"Benarkah Dania? Ibu senang sekali mendengarnya. Alhamdulillah, doa-doa ibu akhirnya di dengar oleh Allah. Kamu bisa jadi seorang penulis sukses!" ucapku pada Dania saat ia menceritakan kesuksesannya menjadi seorang penulis.
"Terima kasih, Bu!" balas Dania menjatuhkan pelukan pada tubuhku untuk sesaat.
Tidak sulit rupanya mengambil hati Dania. Gadis Yatim piatu yang Adam nikahi ternyata ada gunanya juga. Sifatnya yang tidak tegaan membuatku dapat dengan mudah menjadikannya sapi perah. Hanya tinggal bermodal air mata palsu, Dania pasti akan memberikan apa yang aku minta.
Tetapi entah mengapa belakangan ini, Dania sedikit berubah pelit tidak seperti biasanya. Biasanya dia tidak pernah menanyakan kegunaan uang yang aku minta darinya. Tapi kali ini, setiap aku meminta uang, Dania pasti akan bertanya sampai detail kegunaan uang itu. Membuatku samakin kesal dan harus mencari alasan yang pas untuk meminta uang pada Dania.
"Banyak sekali, Bu!" Wajah Dania berubah menjadi kesal yang tertahan.
"Iya Dania, ibu harus segera melunasi hutang itu, atau ...!"
Lagi-lagi aku harus mengeluarkan jurus welas asihku di depan Dania. Air mata yang berlinang dan mengalir deras.
Dania nampak menghela nafas panjang. "Aku hanya bisa memberikan ibu uang dua juta saja. Sisanya aku tidak punya," jawab Dania membuatku meradang.
"Bagaimana bisa, Dania. Ibu kan butuh tiga juga!" Aku menaikan nada suaraku, kesal.
"Bu, ibu harus menghentikan kebiasaan ibu yang suka hutang sana sini. Kan aku sudah bilang, aku sudah tidak menulis lagi, Bu!" ucap Dania dengan wajah kesal setelah menyodorkan uang pemberiannya di atas meja.
Aku mendengus kesal. "Memangnya Dania kira aku tidak tau apa, kalau dia masih menulis, semua tetangga rumah juga tau tulisan Dania. Awas saja kamu, Dania!" gerutuku kesal.
Gaya hidupku yang tinggi membuatku harus galih lubang tutup lubang sana sini. Semua orang di kompleks ini tau, sekalipun aku adalah seorang janda. Tapi aku adalah janda yang mapan. Bagaimana tidak, Adam anak pertamaku memiliki beberapa usaha, meskipun setiap usaha yang ia jalankan selalu membawa kabar buruk. Memang sepertinya nasib sedang tidak berpihak pada Adam. Tapi beruntungnya dia memiliki istri seperti Dania. Otak gadis itu sangat cerdas sekali, dia bisa membuktikan bahwa tanpa bekerja ke luar rumah dia masih bisa menghasilkan uang.
Sementara Rico. Dia adalah anak bungsuku yang bekerja sebagai ASN di pusat kota. Tapi gaya hidupnya yang berlebihaan, gajinya satu bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dan lagi-lagi aku lah yang jadi sasaran empuk Rico untuk menutupi kebutuhan dan gaya hidupnya.
"Tolong, Bu Retno boleh nggak, aku meminjam uang!" seorang sahabat tiba-tiba datang menghampiriku.
Aku mengeryitkan dahi menatap pada sahabatku itu. Selalu aku menjadi sasaran empuk mereka di saat mereka tidak memiliki uang.
"Beberapa Yu Sri?" tanyaku sangtai. Aku harus menjadi orang baik di mata semua orang. Ibu Retno yang mapan dan dermawan.
"Satu juta saja, Bu Retno. Tolong ya!" mohon Yu Sri, temanku pengajian itu.
Akhirnya, aku pun memberikan uang yang Dania berikan padaku beberapa saat lalu pada Yu Sri.
"Terimakasih Ya, Bu Retno, seminggu lagi pasti aku akan kembalikan!" ucapnya sebelum berpamitan dari rumahku.
"Iya santai saja!" balasku tersenyum kecil.
"Dasar, hutang yang kemarin saja belum kamu bayar. Pakai janji minggu depan segala," gerutuku kesal. Bagaimana tidak, uang yang rencananya akan aku belikan perhiasan baru malah di embat tetangga sialan itu.
"Nasib, Nasib!
****
Dadaku bergemuruh, sudah sering kali aku melihat Dania bertengkar dengan Adam hanya karena aku sering meminta uang kepadanya. Dan kali ini aku tidak akan membiarkan Dania kelewatan pada Adam. Aku yakin, Adam juga pasti sependapat denganku. Karena Adam adalah anak yang sangat menurut sekali padaku.
