***Saat ini aku sudah berada di taksi. Tidak tahu akan ke mana. Pikiranku terus tertuju pada malaikat kecilku. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku tak kuat mendengar suara tangisannya tadi. Apalagi Caca baru saja sembuh dari sakitnya. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya.Semuanya seperti mimpi. Aku tak menyangka jika malam ini diusir dari Rumah itu. Masih tak percaya dengan kenyataan. Jika saja tahu hal ini akan terjadi, aku pasti sudah pergi lebih dulu, tanpa sepengetahuan Mas Daris dan semua orang di rumah itu. Aku pasti akan membawa Caca pergi. "Kita mau kemana, Mbak." Aku tersadar ketika mendengar suara supir taksi. Berhenti menatap keluar jendela. Aku tidak tahu mau ke mana. Bibirku masih enggan untuk berucap. Rasanya ingin kembali ke Rumah itu dan membawa pergi Caca agar ikut bersamaku."Mbak nya mau ke mana?" Supir taksi kembali bersuara."Berhenti di Hotel saja, Pak. Aku tidak tahu hotel terdekat di sekitar sini," ujarku yang mungkin nyaris tak terdengar. "Kenapa tidak bi
Aku akhirnya memilih untuk tidur. Sekarang sudah jam sebelas malam. Berusaha untuk tertidur namun tak kunjung bisa. Aku masih terus saja mencari cara agar bisa bertemu dengan Caca.Apa malaikat kecilku sudah tidur? Selama ini dia selalu tertidur di sampingku. Mas Daris belum pernah sekalipun membantuku untuk menidurkannya. Pasti malam ini Caca kesulitan untuk tidur. Apalagi dia baru sembuh dari sakit."Bagaimana aku bisa tidur jika terus memikirkan Caca?" lirihku sambil menatap foto di layar handphone. Senyum manis Caca menghangatkan hati sekaligus membuat sakit. Aku sakit ketika mengingat kembali tangisan malaikat kecilku itu. Sungguh, jika bisa berbuat nekat, aku sudah mengambil benda tajam dan membunuh semua orang yang menghalangiku membawa Caca.“Tunggu ibu, Nak. Ibu akan berusaha untuk membawamu pergi bersama ibu. Sabar ya, Nak. Kamu sehat-sehat di sana. Kamu harus kuat ya. Jadi anak baik,” lirihku masih sambil menatap foto Caca di layar benda pipih yang ada di tanganku. Tetes
Aku masih saja mempercepat langkah, untung saja taksi online yang tadi dipesan sudah datang. Aku langsung menaiki dengan tergesa gesa. Jika ada yang menyadari, mungkin akan tahu jika aku sedang ketakutan.“Alamat sesuai aplikasi, Mba?”“Iya, Mas.”Mobil langsung melaju. Pikiranku sangat berkecamuk. Terlalu banyak yang dipikirkan hingga rasanya ingin pecah.Aku tidak mungkin bisa baik-baik saja jika bertemu dengan seorang pun teman SMA dulu. Mereka jahat! Mereka sangat jahat. Bahkan Meli – Sahabatku, dia meninggalkan aku di saat itu, saat aku sedang terpuruk.Aku kembali mengingat kejadian itu, masa putih abu abu yang sangat menyakitkan. “Elena, kamu dipanggil kepala sekolah!” ucap Mely saat aku baru saja duduk di kantin. Kami tidak ke kantin bersama karena Mely ke toilet terlebih dahulu. “Ada apa?” tanyaku dengan raut wajah heran. Aku sedang tidak mengikuti lomba atau kegiatan apapun. Tidak biasanya kepala sekolah memanggilku. Selama sekolah SMA, yang sering memanggil hanyalah wakil
Aku juga mengingat saat keluar dari Ruang Kepala Sekolah, hampir semua orang menatap dengan wajah yang sulit aku artikan. Kaki berjalan tergesa dengan air mata yang sulit terbendung, tak mau ada yang tahu jika aku menangis. Ingin rasanya saat itu tak mengeluarkan air mata. Namun, tidak bisa. Bagaimana mungkin bisa menahan tangis setelah mengetahui kenyataan jika telah dikeluarkan dari sekolah?Ketika itu pula, aku tidak tahu yang harus dilakukan. Bagaimana dengan mimpiku menjadi seorang pegawai negeri sipil di kementerian? Bagaimana dengan cita-citaku yang ingin membawa ibu umroh? Bagaimana dengan keinginan untuk menjadi wanita karir? Semua hancur! Tak mungkin terwujud karena tidak memiliki ijazah sekolah menengah atas untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. “Tahu tidak, di Sekolah ini ada yang baru saja dikeluarkan karena diam-diam telah menikah.”Aku masih mengingat jelas ucapan Sinta. Teman kelas yang tidak menyukaiku. Ya, aku tahu jika dia tidak menyukaiku karena se
