeblak terbuka.

Rianti yang sedang berbaring langsung tersentak bangun, sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang ditempeli koyo cabe.

Melihat kondisi menantu perempuannya, Halimah mendecakkan lidah kesal,

"Malah tiduran, masih jam segini udah males-malesan!" Hardiknya.

"Maaf Bu, kepalaku pusing dari tadi subuh.. dibawa jalan juga enggak bisa, keleyengan."

"Halah, aku juga sakit kepala tapi masih bisa ke mana-mana nih! Kamunya aja manja, Rianti!"

Mendengar omelan sang mertua, membuat Rianti merasa sakitnya bertambah parah. Dia ingin menimpali ucapan Halimah, namun memilih untuk diam saja karena takut malah jadi ribut besar.

"Udah masak buat Toni sama Tina?"

Rianti menggeleng, dan mata Halimah langsung melotot. Dia berkacak pinggang,

"Ya ampun Rianti, Rianti! Jangan mentang-mentang sakit kepala terus jadi enggak masak! Kamu tuh perempuan, istri! Jangan manjaa! Kalo kamu enggak masak, anak-anakku makan apa hah?!"

Rianti melirik Halimah, namun tak bisa melawan. Dia memang bukan tipe orang yang suka melawan, dia lebih suka diam dan tak menambah masalah.

Tapi sayangnya, dia malah berjodoh dengan Toni yang punya ibu suka cari keributan, seperti Halimah.

"Beli aja ya, Bu? Untuk hari ini aja.. soalnya kepalaku bener-bener sakit." Kata Rianti, sambil mengurut kepalanya.

"Ckk ckk. Lagaknya udah punya banyak duit aja, hemat! Hidup masih numpang sama mertua sok-sokan beli makanan melulu!"

Halimah menyentakkan tangannya, lalu berbalik.

"Ya udah biar aku aja yang masak! Heran, punya mantu malesnya luar biasa, berasa nyonya besar!!"

Rianti buru-buru mendahului sang mertua, dia tahu mertuanya itu hanya pura-pura mau masak. Padahal cuma diam saja menunggu Toni pulang, lalu mengadu.

Jika sampai hal itu terjadi, bisa habis Rianti diomeli sang suami.

"Ya udah aku masak sekarang, Bu. Tunggu sebentar ya.."

Rianti berjalan dengan cepat ke dapur, dan pandangannya menghitam. Dia benar-benar sakit kepala, perutnya juga agak mual.

"Harus beli jamu nih, biar reda sakitnya. Aku masuk angin kayaknya." Batin Rianti sambil membuka lemari es.

Benda elektronik keluaran lama itu sudah reyot, lampunya kuning buram dan aromanya apek karena berbagai macam barang masuk ke sana.

Lauk sisa kemarin, sayuran yang sudah busuk dan bahkan mengering. Semua itu Halimah, atau Tina yang masukkan.

Jika mereka yang masukkan, siapapun tak boleh ada yang menyentuh. Mau busuk kek, mau berjamur kek, biarkan saja.

Bahkan dibersihkan pun jangan, biar saja seperti itu. Padahal Rianti gatal sekali ingin membersihkan kulkas ini, tapi apa daya. Harus menunggu izin dulu dari ibu suri, kalau tidak, bisa-bisa dia dituduh mau mencuri makanan mereka.

"Aduh busuknya, opor ayam sudah basi malah ditaruh di kulkas bukannya dibuang." Gerutu Rianti, sambil menutup hidung.

Itu adalah opor ayam yang dibeli Tina sekitar tiga atau empat hari yang lalu, tak ada yang makan karena dia malah makan di luar dengan teman-temannya.

Opor ayam yang cuma dua potong itu akhirnya basi, lalu saking pelitnya, malah dimasukkan kulkas dengan alasan nanti akan dicuci dan diolah ulang. Bahkan dibuang pun jangan.

Rianti mengambil kantong kresek miliknya, berisi daun bayam, jagung manis dan tempe. Hari ini masak sayur sederhana saja karena uangnya juga sudah pas-pasan.

Begitulah, sejak Toni menganggur secara otomatis dirinya yang membiayai keluarga ini. Walau mertua dan adik iparnya bekerja, tetap saja Rianti yang wajib membeli kebutuhan rumah.

Alasannya, karena sudah menumpang gratis di rumah mertua.

"Rianti, belum beli token listrik? Udah bunyi tuh, bikin malu aja. Tetangga sebelah pada denger, kayak orang miskin aja enggak punya listrik."

Halimah muncul di ambang pintu, karena sewot melihat menantunya cuma rebahan, dia jadi lupa tujuan utamanya mencari Rianti. Yaitu menanyakan soal token listrik.

"Token? Bukannya Tina yang mau beli, Bu?"

"Lho, lho.. kok malah Tina yang beli? Itu kan tugasmu dari pertama pindah ke mari! Masa udah lupa?!"

Bola mata Halimah melotot, seperti mau melompat ke luar.

Rianti menggaruk kepalanya yang tak gatal, agaknya sang mertua sudah lupa dengan perjanjian bulan lalu.

Saat itu Tina memohon-mohon meminjam uang, karena dia sedang ulang tahun dan mau mentraktir teman-teman pabriknya.

"Ayo Mbak, kasbon dulu ke juragan. Cuma tigaratus doang kok. Masa iya enggak dikasih?"

"Iya Ti, sana kasbon dulu. Kasian adik iparmu itu, nanti dia malu. Mau taruh di mana mukanya di depan teman-teman kerja, kalo enggak traktir makan-makan!"

