enjoy reading... tiga bab lagi, ending..
POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia
POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"
POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu
POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m
"Sha, boleh kan?" "Yes, Kian. Do it." Jawabku dengan tatapan memuja. Untuk dia, pria yang amat kucintai. Ini adalah hal baru dan pertama untukku. Tapi Kian malah berhenti ketika kami 'sudah sangat panas'. "Sakit?" Aku mengangguk sambil mencengkeram pundaknya. Mataku terpejam menahan debaran. Demi apapun, ditengah rasa sakit, nikmat, dan debaran yang memuncak, Kian malah menyudahi 'permainan' ini. "Kian? Kenapa?" "Lo.... yakin Sha?" Tanyanya ragu. Aku mengangguk cepat. Cinta telah membutakanku. Membuatku menjadi perempuan bodoh yang sudi-sudinya memberikan kehormatan pada lelaki yang belum menghalalkanku dalam ikatan pernikahan. Aku mengalungkan lenganku di lehernya, memeluk tubuh gagahnya untuk melanjutkan apa yang telah kami mulai. This make out. Kian enggan melanjutkan tapi tak kuasa meninggalkan kenikmatan ini. "Eat me Kian." -------- Ingin segera membaca lanjutan prolog? Kalian bisa langsung lompat ke chapter : Satu Malam Lagi, Mau?
-Akan kutunjukkan, jika aku berharga. Aku layak dipertahankan, bukan layak dipermainkan.- Audrey "Audrey!" Reflek aku menoleh, "Iya, Bu?" "Besok menghadap Pak Darmawan. Kamu saya nyatakan lolos." "Terima kasih banyak, Bu." ucapku dengan senyum bahagia. Badanku gemetar bahagia begitu Tuhan merubah takdirku hanya dengan sekejap mata. Saat aku hampir diujung keputusasaan mencari sumber kehidupan dan tidak tahu harus mengadu kemana. "Hai, Drey. Gimana hasil interview sama Bu Fatma?" Anjar baru saja tiba lalu duduk di kubikelnya. Aku mengangguk sumringah kemudian berucap, "Saya diterima. Makasih ya, Njar." "Sama-sama. Mau pulang nih?" Aku mengangguk dengan senyum seindah bunga krisantemum. "Barengan yuk. Gue kemas-kemas dulu ya?" Sambil menunggu Anjar menata meja kerja dan memasukkan barangnya ke dalam tas, aku mengirim pesan bahagia ini pada Mama. “Yuk, Drey.” Karena ini sudah jam pulang kantor, kami berdua menuju lift khusus karyawan bersamaan dengan karyawan yang lain. B
-Perempuan sibuk memimpikan lelaki nakal yang hanya baik kepadanya. Dan lelaki sibuk memimpikan perempuan baik yang hanya nakal kepadanya.- Audrey Setelah dinyatakan diterima di kantor Antara Karya, tugasku sebagai accounting payable masih berada dalam bimbingan Mas Fajar. Dia senior di divisi keuangan dan syukurlah selama membimbingku, ia tidak jual mahal atau sejenisnya. “Audrey, udah kelar belum?” Tanya Mas Fajar. “Dikit lagi mas, tinggal sum FIFO-nya.” “Kanan kiri harus sama ya? Weight average-nya juga harus sama.” “Oke, sip.” Aku mengacungkan jempol. Mas Fajar, pembimbing lapanganku, dia sosok yang hangat dan enak diajak bertukar pikiran. Smart cookie and people person. Namun langkah kami menuju ruangan Bu Fatma pun urung karena Pak Asmen lebih dulu melangkah ke ruangan Bu Fatma dengan tergesa gesa. “Kenapa mas?” “Mega proyek yang ditangani Pak Asmen bermasalah.” "How come?" “Kemarin dia cerita kalau investornya si customer tuh tiba-tiba cabut.” “Terus kenapa Pak Asme
-Kinerja dan pretasi bukan diraih dengan kerja keras dan ambisi. Melainkan dari rasa cinta dan memiliki profesi dengan sepenuh hati.- Audrey Siapa yang tidak seperti sceleton in the closet ketika netranya dihunus tajam oleh atasan yang pernah menegurnya terang-terangan. Apa lagi aku pernah ditegur karena membicarakan pribadinya bersama Anjar, teman satu kubikelku. Kentara sekali jika Pak Asmen memiliki sisi menarik yang layak diperbincangkan namun sayangnya aku lupa kondisi. Pak Asmen itu menarik dilihat dari mana saja. Tuhan begitu baik dengan menganugerahinya raga yang sempurna, wajah yang terukir indah bila disandingkan dengan sang surya, dan karir secemerlang bintang bertaburan kala musim semi. Ia seperti memiliki topik kehidupan yang tidak ada habisnya untuk dikupas termasuk saat ia diam sekalipun. Konon kata orang, atasan yang masih muda, tampan, dambaan staf perempuan, memiliki sifat sok jual mahal yang teramat. Belum lagi sikap dinginnya yang menambah rasa penasaran makhluk