Satu jam berikutnya setelah Randy meninggalkan ruangan, aku masih tepekur di tempat yang sama. Mendengarkan dengan seksama kata-kata Randy yang masih menggema di kepala. Impotensi. Napasku kembali tersekat. Gemetar. Susah payah menghapus pikiran buruk mengenai dia. Ingin sekali tidak mempercayai ini. Bisa jadi hanya gangguan psikis sementara di sebabkan dia sering kelelahan. Aku yakin bisa disembuhkan. Kenapa dia harus mengambil keputusan sepihak? Andai aku tahu sejak awal mungkin aku tidak akan rela menjauh darinya. Lebih memilih tetap bersamanya. Memberinya kekuatan agar bisa melewati hari-hari yang berat, waktu-waktu yang sulit. Dengan saling melepaskan seperti ini sama artinya saling menyakiti. Aku tidak mengerti kenapa dia begitu yakin menyangka aku menderita jika tetap memilih bersamanya. Padahal seterjal apa pun jalan yang mesti dilewati asalkan langkah tetap searah aku percaya semua bisa teratasi.Tapi kenapa seterlambat ini. Aku tak bisa mundur begitu saja. Pernikahanku
Tiga bulan berjalan rumah tanggaku dan Kang Imam tampak baik-baik saja. Aku tetap melayani dia selayaknya istri yang baik. Meskipun Kang Imam tidak mengizinkan aku bekerja, sesekali dia mengizinkan aku membantu Kak Sarah. Di sela-sela itulah diam-diam aku mencuri waktu menemui Shaila dan Shaili. Mereka berteriak histeris saat aku datang. Aku tak kuasa membendung air mata. Kupeluk mereka erat-erat seolah-olah tidak mau berpisah."Kita kangen sama Mama Mai." Shaili sesegukan di bahuku. Shaila memegang erat bahuku."Mama juga Sayang. Kalian sehat kan?"Keduanya mengangguk. Ibu Akhtar menyembunyikan air mata. Aku memeluknya dengan perasaan frustasi. Apakah cinta harus menyakiti banyak hati. Andai aku dan Akhtar menikah mungkin air mata ini tak akan pernah ada."Papa Akhtar, di Itali Mama. Katanya dua minggu lagi pulang."Aku mengangguk mengusap air mata keduanya."Tapi Papa baik-baik aja kan?""Papa Akhtar baik Ma."Aku dan Ibu Akhtar tak banyak bicara. Beliau seakan tahu perasaanku. Di b
Di rumah aku menjadi tidak bersemangat. Segala hal kukerjakan setengah hati. Meski begitu aku berusaha tetap tersenyum dihadapan Kang Imam. Dan malam hari adalah siksaan bagiku. Sewaktu Kang Imam memeluk bayangan Akhtar mengikat kuat ingatanku. Aku disergap perasaan bersalah. Di mataku Kang Imam menjadi sosok lain, sosok orang yang kucintai. Apalagi ketika Kang Imam melayaninya, aku semakin tersiksa imajinasiku bergerak liar. Aku tak mampu menepisnya, Akhtar menguasaiku. Dan puncaknya malam ini, saat jemariku mencengkeram punggung Kang Imam tiba-tiba nama Akhtar terlontar dari bibirku. Aku terkesiap. Kang Imam menatapku meradang. Dia berguling ke samping tak menuntuskan hasratnya.Aku menangis. Menangisi ketidakberdayaanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Sepanjang malam itu kami sama-sama diam."Jujurlah dengan perasaan kamu, Neng?" ucap Kang Imam malam berikutnya. Dia menatapku dalam-dalam. Seakan ingin mengorek apa yang tersembunyi di balik mataku."Maafkan aku, Kang." Air mata
"Terkadang kita harus merelakan kehilangan untuk kemudian kembali menemukan."___“Sudah larut, seharusnya Mbak Mai pulang.” Seorang bartender yang berdiri di belakang meja mengingatkanku untuk ke sekian kali. Tetapi kuabaikan. ‘Sok peduli’ celetukku dalam hati mencibir. Apa urusannya? Tidak ada yang berhak mengatur-ngatur hidupku. “Beri aku segelas lagi,”pintaku padanya yang tak langsung merespons. Matanya lekat memandangan iba. Membuat jengkel.“Mbak—““Cepetan! Malah bengong?!” Aku memotong ucapannya dengan suara yang menyentak membuat rekannya yang berdiri diujung meja panjang itu tertegun. Menatap kami bergantian.Dengan gerakan enggan laki-laki berwajah mirip aktor terkenal itu menuangkan isi botol ke dalam gelas. Lalu membalikkan badan setelah beberapa detik terpaku pada wajahku dengan raut kesal sekaligus berlagak seolah tidak peduli. Aku sudah muak dengan reaksi seperti itu. Seakan aku pantas dikasihani. Oh, tentu saja tidak aku bukan tipe orang yang lemah dan suka dengan be
