"Dokter tidak memberitahukan pada saya apa masalahnya, Tuan Walsh. Tapi beliau bilang akan bicara langsung dengan Anda."
"Apa aku harus menelponnya sekarang?”
Wanita itu pun mengangguk pelan.
"Lebih baik begitu, Tuan. Karena dia tidak mau ada distorsi, sehingga meminta saya menyampaikan seperti ini pada Anda.”
"Baiklah kalau begitu.”
Arthur tadinya ingin mencari Alila di kamarnya, tapi karena penjelasan dari perawat, dia menuju ke ruang kerjanya yang memang ada di samping kamar tidurnya.
Dia mengeluarkan handphone-nya dan sudah tak sabar ingin bertanya pada dokter, apa yang terjadi pada wanita yang kini sedang terlelap di kamarnya itu.
Dokter: Tuan Walsh, terima kasih sudah
"Aku harus mencarimu."Arthur yang emosi, kini sudah berdiri dari tempat duduknya. Hatinya memanas dan kini tujuannya adalah pintu apartemennya. Dia ingin menyusul Alila."Kau ke sini disuruh adikmu, kah?"Tapi saat Arthur membuka pintu, dia terkejut melihat siapa yang baru mau membuka pintu itu. Bayangan negatif tentang Alila yang suka mengadu pada keluarganya, membuat dirinya menuduh se-simple itu ketika melihat siapa yang datang."Hei, jangan marah. Adikku tidak mengadu apa-apa lagi padaku. Dan aku datang ke sini karena aku baru saja mengunjungi pekerjaan di lapangan dan sudah lewat waktunya makan siang. Aku sengaja datang, karena tadi aku telepon kantormu dan tanya sekretarismu apa kau sudah makan atau belum, dia bilang kau tidak datang. Makanya mumpung lewat tempat tinggalmu, aku mampir dulu.&rd
"Iya, masalah itu yang mau aku bicarakan.""Masalah itu masalah apa? Kau bicara yang benar, lah! Aku tidak mengerti itu." Arthur lalu menghempaskan napasnya lagi dan mengambil sesuatu dari sakunya."Hei, apa yang membuatmu pusing?""Tidak ada. Kenapa kau bertanya begitu?" tanya Arthur yang sedikit terganggu dengan ucapan sahabatnya karena benar dia memang sedang pening. Dia tidak ingin membahas masalah apa pun tentang Alila yang akan mempengaruhi hubungannya dengan Rich. Tapi karena sudah biasa menceritakan semua masalahnya pada sahabatnya, sekarang ia tidak bisa cerita yang ada jadi tekanan batin sendiri."Kau merokok. Kau tidak akan melakukannya ini kalau memang kau tidak sedang pusing, kan.”"Ini hanya rokok elektronik. Ini palsu. Bukan rokok.”
"Syukurlah, dia tidak bicara sekarang. Aku juga belum sanggup untuk bicara kalau dia membahas adiknya." Arthur bicara pelan seperti ini yang hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri saat dia sudah keluar dari restoran dan kini, dia berjalan ke halte tak jauh dari lokasi resto. Yang ingin dilakukannya adalah kembali ke apartemen dan mengecek sesuatu."Alila. Bisa-bisanya kau pergi dari apartemenku. Aku harus mencarimu sekarang!"Arthur teringat lagi dengan rencananya, makanya dia mengambil handphone dan mencoba menghubungi orang-orangnya untuk mencari tahu di mana wanita yang berstatus istrinya itu. Lagi-lagi ini mengganggunya, apalagi dia mengingat betul bagaimana Alila bisa masuk ke dalam mobil Shaun.Dasar wanita kegatelan. Tadi malam kau tidur denganku dan sekarang kau sudah jatuh ke dalam pelukan orang lain?
