Setelah seharian berputar-putar dan singgah di beberapa tempat makan di Surabaya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk membawa Mas Fariz ke sini. Ke pusat pemakaman umum yang ada di daerah Surabaya.Dia yang sepertinya sudah tahu akan dibawa ke mana, tak mengeluarkan sepatah pun kata dan hanya bisa menggenggam tanganku sampai tiba di dua pusara dengan ukuran berbeda.Ferry Septian dan satu pusara mungil tanpa nama di mana bakal calon anak kami yang gugur sebelum lahir, dimakamkan."Hai, Fer. Gimana kabar di sana? Anak kita baik-baik aja, kan?" Kuletakkan sebuket bunga Lily di atas tanah merah yang dilapisi marmer hitam. "Kamu nggak perlu khawatir lagi, aku udah baik-baik aja. Ada Mas Fariz sekarang." Aku menoleh menatap lelaki yang sejak tadi membisu. Biasanya kalau datang ke sini air mataku pasti tak terbendung, tapi sekarang rasanya beda. Aku sudah lebih kuat dengan kehadiran Mas Fariz."Hai, Bro." Aku tertegun saat Mas Fariz tiba-tiba meletakkan tangan di atas nisan Ferry, lalu mul
"Mbak Uci!"Dia adalah Nisa, salah satu santriwati yang cukup dekat denganku."Ya, Nis?" Kami menghentikkan langkah tepat di akses jalan masuk menuju pelataran Masjid, tempat acara Tablig Akbar diadakan."Bisa minta waktunya bentar? Ada Akhi yang shodaqoh konsumsi dari Jakarta, tapi Ukhti Sarah koorditornya lagi berhalangan. Mbak Uci diminta kiyai Aziz buat wakilin? Soalnya beliau lagi ada tamu." Aku menoleh pada Mas Fariz. Meminta persetujuan."Lah, kenapa mesti tanya. Ya, bolehlah. Udah, sana! Gue bisa tunggu di sini," tukasnya sembari menepuk pundakku pelan.Kualihkan pandangan pada Nisa, lalu mengangguk pelan."Ya, udah, Mas tunggu di sini, ya. Nanti aku balik. Kalau ada apa-apa telepon aja.""Siap." Dia mengacungkan dua jempol, lalu mulai bergabung dengan yang lain. Mendengarkan ceramah Kiyai Natsir yang terkenal tersohor di antara para pemuka agama.Setelah memastikan Mas Fariz mengambil tempat di samping seorang bocah berumur tujuh tahunan yang menatapnya penuh rasa penasaran.
"Apa? Penjelasan apa lagi? Saya nggak butuh penjelasan apa pun. Pergi sekarang, Mas! Saya mohon, sebelum Mas Fariz kembali dan salah paham."Bukannya berangsur pergi, Mas Ali justru mengambil langkah mendekati."Ini tentang perjodohanmu dan Fariz!"Seketika aku terbungkam."Mungkin kamu nggak tahu kalau sebenarnya sayalah yang menyarankan Papa untuk mengajukan lamaran Mas Fariz untukmu beberapa bulan lalu."Deg!"Kamu juga nggak akan tahu gimana tersiksanya saya hidup dengan wanita yang nggak pernah saya cintai bahkan sampai detik ini. Tolong mengerti, Suci. Berhenti membenci saya seperti ini, karena nyatanya bukan hanya kamu yang korban di sini, tapi juga saya. Kita sama-sama tak berdaya dalam belenggu dunia, kita sama-sama anak yang tak ingin mengecewakan orangtuanya. Apakah saya salah saat mengambil jalan tengah dengan mengajukan poligami, daripada menghabiskan sisa hidup terus hanyut dengan dosa zina hati? Saat semua raga saya beri pada istri, tapi jiwa saya masih terus tertuju pa
Kupikir, perasaan bisa dengan mudah datang dan pergi, secepat angin membawa terbang daun kering dari tangkainya hingga tak terlihat di sekitarnya lagi. Kupikir, waktu bisa membiaskan rindu ketika temu yang berujung jemu berakhir pilu. Nyatanya perasaan memang tak mudah berubah, dan waktu tak selalu berhasil mengatur kapan dia bisa membolak-balikan hati setiap manusia dari kecewa menjadi bahagia, maupun benci yang berubah menjadi cinta.Aku hanya satu dari sekian wanita yang mencoba keluar dari belenggu masa lalu. Aku hanya seorang istri yang berusaha menjalankan kewajiban sesuai kemampuan diri meski belum sepenuhnya jiwa dan raga kuberikan pada sosok yang disebut suami.Dua setengah bulan ini aku bukannya tak pernah mencoba. Selalu, setiap waktu, sepanjang tujuh puluh lima hari ini aku tak pernah berhenti mencoba membuka hati, memberi sepenuhnya apa yang bisa dilakukan sebagai seorang istri, walau nyatanya di hati ini masih terpahat nama lelaki tak tahu diri bernama Ali.Tak bisa dip