"Betapa tipisnya berbedaan antara suka dan tidak suka. Membenci dan mencintai. Sebab memang perasaan hanyalah sesuatu yang rapuh dan mudah berubah"_________Cukup Mai, kamu pulang sekarang!”Bentakannya yang keras membuat beberapa pasang mata yang berada di sekitar kami menoleh dan menyaksikan adegan yang terjadi. Aku yang tidak siap dengan situasi yang terasa mendadak itu menyentakkan pegangannya.“Kak Sarah apa-apaan, sih?!”Meski dalam kondisi seluruh kesadaranku nyaris lenyap aku masih bisa mengenali sosok yang tiba-tiba mengganggu.“Kamu pulang sekarang. Di sini bukan tempat kamu. Pulang! Aku bilang pulang!”Di bawah cahaya lampu gemerlap terlihat jelas raut wajah Sarah merah padam. Dalam keadaan normal barangkali nyaliku akan sedikit ciut lantaran takut membuat dia murka. Tetapi kali ini berbeda, aku sudah tidak lagi takut pada apa pun. Malah aku berharap sesuatu yang buruk terjadi padaku, misalnya saat pulang nanti aku mati tertabrak mobil, motor atau apa agar hidupku yang penu
"Suatu hari mungkin kamu akan kehilangan apa-apa yang kamu cintai. Tapi percayalah cinta akan datang dengan caranya.,"___Mataku terbelalak dan hampir menangis. Hati ini gamang kenapa tiba-tiba dia muncul.Tetapi mengherankan orang yang kuseru namanya tidak bereaksi sebagaimana mestinya. Dia tetap berdiam di tempat. Aku menjadi ragu dengan penglihatan sendiri. Menyadari ada yang salah.“Semalam kamu terus memanggil nama itu. Sepertinya dia orang yang menyebabkan kamu seperti ini? “ ujarnya dengan nada datar dan dingin. “Tapi maaf saya bukan orang yang kamu maksud.”Dia berbalik dan berjalan menjauh seiring dengan perasaan kecewa dan malu menghinggapi. Aku menelan ludah, mengangguk samar. Ya, aku salah dia memang bukan keparat itu. Seharusnya aku mencekiknya kalau benar dia ada di hadapanku. Kuempaskan napas sembari memejamkan mata, perlahan mengadirkan kenyataan dalam kepala.Sewaktu mencoba mengangkat punggung bermaksud untuk duduk tulang punggung berderak seolah akan patah. Sakitnya
"Tentang kita pada akhirnya, menjadi sejarah yang tak tercatat. Kenangan yang tak terulang dan ingatan yang tak sampai. Tapi semua pernah ada. Hanya saja kita sedang belajar lupa."_____Sulit memperhatikan dia yang berjalan mendekat beberapa langkah dan mengajak berbicara. Suaranya terdengar samar seperti dengungan lebah. Aku tak mampu mengendalikan diri. Ada dorongan kuat yang berasal dalam diriku untuk melakukan perbuatan menyakiti diri.Kemudian seperti orang kerasukan aku bangkit dan melompat dari tempat tidur, berlari dan membenturkan kepala ke dinding. Menjerit histeris disusul teriakan panjang. Dia menangkap tubuhku dengan gerakan cepat sebelum aku ambruk. Lamat-lamat kurasakan dari sisi kepala mengalir sesuatu yang hangat, membentuk garis lurus.“Ka ... Kamu apa-apaan?! Dengan raut muka cemas dan bingung dia membentakku seraya membantuku berdiri setelah sejenak memandangiku dengan ekspresi rumit. Di perlakukan seperti itu bukannya berterima kasih aku justru bertambah marah. Ku
Daun pintu berayun dan baru sedikit terbuka. Tapi bentakkan Kak sarah langsung menyerbuku. Kakiku lemas lantaran kaget setengah mati. Meski sudah berdandan rapi tapi air mukanya tampak kacau ditambah lingkaran hitam kebiruan di bawah matanya membuat wajah oval itu kian terlihat letih. Aku tak menyahut bermaksud menghindari pertengkaran. Aku sangat lelah dan ingin beristirahat. Maksudku kalau mau menginterogasi nanti saja. Aku tidak punya cukup energi untuk menghadapi cercaannya.“Mai, jawab. Kamu punya mulutkan?!”Kumiringkan kepala memandanginya beberapa detik meski tetap tak berminat menjawab pertanyaanya.“Semalaman aku cari kamu. Kayaknya kamu seneng banget ya, bikin orang panik dan hampir mati berdiri karena mencemaskan kamu?!”“Siapa suruh nyari-nyariin aku?!”Aku menebak amarahnya akan meledak saat itu juga mendapakan aku mengabaikannya dan berjalan tertatih menuju kamar.“Aku sama Papa cemas, kamu tahu? Apalagi Papa nggak bisa tidur sampai pagi ini nungguin kamu pulang. Kamu pu