Roni – Dia lelaki yang dulu menjadi musuh, kini kembali berada di hadapanku. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan siapapun. Jika menghina atau merendahkan seperti yang sering dilakukannya dulu, aku tidak mampu membalas. Sebenarnya bisa saja aku berpura-pura tidak mengenalnya? Tetapi tidak mungkin aku melakukan itu, dia tidak salah menyebut nama. “Elena, kamu ngapain di sini? Tadi kita bertemu di Mall. Sekarang ketemu lagi,” ucap Roni dengan wajah yang tersenyum. Senyum yang tidak begitu lebar. Tetapi tidak ada raut permusuhan di wajahnya. Aku hanya menatap tanpa berkata. Banyak tanya dalam benak. Roni sedikit berubah dari yang dulu aku kenal. Lelaki yang selalu melihat dengan raut permusuhan, kini terlihat sedikit ramah. Ada apa dengannya? “Eh, Bro. Kamu kenal dengan klien aku,” ujar Renji yang baru saja turun dari mobil“Klien?” Alis Roni tampak berkerut. “Iya, dia klien aku yang aku ceritain tadi, yang ingin membeli rumah,” jawab Renji sambil memasukan kunci mobil ke dalam k
"Elena, kamu di mana? Kenapa piring yang ada di atas meja masih kurang?" Baru saja duduk untuk menyendok opor ayam, suara ibu mertua kembali terdengar. Aku menarik napas. Bibir pun berkata "iya, Bu!" Aku sedikit berteriak agar Ibu Mertua dapat mendengar. Tanpa menunggu lama, aku langsung berdiri dan berjalan tergesa-gesa sambil mengangkat piring yang sudah tersusun rapi. Sebelum mengangkat, aku menghitung terlebih dahulu, piring ini berjumlah dua belas. Sangat berat, tetapi tidak mungkin aku mengangkat dalam jumlah yang sedikit. Ibu mertua pasti akan mengomel jika melihatku mengangkat piring hanya sedikit.Aku pikir sudah cukup, ternyata belum. Ibu mertua kembali menyuruh untuk menambah piring yang ada di atas meja hidangan. "Elena, kenapa kue yang ada di kamar belum dikeluarkan? Kamu kerja jangan lelet. Tidak lama lagi keluarga besar Mas Raim datang." Kali ini Mbak Intan yang berteriak. Dia adalah kakak kesayangan Mas Daris. "Iya, Mbak." Aku menjawab ucapan Mbak Intan dengan suara
"Tidak apa-apa. Aku tidak boleh sedih. Aku harus bersyukur. Meskipun ibu tidak menjahitkan baju untuk aku, setidaknya Caca dijahitkan. Caca bisa pakai baju yang sama dengan Mas Daris, Mbak Intan, ibu dan juga ayah."Saat baru saja keluar dari kamar, namaku kembali dipanggil. Aku pikir di panggil oleh Ibu mertua, ternyata Mbak Intan yang memanggil. Suara mereka memang mirip. Terkadang aku sulit membedakan jika mendengar teriakan memanggil tanpa melihat wajah. "Kamu dari mana, Lena? Di dapur ada banyak piring kotor. Kenapa belum dicuci?" ujar Mbak Intan dengan pelan sambil berdiri di depanku."Aku baru selesai mandi dan ganti baju yang tadi aku pakai Mbak. Tidak enak pada keluarga besar tunangan Lona kalau aku belum mandi dan memakai pakaian beraroma masakan." Aku berkata sambil membentuk garis senyum canggung di bibir. "Ngapain kamu mandi? Tugas kamu 'kan di dapur. Memangnya siapa yang katakan kamu akan ikut menjamu keluarga besar Mas Raim? Tugas kamu itu di dapur, Elena. Tidak perlu
Apa Mas Daris merasa malu dengan baju yang aku pakai? Apa karena aku juga tidak berdandan seperti yang lain? Jika keadaan memungkinkan, aku juga sebenarnya ingin pakai baju dan bermake-up seperti yang lain. Aku bisa membeli sendiri baju dan alat make up. Bila perlu aku menyewa MUA termahal di sini. Hanya saja jika melakukan itu, semua orang di Rumah ini akan tahu kalau sebenarnya aku diam-diam bekerja. Mereka mungkin akan tahu jika aku punya tabungan tanpa sepengetahuan Mas Daris. Selama ini yang mereka tahu, aku seorang istri yang hanya bisa meminta uang ke suami. Mereka juga hanya tahu kalau aku perempuan lemah yang tidak bisa melakukan apapun selain mengurus rumah."Ibu, aku lapar." Terdengar suara Caca. Tutur manja khas anak kecil. Aku tersadar dan langsung melihat jam di dinding dapur. Ya Allah, aku bahkan tidak menyadari jika Caca sudah ada di sampingku. Sejak kapan dia di sini? Apa dia melihatku yang sedang diam melamun? Semoga saja tidak. Dia anak yang cerdas, selalu saja ada