"Sayang!" Tiba-tiba kudengar suara teriakan Dewa.Ketika baru saja kubalikkan badan, suamiku itu telah berada di depanku. Matanya seketika tertuju pada halaman belakang."Kenapa itu?"Aku menggeleng. "Gak tau. Pas aku ke belakang udah kayak gini. Liat, tuh pagarnya juga ada beberapa kayu yang lepas."Dewa langsung berjalan ke belakang seraya mengecek. "Tapi, gemboknya gak rusak. Apa kena angin?"Aku terdiam sejenak, memikirkan ucapan Dewa barusan. Jika memang terkena angin, sangat tidak masuk akal. Pagar kayu di belakang menurutku termasuk berat. Masa iya, bisa terlepas hanya terkena angin? Sekencang apa anginnya? Kalau sampah masih bisa masuk akal. Apa ada orang yang berusaha masuk rumah ini? Ah, kenapa dari tadi pikiranku selalu begini?"Ya udah, biarin aja. Mending kita bersihin," titahku seraya mengambil sapu lidi yang terletak di ujung pintu dapur."Biar aku aja yang bersihin." Dewa mengambil alih sapu dari tanganku.Namun, kutahan. "Aku yang sapu, kamu aja yang buang sampahnya."
"Ada apa, Sayang?" Dewa menoleh dan menatapku intens."Aku mau nanya, tapi jawab jujur."Dahi Dewa seketika terlihat mengkerut. "Nanya apa?""Semalam kamu beneran apel malam, kan?"Spontan Dewa memelukku dari belakang dan menciumi rambutku. "Kamu masih curiga sama aku?"Melihat perlakuan Dewa kali ini kemungkinan dia tidak berbohong. Tapi, entah mengapa aku sulit untuk percaya begitu saja.Sejenak kutoleh ke belakang. Pandangan kami seketika saling bertautan. "Kamu gak bohongi aku, kan?"Dewa makin mengeratkan pelukan dan makin menikmati aroma rambutku. "Terserah kamu percaya apa enggak, aku gak peduli. Intinya akan kubuktikan kalau aku beneran udah berubah."Sontak, kulerai pelukannya dan membalikkan badan. Kutatap matanya dalam-dalam. "Soalnya tadi Bu Soni bilang gak tau kalau ada apel dadakan. Masa dia tinggal di sini, tapi gak tau?"Dewa justru terkekeh mendengar penuturanku barusan. "Bu Soni suaminya itu nakal." Dia berbicara sangat pelan sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.A
"Ini, lho Bu Dar. Kata Tante Dewa nanti Bu Dar disuruh bantu habisin makanan," sahut Bu Soni berusaha mengajak bercanda dan bersikap biasa. Mungkin tetanggaku itu tak mau bermasalah dengan Bu Dar sehingga dia memilih mengalah."Halah! Makanan kalau katering itu kebanyakan gak enak. Masih enakan kalo kita yang masak," teriak Bu Dar dari teras rumahnya.Seketika kualihkan perdebatan dua tetanggaku itu. Kebetulan kulihat rumah di antara Bu Soni dan Bu Dar tampak sepi dan seperti tak ada penghuninya."Eh, tetangga yang di tengah itu ke mana ya? Perasaan sejak saya ke sini gak pernah keluar.""Udah kabur!" timpal Bu Dar blak-blakan.Aku seketika mengernyit, tak mengerti dengan ucapan Bu Dar barusan. Akhirnya, kutanyakan langsung pada Bu Soni."Tante yang di sebelah saya itu udah gak tinggal di sini lagi," jawab Bu Soni berhati-hati."Oh, omnya udah pindah tugas, ya?" tebakku.Bu Soni seketika mendorongku ke dalam rumah. "Maaf, Tante, gak enak kalo ngomong di luar. Tetangga sebelah saya itu
Setelah membersihkan halaman belakang, Dewa kembali masuk rumah. Aku langsung mengikutinya. Kemudian, kami segera membeli air mineral kemasan gelas."Kita pake mobil?" Dewa spontan menatapku. "Terus, mau pake apa?""Pinjem motornya Bu Soni aja, deh. Ntar kita dibilang sok kaya lagi sama Bu Dar. Telingaku lama-lama panas juga," timpalku setengah jengkel."Ngapain kamu jengkel? Orang kayak Bu Dar kok diambil hati. Kalau kita jengkel itu tandanya dia berhasil, dia malah senang. Mending kita sengaja aja biar tambah naik darahnya." Dewa pun langsung tertawa.Aku sejenak terdiam, ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Masa mau kalah dengan orang seperti Bu Dar."Ya udah, kita beli aja, yuk. Nanti keburu kesorean malah mepet waktunya."Dewa pun segera mengambil kunci mobil dan berjalan keluar. Ketika hendak menutup pintu, Bu Soni keluar dari dalam rumahnya."Mau ke mana, Tante?""Mau beli air minum,nih ,Bu," jawabku sambil mengunci pintu."Oh, iya. Beli di tempat Bude Wito aja, Om. Lengka