Pipiku.Rasa panas terasa di wajah Alila setelah tangan kakaknya menerpa pipinya. Belum pernah kakaknya memukulnya seperti ini sebelumnya. Apalagi di depan umum, kakaknya selalu saja menjaganya dan melindunginya. Dan jelas teman Alila juga kaget sangat melihat apa yang dilakukan oleh Rich pada adiknya."Alila, kau tidak apa-apa?" Makanya dia sontak bertanya karena khawatir.Tapi ada seorang wanita di sana yang justru merasa sangat senang hatinya melihat adegan yang baru saja terjadi.Sekarang aku baru membiarkan kakakmu menampar wajahmu. Dan nanti kau akan lihat sendiri kakakmu akan mengusirmu ke jalanan. Atau bahkan membunuhmu demi aku, seru hatinya yang merasa mendapat jackpot melihat Alila yang baru saja kena pukul.Sedangkan Rich, jujur saja
"Alila, kau berjalan sudah seperti berlari. Hati-hati, Alila, kau baru sembuh."Shaun memang khawatir sekali dengan kondisi temannya, makanya dia buru-buru mengejar dan kini membukakan pintu untuk Alila yang memang benar merasakan pusing di kepalanya. Emosinya tadi meninggi, tapi dia tidak mau membiarkan dirinya terlihat lemah di hadapan orang lain apalagi wanita seperti Paula.Dan bahkan pukulan di wajahnya, membuat kepalanya masih kliyengan. Jangan lupakan kalau darahnya baru diambil delapan ratus mili. Dan darah itu tidak mungkin kembali dalam waktu beberapa jam."Terima kasih, Shaun. Dan aku minta maaf sekali. Aku ingin mentraktirmu di sini karena makanannya rasanya enak sebagai perayaan kita berdua lolos berangkat ke Jepang. Kurasa ini hadiah yang pas untukmu, apalagi kau memang sudah banyak membantuku. Hari ini aku tidak bisa lolos kalau b
"Hai, kalian berdua sudah datang. Tumben lebih cepat."Namun sebelum Alila memutuskan apa yang harus dilakukan, ibu Arthur sudah menyapa mereka dan melambaikan tangan, tanda bahwa mereka seharusnya mendekat dulu padanya."Hai, Tante. Halo Amar, apa kabar?""Hai, Alila. Aku tak sangka bertemu lagi denganmu sekarang.""Dia kan kerja di sini, Amar.""Iya, Rein. Aku lupa kalau Alila bekerja di sini. Apa kabar, Alila?" Amar ramah menyapa Alila bahkan mengulurkan tangannya lebih dulu."Oh ya, boleh aku bertanya sesuatu padamu?""Amar, kau ingin bertanya apa?"Dan sebelum Alila merespon Amar, Rein memotong duluan, ingin tahu. Dari mimik wajahnya, Rein terlihat tak suka.
"Dia tadi bilang, dia tidak tahu, Rein." Tapi Amar malah menjawab singkat seperti itu sambil dia menghempaskan tubuhnya duduk lagi di kursi tadi sebelum Alila datang."Tapi kan itu katanya. Apa kau tidak memperhatikan sikapnya? Kurasa dia tahu sesuatu, tapi dia tidak mau bicara. Rasanya itu mudah untuk kita tahu, kan? Kita sudah lebih dewasa darinya. Gesture-nya beda, Amar."Mereka juga dulu pernah muda dan pernah menjadi remaja seperti Alila. Dari gerak-gerik Alila memang terbaca sesuatu di mata orang tua seperti mereka. Tapi Amar malah menggelengkan kepalanya, menolak pernyataan Rein."Aku tidak bodoh. Tapi aku juga tidak mau memaksakan kehendakku. Jika dia mau cerita, dia pasti cerita. Karena dia juga tahu seberapa besar kekuasaan ayahnya. Cuma mungkin, dia memang tidak tahu detailnya? Dan dia punya alasan sendiri kenapa dia menyembu
"Apa mereka berdua sudah menuju ke sini, Dave?""Hmm. Sudah, Reza. Kurasa tidak ada di antara mereka yang akan mengabaikan panggilanmu."David menjawab pertanyaan bosnya yang kini sedang duduk di kursi kerjanya dan tangannya memijat dahinya sendiri.Mata pria itu terpejam, tapi tentu dia tidak tidur. Hanya lelah dan penat saja dengan berita yang baru saja didapatkan olehnya dan pikirannya sangat sibuk sekali."Kau tenanglah dulu. Ini bukan bom atom, kok. Hanya keributan kecil kakak-beradik.”"Tapi mereka mempertaruhkan reputasiku.”Jawaban yang kembali membuat David menghela napas dan dia mendekat, lalu duduk berseberangan dengan posisi Reza dan di antara mereka ada meja kerja lumayan lebar yang memisahkan keduanya."Reza, na