Bahkan Halimah pun ikut meyakinkan Rianti untuk kasbon ke majikannya. Jadi gaji di bulan berikutnya akan dipotong sesuai dengan yang sudah dipinjam sebelumnya.

"Bulan depan, aku yang belikan token listrik deh Mbak. Gimana?" Katanya waktu itu.

Halimah pun mendengarnya dengan jelas, dia juga mengiyakan dan ikut menjanjikan bahwa Tina pasti membeli token bulan depan. Masa sudah lupa? Halimah  belum pikun.

"Anu Bu, bulan lalu kan Tina minta aku kasbon dan katanya bayarnya bulan ini, dibelikan token listrik."

"Ah masa sih? Jangan asal ngomong kamu! Mana ada anakku minjem duit kamu!"

Walau membantah dan tak percaya, tapi sorot mata Halimah nampak berbeda. Dia jelas mengingat perjanjian itu, hanya saja sedang pura-pura tak ingat biar bisa lari dari tanggung jawab.

"Iya Bu, kan buat traktir temen-temennya itu.. jadi bulan ini aku enggak perlu beli token listrik, minta aja sama Tina."

"Ckk! Ckk! Minjem sedikit doang, pake diinget-inget sih Ti.. Ti! Seratus doang sih itung-itung kado buat iparmu lah! Jangan perhitungan!"

"Tiga ratus, Bu. Tina pinjemnya tiga ratus kok.. bukan seratus." Ralat Rianti.

Sontak bola mata Halimah kembali terbelalak lebar,

"Tiga ratus dari Hongkong! Jangan ngaco kamu, Rianti!"

"Enggak, Bu. Kalo Ibu enggak percaya, biar aku tanyain sama majikanku.."

"Aduh! Kebangetan banget kamu, Rianti! Enggak tau terima kasih! Udah sukur dikasih tempat tinggal gratis, hutang segitu aja pake diinget-inget, disebut-sebut!"

Perempuan yang rambutnya beruban itu sewot, marah besar. Rianti menghela napas, tak tahu harus mengatakan apa karena dirinya yakin apapun yang dia katakan saat ini cuma akan menambah besar amarah sang mertua.

Ibaratnya, kalimat paling benar pun hanya akan menjadi bensin yang memperbesar nyala api kemarahan Halimah.

Satu-satunya cara adalah dengan membeli token, dengan uangnya sendiri, dan melupakan hutang Tina. Tapi apa daya, uang yang dia pegang hanya lima puluh ribu dan itu pun untuk uang ngopi Toni, suaminya.

Bisa ngamuk dia jika uangnya dipakai.

"Maaf Bu, tapi.."

"Halah sudah lah! Biar aku yang beli tokennya! Menantu enggak tau diri, udah dikasih tidur gratis, enak enggak kepanasan, enggak keujanan, duit segitu aja masih diitung-itung!" Dengusnya sambil melengos pergi.

Rianti hanya mengelus dada mendengar ucapan sang mertua, padahal barusan dia mau meminjam uang mertua dulu untuk beli token bulan ini.

Nanti bayarnya dicicil, atau mungkin bisa cash jika Tina mau membayar hutangnya.

Tapi Halimah keburu emosi dan membeli token dengan uangnya sendiri, ya sudah.

"Ya anggap aja lunas, lah." Ujar Rianti, berusaha tak mau ambil pusing.

Kepalanya makin terasa sakit, seperti mau pecah. Belum lagi dia sampai sempoyongan saat berdiri. Tapi walau begitu, dia harus tetap memasak, supaya saat suaminya pulang nongkrong dan adik iparnya pulang dari shift pagi, sudah sedia hidangan hangat.

Sekitar satu jam kemudian, makanan sudah tersaji, nasi juga sudah matang. Rianti ingin tiduran lagi, karena kepalanya tak kunjung sembuh.

Baru saja membaringkan tubuh, dia mendengar suara motor Toni. Mau tak mau dia harus kembali bangun, untuk menyambut kedatangannya bagai raja.

"Baru pulang, Mas? Mau makan sekarang, atau mandi dulu?" Tanya Rianti, sambil menghampiri suaminya untuk mencium tangan.

Tapi lelaki itu tak acuh, melepas jaket kulit yang dia kenakan dan melemparkan pakaiannya itu ke kasur. Nampak kedua lengannya yang penuh dengan tato, mengenakan kalung rantai dan telinganya dipenuhi tindikan.

"Capek aku, mau tidur."

"Mandi dulu, Mas. Biar seger tidurnya.."

"Halah berisik!"

"Paling enggak cuci kakinya, Mas. Biar.."

"Berisik! Sana keluar! Bikin mumet aja, perempuan enggak berguna!"

Toni mendorong punggung istrinya keluar kamar, begitu keras sampai-sampai jatuh terjerembab. Tubuhnya lunglai, kondisinya sedang tak fit dan didorong sekerasnya tenaga lelaki.

"Mas.. aku lagi sakit. Aku mau istirahat di kamar.." ujar Rianti, meminta belas kasih suaminya sendiri.

Tapi Toni malah membanting pintu, sangat keras dan membuat Rianti tersentak.

"Ya Allah.." bisiknya pedih.

Air mata menitik, dan ia segera menyeka air matanya sebelum ada yang melihat. Untung saja mertuanya tak lihat kejadian barusan, bisa makin heboh nantinya.

Plak!

Secarik kertas kecil dibantingkan ke hadapan Rianti, nampak Halimah menatapnya sinis,

"Tuh, aku udah beli tokennya. Puas kamu Nyonya besar?!" Hardiknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status