"Besok Adam akan mengurus semua surat-surat cerai kalian," sentakku dengan nada kesal.
"Baiklah, aku tunggu, Mas!" Dania angkat kaki dari rumahku setelah aku mengusirnya. Biarkan saja, toh sekarang Dania juga sudah tidak memiliki uang lagi, dia kan sudah miskin. Lagipula, apa gunanya juga memiliki menantu mandul seperti Dania.
Adam membisu dengan wajah datar menatap pada Dania yang berlalu.
"Sudah Adam, biarkan saja istrimu yang berani' itu pergi. Nanti ibu akan mencarikan kamu istri yang kaya dan penurut!" hiburku pada Adam yang masih mematung.
***
Sebuah mobil berhenti di depan halaman rumah. Aku yang mendengar suara derunya segera berlari keluar.
"Halo ibu!" sapa Rico anak bungsuku yang keluar dari dalam mobil mewah yang berada di luar rumah.
"Rico, mobilnya bagus sekali!" Mataku seketika berbinar. Kuusap lembut bagian depan mobil yang berada di depan halaman rumah.
"Bagus kan, Bu?" tanya Rico tersenyum bangga.
"Bagus, Co! Ini mobil kamu?" tanyaku penasaran pada anak bungsuku. Siapa tau dia dapat warisan dari orang tua Risa.
"Bukan, Bu! Ini mobil Kakaknya Risa," balas Rico.
Aku mendengus halus, "Heleh, ibu kira ini mobil mertua kamu!" balasku dengan nada lesu.
"Hehehe ... !" Rico meringis.
"Ya sudah, yuk kita jalan-jalan!" ajakku pada Rico.
"Jalan? Kemana Bu?" Rico menaikan kedua alisnya menatap heran padaku.
"Keliling kompleks aja!" balasku tersenyum kecil, dengan sebuah ide yang menari-nari di dalam benakku.
Semua tetangga berdecak kagum padaku saat melihat aku yang berada di dalam mobil itu. Aku pun tidak lupa menyapa mereka dengan sangat ramah sekali.
"Mobil baru ya, Bu Retno?" tanya seseorang padaku saat aku melihat di depan rumahnya.
"Alhamdulillah, iya!" sahutku sebelum Rico kembali melakukan kemudinya mengelilingi kompleks.
"Kenapa ibu bilang ini adalah mobilku?" Rico menautkan kedua alisnya.
"Biarkan saja, memangnya mereka tau!" decihku.
"Terserah ibu saja, deh!"
Mobil yang Rico bawa harus melewati pusat kota. Sebagian dari permintaanku juga. Rasanya, jika hanya berkeliling di sekitar kompleks, aku masih kurang puas.
"Rico, Rico, berhenti!" seruku pada Rico saat melihat seorang wanita yang berada di sebuah toko bunga.
"Ada apa, Bu?" tanya Rico memelankan mobilnya memfokuskan pandangannya sama sepertiku.
"Ada Dania!" jawabku tanpa menoleh.
"Lalu!" Rico menatapku heran.
"Udah diem, ibu mau pamer sama dia, dikiranya dengan dia menjual mobilnya. Kita tidak bisa naik mobil lagi apa?" desisku kesal.
Rico menurut, ia memberhentikan mobilnya di depan toko bunga tempat Dania berada. Aku segera turun, melihat Dania yang sedang asyik memilih bunga.
"Lima juta, Mbak!" jawab penjaga toko pada Dania yang mengangkat sebuah bucket bunga mawar.
"Kamu tidak akan sanggup membayarnya, Dania!" selorohku melepaskan bara api pada Dania.
"Berapa Mas tadi?" tanyaku pada penjaga toko memasang wajah' sombong bak orang kaya.
"Lima juta, Bu!" sahutnya.
Aku tergelak, sekilas menatap pada wajah Dania yang berubah. "Dania, uang sebanyak itu lebih baik kamu pakai untuk hidupmu. Kasiankan sebentar lagi anakku akan menceraikan kamu!" hinaku.
"Ada apa ini, Dania?" seru seorang lelaki dengan kaca mata besar dari dalam toko bunga.
"Tidak apa-apa, Mas!" lirih Dania hampir tidak terdengar.
"Ya sudahlah, selamat menikmati hidupmu yang menyedihkan, Dania!" ucapku saat aku melewati Dania lalu masuk ke dalam mobil.
****
Bersambung ....
