Share

B8. Alibi

-Kita tidak bisa tahu siapa teman yang baik dan buruk, tapi kita bisa memilih mana yang bisa dijadikan teman yang baik dan buruk-

••

Kayana masih terngiang-ngiang dengan apa yang Bima ucapkan. Kayana terus menatap benda yang ada di tangannya. Berkali-kali dia membaca rangkaian huruf yang ada di kertas tersebut.

"Aahh, aku harus bagaimana?" keluh Kayana lalu terduduk lemas di atas sebuah bangku.

Termenung gadis cantik itu di sana. Tatapan nanar kembali menghiasi saat ingatan itu berjalan melintas. Perlahan kedua tangannya memegang kepalanya dan Kayana menggeleng pelan.

"Adel, kenapa kau melakukan tindakan bodoh?" Isak tangis mulai terdengar mewarnai sekitar. "Tidak kah kau ingat akan janjimu padaku diwaktu itu? Kau bilang akan mengejar impian bersama denganku, tapi kini ...." Kayana terdiam sesaat, tangan kanannya terangkat ke atas dan menyekat air matanya. Kayana mendongakkan kepalanya agar air mata itu tidak kembali meluncur lolos dari tempatnya.

Kepala itu kembali menunduk dan kedua bahu tersebut bergerak bergejolak naik turun seiring dengan irama. "Aku tidak bisa menahannya. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat. Sahabat yang setia menemaniku kala aku sedih dan bahagia."

Kayana, gadis cantik yang kini duduk sendirian kembali terisak. Air matanya seakan tidak bisa ditahan lagi. Sosok Adelia memang sangat berarti bagi Kayana. Ya, Kayana memang tumbuh di keluarga yang kurang harmonis. Ayah Kayana pergi meninggalkan dia dan Ibunya tanpa alasan yang jelas. Sampai Kayana beranjak remaja pun, sang ayah tidak pernah memberi kabar pada ibunya.

***

Di kediaman Adelia, tampak Bu Dewi terisak menangis meratapi kepergian sang putri semata wayangnya. Wanita berparas cantik itu duduk di samping jasad Adelia yang terbujur kaku. Saat itu Adelia benar-benar terlihat sangat cantik.

Di samping Bu Dewi, terlihat Kayana duduk dengan mengenakan pakaian hitam. Ada beberapa teman sekelas Adelia yang juga datang untuk melayat dan melihat Adelia untuk terakhir kalinya.

Bima, polisi muda dan tampan yang diberi tugas untuk menangani kasus Adelia juga terlihat melayat di sana. Mata polisi muda itu selalu tertuju pada sosok Kayana.

Pemakaman Adelia berjalan lancar dan para pelayat satu persatu meninggalkan makam Adelia. Kini yang tersisa hanyalah Dewi, Kayana, dan Bima. Air mata masih terus mengalir membasahi pipi Dewi. Sesekali tangan Dewi terangkat ke atas dan menyapu buliran bening itu dengan tisu yang selalu dia pegang dari awal proses pemakaman sampai dengan akhir dari pemakaman Adelia.

Bima melangkah mendekati Bu Dewi. "Saya ikut bersedih, tapi Bu Dewi tidak perlu khawatir. Saya akan menangani kasus Adelia sampai terungkap siapa dalang dari kasus ini."

Bu Dewi menatap Bima tanpa ekpresi apapun. Namun, pada akhirnya Bu Dewi menganggukkan kepala sebagai tanda jika dia berharap sepenuhnya pada Bima.

Bima tersenyum dan beralih menatap Kayana. "Kau masih ingat dengan pesanku kemarin?"

Kayana dengan mata masih basah dan sembab membalas tatapan Bima, lalu gadis itu menganggukkan kepalanya. Setelah itu Bima pamit pada Dewi dan melangkah meninggalkan keduanya.

"Kay ...," ucap Bu Dewi dengan lirih memanggil Kayana.

Kayana membalikkan badannya dan menatap wanita yang ada di depannya. Entah dorongan apa, Kayana langsung memeluk wanita itu. Kayana memang sudah menganggap Bu Dewi sebagai ibunya sendiri. Begitu pula sebaliknya dengan Bu Dewi.

Dalam pelukan Kayana, bahu Bu Dewi bergejolak naik turun. Wanita itu kembali menangis dan Kayana dengan sabar menenangkannya.

