Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang kurasakan sekarang adalah ....Aroma wangi, nyaman, sejuk, dan sangat tenang. Sekujur tubuhku terasa hangat dan sakit yang semula membuatku nyaris sekarat kini seolah hilang. Hanya sakit di pangkal paha yang masih sedikit terasa nyeri. Aku di mana?Kutatap sekeliling. Ruangan bersih dengan tembok berwarna putih dan gorden hijau muda yang meliuk-liuk ditiup angin. Di sebelahku ada sebuah meja dengan sebuah vas bunga cantik, sepiring aneka kue yang terlihat enak, dan segelas air yang sangat jernih. Mendadak aku haus. Ini di mana?Apa aku sudah di surga?Sepertinya iya, karena aku belum pernah melihat tempat terindah dengan makanan seenak itu. Aku mencoba menggerakkan tangan dan ... apa ini? Sebuah selang bening tersalur dari punggung tanganku ke sebuah wadah bening berisi air. Aku tahu namanya infus. Aku sakit? Apakah di surga ada yang sakit sepertiku?
Aku terus berontak saat Pak Doni berusaha mendekatiku. Bersembunyi di balik wanita berjilbab, menggunakan sendok sebagai senjata, hingga terus berteriak meminta tolong. "Maaf, jangan paksa dia lagi!"Kulihat Pak Doni berdiri kesal menatapku yang terus bersembunyi. Aku tak peduli jika punggung tanganku kembali berdarah. Selang infus kembali terlepas. Rasanya perih dan sakit. "Silahkan Bapak pulang dulu! Kembali nanti kalau dia sudah membaik!" ucap wanita berjilbab itu berusaha selembut mungkin. Aku yakin dia tengah kesal karena Pak Doni memaksaku. Sementara lelaki berkacamata dan rekannya hanya mematung melihatku yang ketakutan. "Baiklah! Tapi dia harus pulang sama saya. Saya khawatir Bapaknya akan menemukan dia di sini. Bapaknya ... ah, benar-benar bejat dia!"Aku mengintip betapa Pak Doni seolah merasa sangat sedih. Seolah dia ikut membayangkan bagaimana kejamnya Bapak. Padahal .... Segera kusembunyikan wajah saat Pak D
"Jangan sentuh dia!"Pak Doni yang sudah hampir mendekatiku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, tempat Kak Nisa yang berteriak mencegahnya. "Jago! Suruh temen kamu ini pulang!" bentak Kak Nisa pada Kak Jago yang masih bengong. "Hei, aku gurunya! Aku yang selama ini membiayai sekolahnya. Kalau bukan karena aku yang menutup biaya SPP-nya, memberinya baju, tas, dan buku dia tidak akan sekolah!"Aku terdiam, berpegangan pada ranjang di belakangku. Ya, memang selama ini Pak Doni lah yang membantuku, tapi apa lantas ... ah, apakah perbuatan baik selalu meminta imbalan?"Saya tidak peduli! Pergi atau saya panggil satpam?" Kak Nisa mendelik ke arah Pak Doni yang justru menatap Kak Jago, seolah meminta bantuan. Kak Jago hanya diam. Entah apa maksudnya. "Satpam!" teriak Kak Nisa. "Oke!" Pak Doni melangkah menjauhiku. Sekilas dia mendelik ke arahku sebelum akhirnya keluar diantar Kak Jago. Sepening
"Sini Kaina, sama Ibu!"Ibu merebut paksa Kinara dari pelukanku. Ibu juga melirik Kak Nisa yang sejak tadi memperhatikanku. Apa Kak Nisa melihat luka Kinara juga?Kulihat Ibu mengusap-usap luka Kinara, mencoba membuat bocah itu tenang. Namun kini aku yang tidak tenang. Luka karena apa itu?Tak lama kemudian Kak Nisa pamit. Dia ijin karena akan ada orang tua yang akan mengadopsi anak panti katanya. Dia harus segera kembali ke panti. Sebelum pulang, aku refleks memeluk Kak Nisa. Aku menangis di pelukannya. "Leena boleh tinggal di sana kan nanti?" tanyaku pelan. Kak Nisa mengangguk. "Kalau ada apa-apa langsung ke sana aja, ya!"ucapnya pelan yang mungkin hanya didengar olehku. Aku mengangguk cepat. Kak Nisa lantas pergi dengan ojek yang tadi kami sewa. Darinya aku baru tahu jika bangunan yang sering kulewati dulu adalah sebuah panti asuhan. Letaknya memang agak jauh dari rumahku. Hampir setiap ha
Aku langsung berlari kembali ke kamar dan memeluk tubuh di pojokkan. Kubekap mulut serapat mungkin, menyembunyikan tangis. Apa yang dilakukan Bapak dengan pakaian dalam kami?Jantungku seolah berhenti berdetak saat kudengar langkah kaki mendekati kamarku. Terus kuperhatikan pintu menunggu bayangan seseorang mendekati kamar. Benar saja, siluet Bapak mendekati pintu dan memegang gorden, hingga ....Suara pintu yang diketuk membuat bapak urung membuka kain gorden. Terdengar langkahnya menjauhi kamarku dan menuju depan. Rupanya Ibu baru pulang. Aku bernapas lega. Tidak ada percakapan. Ibu sepertinya langsung tidur dan bapak menyusul. Aku? Apakah aku punya alasan untuk tidak takut?Berbagai pikiran seolah meracuniku. Kelakuan Bapak yang aneh ditambah trauma karena perlakuan seorang lelaki dewasa membuat mataku tak kunjung terpejam. Semua bayangan menjijikkan tentang Pak Doni, perlakuan Bapak, hingga nasib Tino terus bergantian berp
Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men
"Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b
Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku