"Rini," pekik sesosok manusia dengan pahatan begitu sempurna diwajahnya. Matanya yang teduh, dilengkapi bulu mata yang lentik, tengah memandangku. Bibirnya selalu dipenuhi dengan senyum yang menawan. Ibuk hanya tersenyum melihat kami berdua.Ibas, dia tetangga, sekaligus teman masa kecilku. Kami berteman sejak dari TK, sampai SMA. Kemana-mana, kami selalu berdua. Banyak yang mengira, kalau kami pacaran. Bahkan, dia rela memilih SMA negri, demi bisa bersama denganku. Padahal, dia termasuk keluarga berada. Bahkan, tergolong keluarga paling kaya, di kampung ini. Meskipun dari keluarga berada, dia tidak pernah sombong. Keluarganya juga supel, sehingga banyak tetangga yang suka pada mereka. Kedua keluarga kami memang lumayan dekat, bahkan mamanya Ibas pernah memberikanku biaya pendidikan, namun ditolak oleh Ibuk, karena takut berhutang budi.Awal perpisahan kami, ketika dia dan keluarganya, pindah kota. Entah kota mana, dia juga tidak memberi tahuku. Rasanya berat sekali, waktu itu. Kehil
Reflek, aku dan Ibas saling menjauh. Biar bagaimanapun, kami sudah dewasa, bila berdekatan begini, bisa menimbulkan fitnah. Sementara Ibas, menatapku penuh tanda tanya."Baru kemarin, aku menjatuhkan talak padamu. Sekarang, sudah dapat mangsa baru."Haris, siapa lagi kalau bukan si mulut lemas itu. Hilang sudah rasa hormatku padanya. Tak sudi rasanya memanggil dia dengan sebutan, Mas Haris.Aku diam saja, malas menanggapinya. Kuakui, aku juga salah, tidak bisa menjaga sikap di depan Ibas."Apa maksudmu?" tanya Ibas. "Seperti yang kamu dengar tadi, dia sudah jadi janda," tekan Haris santai. "Janda?" tanya Ibas heran seraya menatapku.Aku mengangguk lemah."Ya, dia sudah janda, bekasku."Bugh!Tak disangka-sangka, Ibas menonjok mulut Haris. Haris yang tidak siap, sedikit terhuyung ke belakang. Terlihat, darah merembes dari ujung bibirnya. Sepertinya, Ibas tidak main-main."Ibas!" Kuseret tubuhnya untuk menjauhi Haris. Ibas yang bersiap memukul kedua kalinya, segera kutarik. Cengkraman
pov HarisTak disangka, Ibuk dan Suci pulang sambil menangis. Kata mereka, Rini mengumpat. Awas, ya, kamu Rin. Tanpa mendengar penjelasan Ibuk dan Suci, aku melenggang pergi. Aku harus mendengar penjelasan Rini, kenapa bisa, Suci dan Ibuk sampai menangis.Dengan kecepatan tinggi, aku sampai rumah. Pintu rumah dalam keadaan tertutup.BraakAku menendangnya. Emosiku sudah meletup-letup."Dek, ngomong apa kamu sama, Ibuk?" cecarku pada Rini.Bukannya menjawab, dia malah terlihat santai, seolah tidak terjadi apa-apa. "Kamu ngomong apa tadi, sama Ibuk?" bentakku lagi. Aku sangat emosi dibuatnya.Rini malah meninggalkanku, lalu mencuci tangan dan mengelapnya. "Rin ...," geramku karena tak kunjung menjawab."Kamu dengar aku gak, sih?" bentakku lebih keras lagi."Kamu bentak aku, Mas?" tanyanya.Ya, ini pertama kalinya aku membentaknya. Aku benar-benar khilaf."Dek, tadi kamu ngomong apa sama Ibuk dan Suci. Mas cuma mau tau aja," aku mencoba mengambil hatinya."Gak ngomong apa-apa kok, Mas
Pov Rini"Gila, kamu sungguh sudah tidak waras. Setelah apa yang kamu perbuat padaku, sekarang dengan entengnya kamu minta kita rujuk. Sampai kapanpun, aku tidak sudi kembali padamu." "Suatu saat, kamu akan menyesal, Rin, telah meninggalkanku," pede sekali dia. "Kamu yang akan menyesal. Jangan pernah ganggu Rini, atau, kamu akan berurusan denganku!" Ibas sudah berdiri di belakangku. "Wow, jangan-jangan, kamu suka Rini, ya? Janda gatel aja, kok dibela," ujar Haris menjengkelkan.Aku menjadi janda kan, gara-gara dia juga. Mungkin otaknya sudah geser, tak bisa berfikir lagi apa yang dia ucapkan."Kalau iya, kenapa?" DegApa yang dikatakan Ibas? Apa hanya sekedar membelaku dari Haris, atau ada maksud lain?Hatiku sungguh berbunga-bunga. Selama menikah dengan Haris, tak sekalipun, dia membelaku. Sekarang, diperlakukan begini oleh Ibas, hatiku sungguh bahagia."Woi, sadar Rin. Gak pantas kamu bersanding dengan Ibas. Dia itu tampan, kaya, lah kamu, miskin, janda lagi," rutukku dalam hati
"Aku ke dalam dulu, Ibuk manggil," pamitku, tanpa menunggu persetujuannya.Ibas menghela nafas kecewa. Aku mau tersenyum geli, namun tak tega. Akhirnya, kusimpan senyumku dalam hati. Pasti dia kecewa. Aku sudah hafal perangainya, dia tidak akan mau menunggu. Dia paling tidak sabaran. Pasti, sebentar lagi, dia akan mendesakku lagi."Ada apa, Buk?" tanyaku lembut."Ibuk capek duduk, tolong bantu Ibuk ke kamar, ya!" Ibuk hendak berdiri dari kursi. Aku sampai lupa, kalau Ibuk masih di ruang tamu. Ah, semuanya jadi kacau. Bagaimana, kalau beliau sudah mendengar semuanya? "Bas, kamu sudah mau pulang?" teriak Ibuk, sambil bangun dari duduknya."Belum Buk, masih kangen sama Rini," ucapnya tanpa malu.SerrrHatiku berdesir, pipiku terasa menghangat. Pasti, wajahku sudah seperti udang rebus.Dulu dia juga sering bicara begitu, namun hatiku biasa saja. Sekarang, dia bicara begitu, hatiku begitu berbunga-bunga."Gak baik, kalau belum sah," sahut Ibuk."Apaan sih, Buk?" Aku menunduk malu sambil
Tak disangka, Ibas pergi meninggalkanku begitu saja. Begitu marahkah dia, padaku? Harusnya, dia bisa mengerti perasaanku. Bukan hanya menilai, dari apa yang dilihatnya saja. Toh, aku juga tidak diam saja. Aku sudah berani mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. "Bas, mau ke mana?" kejarku.Dia tak menjawab, langsung menuju kamar Ibuk, lalu mengetuknya pelan.Tok tok"Buk, ini Ibas!" "Ibuk istirahat, Bas, jangan diganggu!" Ucapku dengan nada khawatir. Entah khawatir karena apa, aku juga bingung.Tanpa menunggu jawaban Ibuk, dia langsung mendorong pintu, seolah ini kamarnya sendiri. Aku mengekor di belakangnya, takut sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Benar saja, Ibuk terpejam. Tapi tidak, tangannya memegang tasbih. Mulutnya melantunkan asma Allah. "Buk, Ibas pamit. Ibuk sehat-sehat, ya!" pamitnya. Ibuk langsung membuka mata, seraya menatap heran kepada kami."Kenapa buru-buru?"Ibas hanya diam, seraya memandangku jengkel. Aku semakin kikuk dibuatnya."Jangan bilang, kalian s
Ternyata Ibas. Dia sudah berdiri di ambang pintu, dengan rambut sedikit basah. Aroma parfum maskulin, menguar dari tubuhnya. Sepertinya sudah mandi, terlihat dari pakaiannya, juga sudah ganti. Kalau dipikir, ini belum ada satu jam, dan dia sudah kemari lagi. Memang ,rumahku dengan Ibas, berjarak hanya beberapa langkah saja. Jadi tak heran memang, dia secepat kilat sampai sini lagi."Sekarang sudah lepas Maghrib, jadi aku bebas kemari," ucapnya dibarengi senyum termanisnya."Duh, lama-lama bisa diabetes aku," gumamku."Kenapa, Rin?" "Gak, mau ngapain lagi, kamu?" tanyaku gugup."Mau ngajak kamu, sama Ibuk, makan malam di luar."Tanpa permisi, dia menyelonong masuk. Aku yang berdiri di ambang pintu, dianggapnya tidak ada."Gak sopan," sungutku, sambil mengimbangi langkahnya."Sejak kapan aku harus sopan sama kamu?" ejeknya, tak mau kalah. "Dasar, kepala batu!" "Dasar, cerewet!" "Ibaaaas..." geramku.Hendak kucubit perutnya, ,namun dia bisa dengan gesit menghindar. "Beginilah, kal
"Rini ...!" Haris sangat terkejut, begitu melihatku, bagai melihat setan di siang bolong. Ibuk dan Ibas tak kalah terkejutnya, melihat sepasang manusia ini. Tanpa malu, tangan si wanita, bergelayut manja di lengan Haris. "Haris," ucap Ibuk tak percaya, pada mantan menantunya, yang sudah menggandeng wanita lain. Haris terlihat sangat gelisah, melihat kami bertiga."Siapa dia, Mas?" tanya si wanita dengan nada dibuat-buat. Gaya manjanya, semakin membuatku muak.Ibas menatapku intens. Seperti sedang mencari kebenaran. Mungkin dia kira, aku cemburu dengan Haris. Salah. Dia salah besar. Hatiku sudah mati rasa dibuatnya. Bukan cemburu yang kurasa, namun, kecewa, ternyata Haris bersikap sangat rendah. Baru saja dia menduda, dengan gampangnya melabuhkan hatinya ke wanita lain. "Rin, aku bisa jelaskan," Haris setengah memaksa. Tangannya hendak memegang tanganku, dengan sigap, segera kutepis. "Aku tak butuh penjelasan. Yang kubutuhkan sekarang, hanya uangku. Jangan lupa kembalikan uangku."