Aku menggerutu sendiri. Banyak pasang mata yang melihatku mematung sembari menatap motor Dewa yang telah melesat jauh. Tanpa peduli kulangkahkan kaki berjalan menyusuri jalanan beraspal di lingkungan asrama itu. Berharap Dewa kembali menjemputku. Namun, cukup lama berjalan, suamiku itu tak ada nampak batang hidungnya. Aku semakin kesal. Awas saja nanti kalau sampai di rumah. Akan kucecar habis-habisan. Bisa-bisanya dia meninggalkanku sendirian di sini."Mau ke mana, Bu? Ayo, saya antar," ajak seorang wanita mengendarai motor matic berhenti tepat di sampingku."Gak usah repot-repot, Bu. Saya lagi nunggu suami saya jemput." Aku menjawab sambil celingukan seolah mencari keberadaan Dewa."Oh iya, dah. Saya duluan, ya?" Wanita tersebut langsung mengegas motornya meningalkanku sendiri di tepi jalan.Aku terus saja berjalan hingga betisku terasa sakit. Ah, sial. Mimpi apa aku hingga bisa jalan lumayan jauh begini? Tepat di pengkolan antara masjid dan barak bujang, tampak Dewa melaju kencang
Tampak dada Dewa naik seperti sedang menghirup oksigen banyak-banyak. "Sudah, Bu Dar." Nada bicaranya itu sengaja diperlambat.Setelah itu, datang anak buah Bude Wito mengantarkan air mineral. Dewa sigap mengambilnya. Sementara aku masih mengobrol dengan dua tetanggaku itu."Tante, nanti pake meja punya saya aja, ya? Ada rempelnya juga, kok," ucap Bu Soni menawariku."Halah, jangan Tante Dewa. Rempel punya Bu Soni itu udah jelek. Pake punya saya aja, masih baru. Saya baru beli, lho. Harganya itu satu set hampir sejuta." Bibir Bu Dar tampak merat-merot.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang. Kami sudah paham dengan sifat tetangga yang satu itu dan memilih mengalah."Iya dah, Bu Dar yang mana-mana saja. Sama aja, kok," timpalku tak ingin memperpanjang perdebatan.Senyum semringah di bibir Bu Dar seketika tercetak. Kemudian, aku pamit masuk rumah seraya mempersiapkan perintilan-perintilan untuk pengajian malam nanti.Ketika di dalam, ponselku tiba-tiba berdering. Ketika kulihat ternyat
Kemudian, muncul anak perempuan Bu Dar dari balik pagar, lalu bergelayut manja di tangannya sambil merengek."Mak, minta uang buat beli jajan."Sontak, Bu Dar mengempaskan tangan anaknya. Gadis kecil berusia sekitar sebelas tahunan itu pun menarik diri dengan raut wajah murung."Jajan terus, jajan terus. Sana, minta sama bapakmu!" Bu Dar kembali membentak anaknya. Seketika rasa iba menyeruak. Kupanggil gadis kecil itu ke rumah. Bu Dar masih menunggu putrinya di luar pagar. Anak itu pun mendekatiku. Kemudian, kuambil selembar uang sepuluh ribu dari saku celana."Makasih, Tante," ucapnya pelan dan segera memasukkan uang tersebut ke dalam kantong bajunya. Gadis kecil itu seperti ketakutan.Setelah anaknya Bu Dar pergi, aku kembali ke dapur. Baru saja melangkah, suara teriakan anak kecil terdengar dari arah belakang."Ampun, Mak. Jangan, Mak. Ini buat jajan Aira, tadi dikasih sama Tante itu." Gadis kecil itu terus meraung histeris. Sepertinya dia dipukul oleh ibunya.Aku terdiam sejenak
"Fur, rumahmu di bagian mana? Aku udah di pos provost," ucap Mila dari seberang."Tunggu dah di sana, aku suruh suamiku yang jemput. Atau gak minta tolong om provost anter ke rumah. Bilang di rumah Serda Dewa," jawabku seraya menjelaskan."Aish, ogah ah. Mending suruh suamimu aja yang jemput ke sini."Aku pun menyetujui. Usai menutup sambungan telepon, segera kuberi tahu Dewa. Tanpa basa-basi, suamiku itu bergegas menuju pos provost.Di sela-sela Dewa pergi, tetangga pun pulang sejenak untuk menyiapkan diri. Ketika aku hendak masuk ke rumah, suara lelaki mengalihkan pandanganku. Tampak pria berdiri dari rumah sebelahnya Bu Soni mengedipkan matanya padaku. Sontak aku geli dan ketakutan. Langsung saja diriku masuk rumah dengan cepat.Tak berselang lama, Dewa datang dan tampak Mila mengikuti dari belakang menggunakan motor. Ketika tahu suamiku pulang, om tetangga sebelah perlahan masuk rumah. Seketika muncul ketakutan jika Dewa tak ada di rumah. Sepertinya aku harus lebih waspada."Hai,