"Yakin kita perlu ketemu beliau dulu?" Mas Fariz tampak ragu saat aku membawanya ke depan ruangan Kiyai Pondok.Aku mengangguk kecil."Mending nggak usahlah." Dia memutar tubuh hendak berlalu.Lekas kutarik lengannya, dan bersamaan dengan itu langsung mengetuk pintu. "Suci!" Setengah terpekik Mas Fariz memelotiku.Aku yang tak peduli langsung menyeretnya masuk."Assalamua'alaikum, Ki--"Kini aku yang tertegun saat menyadari sosok berpenampilan rapi mengenakan thawb atau gamis yang biasa dikenakan lelaki dari Negara Timur Tengah, sudah berdiri di samping Kiyai Aziz."Maaf, Kiyai. Saya nggak tahu kalau di sini ternyata ada Gus Hanan," lanjutku sembari menunduk sungkan."Nggak apa-apa, Ci. Kebetulan Hanan udah mau pergi," sahut Kiyai Aziz seolah mengusir ketidaknyamananku. "Mari, silakan, duduk!" Beliau langsung mempersilakan kami."Saya belum sempat menyampaikan, selamat untuk pernikahan kalian." Gus Hanan tiba-tiba memulai percakapan yang membuatku kembali merasa tak enak. "Udah lama,
"Sakit." Mas Fariz menunjukkan telapak tangannya yang memerah, sesaat setelah kami keluar dari ruangan Kiyai Aziz. Kuhela napas panjang, lalu meraih tangannya. "Bayangin kalau Pak Yai yang kena pukul tadi? Ujung meja aja sampe patah, apalagi bahu beliau," tegurku sembari meniupi telapak tangannya."Ya maaf, kelepasan. Lagian Pak Yai pake muji-muji kita serasi, pan gue jadi seneng."Aku tersenyum kecil, lalu mengapit lengannya menuju parkiran."Bagus, dong. Bukannya kita emang serasi?" godaku sembari meremas otot bisep-nya yang menyembul dari balik kemeja ketat.Dia mengerjap. "Nggak usah ikut-ikutan kalau tujuannya cuma buat ngehibur doang." Dia melepas genggaman tanganku, lalu menjaga jarak saat kami berjalan beriringan. "Gue kalau lagi galau emang suka baperan. Jadi, nggak nerima pujian yang isinya cuma basa-basi doang."Aku menahan senyum, seraya mengikuti langkah Mas Fariz yang mulai terlihat serampangan. Sesekali kakinya menendang batu krikil atau apa pun yang ada di hadapan."
Esok paginya. Aku terbangun dengan perasaan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Nasehat Bapak benar-benar ampuh untuk membuat kami sama-sama saling introspeksi. Khususnya aku yang sempat dilanda dilema, dan ditempatkan di antara dua lelaki.Selesai menunaikan sholat subuh dan mencuci. Masih dengan daster dan kerudung yang hanya disampirkan, kuhampiri Ibu di dapur untuk menanyakan keberadaan Mas Fariz yang tak terlihat setelah subuh tadi. "Bu, liat Mas Fariz?" tanyaku sembari menumpukkan dagu di bahunya yang tengah asik mengulek sambal."Oh, suamimu lagi benerin genteng di gudang. Kemarin Ibu periksa ternyata ada yang pecah ketiban Sukun. Pohonnya, kan pas banget di atas!""Dari tadi?" Aku bertanya lagi. "Udah hampir jam setengah sepuluh ini." Aku memastikan karena heran bagaimana bisa membetulkan genting membutuhkan waktu selama ini."Iya. Tadi, sih Ibu liatnya dia sambil meriksa motor tua Bapak yang udah lama nggak dipake.""Oh."Tak heran sekarang kenapa dia membutuhkan banya
"Ngapain nyusulin ke mari?!" pekik Mas Fariz saat melihatku menghampiri ke Kali sembari memeluk handuk kering yang dibawa dari rumah.Tergesa-gesa dia naik ke permukaan, setelah meraih kausnya yang nyaris hanyut tadi. Aku menghela napas saat melihat Doni yang semula sempat menggantikan mengangkat telepon sudah ikut terjun, berenang di dalam air Kali yang kebetulan arusnya memang tenang dan lumayan dangkal itu. Dua temannya yang lain juga melakukan hal yang sama. Hanya dengan celana boxer yang melekat mereka melompat dari batu ke batu, menyusuri sekitaran Kali yang biasa digunakan untuk tempat mancing ini."Doni bilang kamu nyebur, aku kira kelelep, makanya buru-buru aja ke sini," cetusku sembari menutupi kepalanya yang basah dengan handuk.Selesai menggosok rambut dan wajahnya, Mas Fariz langsung menatapku sembari menggigit bibir menahan tawa."Badan segede gini? Kelelep?" Dia membalikkan pertanyaan."Emang Gajah nggak akan kelelep kalau nyebur ke Kali?" Tak mah kalah, aku membalasnya