"Bu Dewi, Anda harus kuat dan tabah. Anda tidak boleh lemah, Adelia pasti akan sedih jika melihat Anda seperti ini," kata Kayana sambil menepuk punggung Dewi.

Sesaat setelah Dewi tenang. Dewi merenggangkan pelukannya. Wanita itu menatap Kayana dengan begitu dalam. Tangannya yang lembut membelai surai hitam Kayana. Dewi tersenyum dan mengusap pipi Kayana. Kayana menangkap kerinduan yang teramat sangat dari mata Dewi. "Kay, Ibu minta tolong ya. Kau harus sering-sering mengunjungi Adelia, agar Adel tidak sedih dan kesepian."

Kayana tersenyum, "Itu pasti, Bu."

***

Pagi yang gelap karena mendung, tapi bukan berarti hujan akan turun. Tampak riuh dan ramai di kelas Kayana. Satu persatu murid yang dicurigai oleh Bima dipanggil untuk diinterogasi. Sarah, Jehan, dan Freya lolos dari interogasi tersebut karena mereka mempunyai alibi yang cukup kuat. Hal ini membuat Kayana mengerutkan alisnya.

"Bagaimana bisa?"

Memang pada waktu kejadian ketiga orang itu berada di dalam kelas. Mereka bertiga sedang duduk di pojokan bercanda bersama.

"Kay!" teriak salah seorang murid laki-laki. Kayana menoleh ke arahnya. Hendy berjalan mendekati Kayana yang tengah duduk menyandar pada bangku kayu.

"Ada apa?" tanya Kayana.

"Kau dipanggil Bu Ratna," jawab Hendy.

"Bu Ratna? Ada apa, ya?" ujar Kayana.

"Aku tidak tahu. Cepatlah pergi ke kantor guru," kata Hendy menyuruh Kayana untuk segera menemui Bu Ratna.

Kayana pun bergegas melangkah meninggalkan kelasnya untuk menuju ruang guru. Jehan sempat menyenggol lengan Sarah dan menggerakkan dagunya. Sarah pun menoleh ke arah dagu Jehan bergerak.

"Mau ke mana dia?" ujar Sarah dengan melipat kedua tangannya di dada.

"Halah, paling juga dia dipanggil Bu Ratna untuk diinterogasi juga seperti kita," celetuk Freya.

"Paling tidak kita bertiga aman, Sar," sambung Jehan.

"Hmm ... aku punya ide." Sarah tersenyum smirk.

"Ide apa? Jangan bilang kau akan———"

"Tepat sekali," tukas Sarah memotong ucapan Jehan dan memukul lengan Jehan dengan keras. Jehan sempat terkejut dan mengusap berkali-kali lengannya. "Permainan baru akan dimulai," lanjut Sarah menatap Jehan lalu beralih pada Freya.

"Apa kau akan melakukan hal itu lagi?" tanya Freya.

"Tentu saja. Aku belum puas melakukannya." Mendadak mimik muka Sarah berubah. Terlihat sorot dendam dimata Sarah. Jehan dan Freya hanya saling pandang.

Kayana mengetuk pintu 3x dengan pelan karena pintu ruang guru pada saat itu dalam keadaan terbuka. Seketika yang ada di dalam ruangan tersebut mengalihkan atensinya pada Kayana yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Kayana, masuklah." Bu Ratna menyuruh Kayana untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Bu Ratna memanggil saya?" tanya Kayana.

"Iya. Duduklah terlebih dahulu," ujar Bu Ratna sambil menepuk sofa persis di sampingnya.

Kayana pun menuruti perintah wali kelasnya tersebut. Kayana duduk di samping Bu Ratna dan di depan Bu Ratna tampak Bima duduk dengan tenang.

Mendadak jantung Kayana berdetak tidak menentu. Gadis itu mulai merasakan perasaan tidak enak. Dia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

"Kay, Ibu memanggilmu ke sini karena Pak Bima ingin menanyakan sesuatu padamu."

Sorot mata Kayana langsung menatap Bima. Sesaat setelah itu Kayana menarik napas. Kayana mencoba untuk tetap tenang dan tidak grogi.

"Tenanglah sedikit. Jangan tegang seperti itu. Apakah aku sangat menakutkan?" tanya Bima tersenyum.

Kayana mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa yang akan ditanyakan oleh Bima pada dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status