Mobil berhenti di rumah sederhana di kawasan pondok indah, memang tidak sebesar rumahku. Namun cukup nyaman, gerbangnya tinggi sehingga sulit ditembus. Kemungkinan kami akan aman di rumah ini. Tante Fera tidak akan menemukan kami dengan mudah. "Masuklah," ucap pria berjaket hitam sembari melempar kunci ke Arjun. Kami turun dari mobil dan melihat rumah yang lampunya belum menyala, sementara pria berjaket hitam pergi meninggalkan kami dengan mobilnya. Sikapnya sangat dingin membuat kami bingung. "Kamu lapar nggak, Jun?" tanyaku. Dari pagi kami belum makan. Pertanyaanku sungguh basa-basi sekali. "Lapar, Kak. Nanti aku beli makanan setelah taruh barang kita di dalam." Aku mengangguk, kami berjalan ke rumah. Membuka pintu dengan kunci dan menyalakan lampu. Ternyata rumah ini cukup bersih dan terawat. Anehnya kenapa pria berjaket hitam pergi? Apakah dia tidak tinggal di sini?"Jun, siapa pria tadi?""Namanya Jexeon," jawabnya. Melihat sekeliling. Mencari kamar. "Kamu kenal dari mana?"
Aku melihat mendung yang kini bertahta di langit Jakarta, tampak gagah tanpa goyah. Siap mengguyur wilayah di bawahnya. Sama seperti penantianku yang sudah sampai batasnya, berakhir tanpa bisa dicegah. Cincin tidak lagi melingkar di jari manis. Aku memejamkan mata dan merasakan angin dingin yang berembus. Banyak hal yang terjadi di hidupku, dari mulai kehilangan orang tua, kakak, paman dan sekarang tunangan. Ditambah kaki kiri yang digantikan tongkat. Tinggal Arjun yang aku punya, adik yang sangat aku sayangi melebihi nyawaku sendiri. Aku ingin menjaga harta satu-satunya itu. Jika Allah ingin mengujiku lagi dengan mengambil Arjun, maka aku tidak akan sanggup. Mungkin saja aku akan memilih pergi menyusul semua orang yang aku sayangi, pikiran yang berkali-kali aku tepis. Selalu berdoa semoga imanku kuat dan tidak goyang sampai melakukan dosa besar itu."Kok nangis, aku 'kan kuat?" Aku menghapus air mataku yang tiba-tiba menetes, bicara pada diri sendiri. "Anaknya Ayah dan Bunda, adik
Jodoh bukan tentang siapa cepat dia dapat, tidak bisa asal pilih karena pernikahan akan berlangsung selamanya. Tapi sekarang aku tidak bisa pilih-pilih. Asalkan seperti doaku tadi, kupikir tidak masalah siapapun dia. "Orang yang menerima kekuranganku," ucapku menunjukkan tongkat. Pasalnya Roan memutuskan pertunangan kami karena aku cacat. Sebenarnya aku bersyukur karena cacat sebelum menikah, jika tidak pasti aku akan diceraikan kalau setelah menikah fisikku berubah. "Hanya itu?" tanyanya lagi."Terus orang itu harus mau menjagaku dan Arjun dengan baik." "Kalau begitu aku." "Apa?" Aku tidak mengerti dengan ucapannya, dia beralih di depanku. Berdiri di antara hujan dan tempat berteduh."Menikahlah denganku," ucap pria yang ada di hadapanku. Tatapannya serius. Dia, pria yang baru aku kenal kemarin. Menghalangi hujan dengan punggungnya, membuat jaket hitam itu basah kuyup. Kepalanya menunduk, menatap mataku yang mendongak. Menyisakan jarak beberapa centi. Kaki kananku mundur, di
Pipi Tasya sedang dikompres dengan air padahal tamparan Yua tidak keras, ia terus berakting seperti orang yang tengah teraniaya. Mencoba menarik simpati Roan, pria yang dia sukai dari dulu. "Aku tahu tunanganmu cemburu, tapi seharusnya dia bilang baik-baik bukannya nampar." Tasya senang karena Roan lebih membelanya dari pada Yua, bahkan pertunangan mereka berakhir. "Jangan hiraukan Yua, dia hanya emosi sesaat, lebih baik kamu lihat ini."Sedangkan Roan membuka berkas yang ditujukan pada Tasya. Proyek baru yang butuh investor dan dukungan dari perusahaan Tasya. Nathanael berdiri 30 tahun lalu. perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa layanan Teknologi Informasi, dengan memberikan prioritas pada layanan penyediaan hardware, pembuatan software (software development), pembuatan website (web design dan web development), maintenance computer (PC dan laptop), serta jasa konsultan teknologi informasi.Beberapa tahun lalu ketika Roan baru masuk perusahaan, dia yang dijuluki genius member
Suara di seberang hening, seperti Tante Fera berbicara kepada orang lain. Cukup lama sampai Roan menganggap bahwa mungkin kesalahan sinyal. "Hallo, Tante." Roan memanggil untuk memastikan. "Eh, iya. Nggak papa, berarti Yua nggak cerita apapun?" Kali ini Roan yang diam, tadi sangat buru-buru sampai dia lupa menanyakan kenapa Yua menemuinya. Dugaannya adalah Yua ingin dinikahi, sama seperti permintaan Arjun beberapa waktu lalu."Nggak, emangnya ada apa, apa Yua belum sampai rumah?" Di luar masih hujan, kalau Yua belum sampai rumah, lalu dia ada di mana sekarang? Apa Yua terjebak hujan di suatu tempat? Roan mulai khawatir. "Mungkin sebentar lagi sampai, nanti Tante suruh Aldo menjemput Yua. Kamu tidak perlu khawatir." Ah, Roan lega karena Tante Fera perhatian kepada Yua, tidak seperti yang Arjun khawatirkan. Padahal kalau Aldo tidak menjemput Yua, dia berpikir akan menerobos hujan untuk mencari Yua dan mengantar ke rumah. Syukurlah tidak perlu, jadi dia bisa kembali ke ruangannya u
Gedung apartemen menjulang tinggi, di puncaknya adalah penthouse milik Jexeon, wilayah yang tidak dia bagikan ke sembarang orang. Bahkan kepada Yua ketika mereka menikah nanti. Bicara soal menikah, Jexeon akhirnya memutuskan hal itu karena ingin melakukan sesuatu. Dia yakin bahwa Yua akan merimanya, jika tidak mau maka dia akan menggunakan cara lain.Sekarang, ada sepatu asing yang ditaruh sembarang. Bungkus makanan berceceran di lantai, TV menyala keras dan suara orang yang menonton TV terdengar sedang tertawa. Elgar tahu bahwa ia membenci keberisikan seperti ini, sudah pasti bukan ulah Elgar. Dia pun berjalan masuk lebih dalam.Dulu dia memperingatkan Elgar, tidak boleh siapapun masuk ke dalam penthouse miliknya. Namun, sekarang orang yang ia kenal sejak lama sedang duduk sembari makan kripik singkong kesukaannya. Dengan santai menonton TV, kakinya pun seenaknya berada di meja. "Kau sudah pulang," ucapnya, tersenyum dan masih makan kripik. Tanpa rasa bersalah sama sekali sudah menga
Ucapan Jexeon membuat Elgar dan Lazio shock. Orang sekaku Jexeon yang tidak pernah mengobrol dengan wanita, tiba-tiba bilang akan menikah. "Nikah sama siapa, Bang?" tanya Elgar. Dia tidak bisa melanjutkan makan. Tenggorokannya tercekat."Emangnya ada yang mau sama kau?" Pertanyaan Lazio sangat merendahkan. "Yua." Kalimat singkat dan tidak jelas, membuat dua lawan bicaranya kebingungan. Namun, Elgar langsung ingat nama itu. Kakaknya Arjun yang beberapa waktu lalu dia cari tahu. "Kakaknya Arjun?""Iya.""Kok bisa Bang? Gimana ceritanya?" Jexeon diam saja, sejak kapan dia mau bercerita pada orang lain? Dia sangat irit bicara sampai tidak ada yang tahu tentang masa lalunya. "Pasti cewek itu kamu ancam," tebak Lazio. Dia menyenderkan punggungnya ke kursi. Tidak ditanggapi Jexeon. "Apa yang dibutuhkan untuk menikah?" tanya Jexeon setelah diam beberapa saat. "Sunat, kau sudah sunat belum?" tanya Lazio, melirik tonjolan milik Jexeon yang diperkirakan besar. Langsung mendapat lirikan t
Jexeon adalah mantan gengster dan mafia, Arjun menjelaskan dengan menggebu-gebu, menentang keras pernikahan. Seolah memiliki suami seperti Jexeon adalah hal yang paling buruk. Padahal aku pikir Arjun bisa menerima Jexeon dan memiliki pemikiran terbuka. Sebelumnya Jexeon bertanya tentang kriteria calon suamiku. Itu berarti dia meminta pendapatku apakah cocok atau tidak. Sebenarnya aku memiliki toleransi tinggi terhadap orang-orang yang memiliki masa lalu buruk. Tidak ada orang yang sempurna, aku pikir demikian. Maka dari itu aku tidak memasang kriteria harus bisa ngaji ataupun akhlak mulia, orang jahat bisa berubah baik dan orang baik bisa berubah jahat. Orang pintar bisa menjadi lalai dan sombong sementara orang bodoh bisa saja berubah menjadi pintar. Tidak ada hal pasti dan sempurna di dunia ini selain Allah.Hanya saja aku percaya bahwa jodoh adalah cerminan. Sama ketika aku menerima lamaran Roan, dia orang baik tapi aku tahu bahwa dia tidak begitu dekat dengan Tuhan. Saat itu aku