Aku segera masuk ke dalam mobil. Sesaat memperhatikan seorang lelaki yang menghampiri Dania. Dalam hati aku tertawa puas. 'Dasar, dikiranya mencari suami sebaik Adam itu muda. Tuh, juga cuma pria culun yang mendekatinya. Aku sumpahin semoga tidak ada yang mau menikahi, Dania!""Bu, ibu kenapa senyum-senyum sendiri itu?" seloroh Rico membuatku terkejut."Apa sih!" Aku menepuk paha Rico yang mulai melajukan kemudi."Iya, ibu kenapa senyum-senyum sendiri? Ibu baik-baik saja kan?" Sekilas anak bungsuku menatapku penuh selidik."Iya, ibu baik-baik saja kok!" balasku."Tapi, kayaknya ibu senang sekali? Gara-gara bisa menghina Kak Dania ya?" Rico menjatuhkan tatapan menuduh padaku."Sembarangan!" Aku menepuk paha Rico cukup keras, sesaat membuatnya mengaduh."Ibu senang, karena akhirnya ibu bisa memisahkan Abang kamu dengan Dania," balasku."Astaghfirullahaladzim!" Rico mengelus dada dengan mata membulat."Kenapa ibu setega itu?" Ucapan Rico semakin membuatku kesal saja."Itu adalah balasan
Hatiku terasa begitu perih sekali.Beberapa saat, aku mematung. Beberapa tanya memenuhi benakku. Apa salahku, Mas? Tidak, aku tidak boleh lemah di depan Mas Adam."Baik Mas! Aku pasti akan datang di persidangan itu. Mas tidak perlu mengkhawatirkan hal itu," tegasku.Mas Adam diam menatap sedalam mungkin padaku. "Sebelum perceraian kita selesai, aku harap kamu tidak menghianati pernikahan ini." Mas Adam berlalu menghampiri ibu yang sudah menunggu di depan pagar bangunan berlantai dua tempatku bernaung saat ini di dalam sepi."Menghianati? Siapa yang berkhianat!" batinku mengembara mencerna ucapan Mas Adam."Adam, Adam, itu Adam orangnya!" seru ibu saat seorang lelaki turun dari dalam mobil yang terpikir di depan rumahku.Mas Adam menatap datar pada kedatangan Rian yang berjalan ke arah pagar tepat Mas Adam memarkir motornya. Aku melihat Rian mengukir ulasan senyuman pada Mas Adam yang nampak dingin."Jangan menganggu istri orang? Jika kamu tidak ingin dapat masalah!" decih Mas Adam memi
"Rian, aku tidak nyaman memakai sepatu dan baju ini!" desisku pada Rian yang berjalan di sampingku."Kamu cantik, Mbak!" balas Rian menyunggingkan senyuman padaku.Aku harus terus berpegangan pada pergelangan tangan Rian agar tidak terjauh. Sepatu hak tinggi yang aku kenakan membuatku kesulitan untuk berjalan. Apalagi dress ketat ini, membuatku merasa sangat tidak nyaman sekali."Mbak Dania!" sapa Pak Ram membuatku segera melepaskan tanganku dari pergelangan tangan Rian."Pak Ram!" balasku menyunggingkan senyuman pada lelaki yang berjalan menghampiriku."Selamat datang Mbak Dania. Senang sekali ada dapat hadir di acara ini." Pak Ram begitu ramah sekali menyapaku."I-iya, Pak!" balasku."Rian, ajak Mbak Dania untuk menikmati makanan di restoran baru kita. Eh, salah maksud saya restoran baru saya," ucap Pak Ram tersenyum kecil.Aku membalas senyuman itu dan mengikuti langkah Rian yang berjalan menuju meja makan.Pak Ram adalah lelaki yang hebat. Dia tidak hanya menjadi seorang produser
"Iya, selama aku berada di sisi Rian, aku merasa jika Rian itu bukanlah orang yang sembarangan. Bahkan, saat kami berada di restoran baru Pak Ram, beberapa Waiters memanggil Rian dengan sebutan Tuan. Aneh, 'kan?"Nadia mendengarkanku dengan seksama. Namun kemudian gadis muda itu justru terkekeh."Nia, Nia, ternyata kamu itu nggak cuma tukang halu saja. Tapi kehaluan kamu sudah kamu jadikan di dunia nyata.""Aku serius, Nad!" sergahku dengan wajah penuh keyakinan."Nia, bukankah hal yang wajar jika seorang pelayan itu memanggil pengunjungnya dengan sebutan Tuan. Apa yang salah Nia!". Nadia mengedikan bahunya."Benar juga ya!" pikirku.Tet .... Tet ...Suara bunyi bel dari pintu utama kantor membuatku dan Nadia bergegas turun dari lantai atas."Biar aku saja yang membukanya!" ucapku pada Nadia setelah kita tiba di pintu.Aku terkejut melihat lelaki yang pernah sangat aku cintai berdiri di depan pintu."Dania!" ucap lembut Mas Adam. Sorot mata nanar itu membuat hatiku luluh."Ada apa, Mas
Secepatnya aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Aku harus menemui seseorang yang bisa menjawab semua pertanyaan yang sedari tadi memenuhi otakku. Aku memberhentikan motorku di depan kantor milik Nadia. Sebuah kantor penerbit buku-buku yang cukup terkenal belakang ini."Selamat siang, apakah ada yang bisa kami bantu?" ucap seorang gadis muda berparas cantik yang berada di bagian resepsionis."Iya, selamat siang Mbak," sapaku. "Bisakah saya bertemu dengan ibu Nadia," tanyaku.Gadis yang berdiri di balik meja resepsionis itu mengeryitkan dahi. "Maksud bapak Nadia siapa, ya?" tanya gadis muda itu dengan wajah bingung."Nadia pemilik pemilik kantor ini," tegasku.Gadis muda itu terlihat berpikir sesaat. "Maksud bapak, ibu Dania ya?" Kini giliran aku yang mengeryitkan dahi. "Dania, bukankah pemilik kantor ini adalah Dania," cetusku meyakinkan. Aku yakin, Dania mengatakan padaku jika ini adalah kantor Nadia."Maaf Pak, mungkin bapak salah paham. Pemilik kantor penerbit ini adalah Ibu Dania
POV DaniaAkhirnya aku bisa tinggal di rumah baruku. Meskipun aku tetap saja merasa sepi di rumah ini. Bagaimana tidak, aku hanya tinggal sendiri di rumah ini bersama seorang pembantu dan supir pribadiku. Tapi, tidak masalah, mungkin memang ini sudah menjadi jalan hidupku yang harus aku jalani. Aku pikir, aku akan menikmati kesuksesan ini bersama Mas Adam. Tenyata aku salah, Mas Adam justru ingin membuangku di saat aku sudah tidak dapat memberikannya pundi-pundi uang. Membuatku sadar jika Mas Adam tidak pernah benar-benar mencintai aku."Non Dania, ada tamu!" Suara Bibik dari belakang punggungku membuatku tersadar dari lamunan."Siapa, Bi?" tanyaku menoleh ke arah Bibik. Aku melirik waktu sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam pada jam yang mengantung di ruang tengah.Bibik mengedikan bahunya. "Bibik kurang tau, Non! Tapi sepertinya keluarga dekat Non Dania," tutur Bibik.Seketika kedua alisku bertaut. 'Keluarga? bukankah aku tidak memiliki keluarga. Lebih tepatnya aku tida
POV Author"Serius Adam ngajak kamu balikan?" Nadia nampak membulatkan matanya pada Dania.Wanita bertubuh semampai itu mengangguk mantap. Sorot matanya berfokus pada aksara yang berada di depan layar laptop."Alhamdulillah, Dania! Akhirnya kamu sadar juga." Nadia kegirangan. "Harusnya sejak dari dulu kamu meninggalkan Adam. Agar penderita kamu tidak semakin lama dan berkepanjangan," imbun Nadia tersenyum puas."Sudahlah, tidak perlu membahas hal itu lagi, bukankah semuanya sudah berlalu. Yang terpenting saat ini, aku sudah bebas dari cengkraman mereka." Dania menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil."Ehem ...!"Dania meringis mendengar deheman Rian yang sedari tadi duduk pada bangku di depannya. "Maaf Mas, habis keasyikan ngobrol sih!" ucap Dania sesaat melirik pada Rian yang masih menunggu."Sabar ya, Mas Rian. Namanya juga cewek kalau ngobrol seperti ini," celetuk Nadia yang berdiri di belakang kursi Dania."Iya Mbak!" sahut Rian ramah.Beberapa saat Dania kembali berfokus pad
POV DaniaAku dan Mas Adam menatap pada Rian secara bersamaan dengan wajah terkejut."Apa maksud kamu?" sentak Mas Adam dengan tatapan meradang pada Rian."Tidak, saya hanya menghindarkan apa yang bukan mahramnya saja," balas Rian.Wajah Mas Adam semakin memerah sekilas melihat padaku dan Rian secara bergantian. "Mahram?" Mas Adam menautkan kedua alisnya, geram. "Maksud kamu, Dania tidak halal untukku?" Mas Adam membusungkan dadanya pada Rian, seperti seorang yang ingin mengajak bertarung."Bukankah anda sudah mentalak Dania, jadi sekarang anda bukan siapa-siapa Dania lagi," balas Rian."Kurang ajar!" Kepalan tangan Mas Adam siap mengayun."Stop!" teriakku.Kepalan tangan Mas Adam terhenti di udara. Rahangnya bergemelutuk, kesal. Sementara Rian sedikitpun tidak bergeming dan bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri."Berhenti, Mas!" cetusku, ketakutan.Mas Adam menoleh padaku dengan wajah menegang. "Dia sudah lancang, Dania!" cetus Mas Adam memicingkan matanya pada Rian dengan menun