AKU LEBIH CANTIK DARI GUNDIK SUAMIKU
“Jadi ini alasanmu dulu begitu kekeuh menyuruhku untuk tak lagi membantu pekerjaanmu di kantor, Mas? wanita ini yang kau pilih jadi sekretaris sekaligus istri kedua?” kutunjuk wanita perebut suamiku yang kini tertunduk sambil memegangi perutnya yang membuncit.
“Maaf, Wid. Mas akui, Mas dan Frisca khilaf. Tapi, semua ini sudah terjadi. Lagipula, bukan cuma kamu di dunia ini yang dimadu. Jadi, terima sajalah! Kalau secara ekonomi, Mas pastikan akan bersikap adil pada kalian berdua.” Mas Khalid dengan entengnya berbicara tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“Adil? Mas yakin bisa bersikap adil? Aku ini kurang apa, Mas? dari awal kita mulai semuanya, dari nol! Sekarang kamu seenaknya menikah lagi tanpa seizinku, dengan wanita yang sudah kita angkat dari lembah nista ini? Frisca! Dimana letak hati nuranimu?” Meski dengan suara bergetar, tetap kutahan air mata ini agar jangan sampai tumpah.
“Maaf, Mbak Widya. Aku terlanjur mencintai Mas Khalid.” Frisca masih sanggup menjawab meskipun ia tahu emosiku sedang memuncak.
“Cinta kau bilang? Dan kau, Mas? kau juga mencintai dia?” hardikku tanpa ampun.
“I-iya. Kalau gak cinta tak mungkin Mas menikahi dia.”
“Jadi, sudah sejak kapan kalian menikah?” tanyaku, masih dengan emosi membuncah yang terpaksa kutahan. Aku tak sudi menangis di hadapan wanita ini.
“Sejak dua bulan yang lalu, Mbak!” Frisca menjawab ragu.
“Dua bulan? Dan perutmu sudah buncit sebesar ini? Artinya jauh sebelumnya kau adalah gundik suamiku?” ujarku sinis sambil melipat tanganku di dada.
“Widya! Kamu jangan menghina Frisca! Memang kami menikah baru dua bulan.” Mas Khalid terlihat emosi dengan tampang sinisku.
“Artinya apa, Mas? kalian sudah lebih dulu berzina, to?”
“Mas, aku mundur saja. Mbak Widya gak akan bisa terima aku sebagai madu.” Frisca berlagak bicara merengek sambil menggoyangkan tangan Mas Khalid, menjijikkan!
“Jangan, Fris! Kamu sah istriku. Kamu juga sebentar lagi akan melahirkan anakku. Anak yang sejak lama kutunggu kehadirannya, dan Widya tak bisa memberikannya. Sekarang terserah kamu, Wid! Kalau kamu gak suka ada Frisca di rumah ini, kamu boleh pergi!”
“Pergi? kamu gak salah, Mas? rumah ini milik siapa? Kok aku yang harus pergi?” Aku terkekeh meski batinku sakit.
“Mas, emangnya rumah besar ini punya siapa? Bukan milik kamu?” Kali ini Frisca bertanya sambil berkerut dahi.
“Rumah ini peninggalan orang tua Widya,” sahut Mas Khalid, lemah!
“Bukannya kamu bilang semua harta kamu itu milikmu, Mas?” Frisca masih saja merengek. Jelas sekali, wanita ini hais akan harta.
“Emm … tidak semuanya!”
“Frisca, gimana rasanya dengar kenyataan pahit? Laki-laki yang kamu goda ini awalnya gak punya apa-apa. Dia miskin, dan aku rela ikut hidup miskin dan membangun usaha dari bawah. Sekarang kamu mau ambil semuanya setelah Mas Khalid punya harta? Cih! Perempuan rendahan!”
“Widya!” Mas Khlaid berteriak kasar, telapak tangannya mengepal bersiap melayang ke arah wajahku. Hal yang tak pernah sekalipun dia lakukan sejak kami berumah tangga.
“Apa, Mas? mau tampar? Sini! Tampar yang keras!” tantangku tanpa rasa gentar. Kisodorkan pipiku padanya.
“Jangan pancing emosiku, Widya! Mau tidak mau, suka tidak suka, kamu harus terima kehadiran Frisca di rumah ini! Kalau kamu masih tetap ingin menyandang status sebagai istri, bukan janda!” bentaknya dengan rahang mengeras.
“Baik, kalau begitu sekarang statusnya kalian berdua menumpang di rumahku. Jadi kalian ikut aturanku! Jangan pikir aku akan mengalah pada perempuan gatal ini!”
“Widya, cukup!” bentak Mas Khalid sekali lagi.
“Oke! Selamat menikmati masa pengantin baru di rumah istri pertama yang megah ini. Tapi jangan harap kau akan bisa merebut hartaku!” Kujentikkan jari di depan muka Frisca, kemudian berlalu menuju kamar pribadiku.
Inilah aku, Widya Atmawinata. Sembilan tahun pernikahan, aku belum juga dikaruniai zuriat di dalam rahimku. Wanita yang dulu pernikahannya dengan Mas Khalid sempat ditentang oleh kedua orang tuaku. Ternyata ini jawabannya. Mas Khalid tega mendua.
Susah payah aku membantu usahanya, yang dulu hanya mampu berjualan perak di pasar-pasar tradisional, menyewa kios kecil untuk sekedar makan. Perlahan berkat kegigihanku, yang memang punya banyak teman dari kalangan berada, usaha Mas Khalid merambah jual beli emas, sampai akhirnya masuk ke bisnis berlian. Bukan setahun dua tahun, sembilan tahun aku berjuang membuktikan pada Papa dan Mama, kalau pilihanku tidaklah salah. Kami sudah meraih kesuksesan bersama. Hingga Papa Mama mempercayakan rumah mewah ini untuk kami tinggali.
Hanya satu kurangnya, dalam kurun waktu sembilan tahun, aku belum juga bisa hamil. Awalnya Mas Khalid tak mempermasalahkan. Dia percaya kalau nanti waktunya tiba, aku pasti akan mengandung anaknya.
Kini semua berubah, memasuki usia pernikahan ke-sepuluh, Mas Khalid memintaku untuk tak lagi perlu membantu bisnis kami di kantor. Alasannya agar aku bisa lebih fokus untuk menjalankan program hamil. Tapi ternyata diam-diam dia selingkuh dengan Frisca.
Aku menemukan Frisca di pinggir jalan di pagi hari sekitar satu tahun yang lalu. Entah siapa yang tega membuangnya, wajahnya lebam, pakaiannya robek. Dia menolak melapor ke polisi, tapi malah menangis dan memohon perlindungan padaku.
Aku membawanya pulang karena kulihat dia gadis yang baik, tak banyak bicara, dan menyimpan trauma. Ternyata ia wanita panggilan yang dibuang pacarnya sebab dia meminta bayaran setelah kencan. Baginya pacar ataupun pelanggan adalah sama, gak ada yang gratisan.
Aku bertanya dimana keluarganya, barangkali aku bisa mengantarnya pulang. Namun ia mengaku tak lagi punya keluarga, tangisnya membuatku iba. Janjinya untuk bertaubat membuat hatiku luluh. Kukontrakkan ia sepetak rumah untuk tempat tinggal, kuajari dia cara berbisnis. Memang prestasinya bagus. Dalam beberapa bulan ia berhasil menjual banyak perhiasan pada bos-bos kaya kenalannya. Bodohnya aku, menolong seekor ular yang justru sekarang menancapkan bisa paling mematikan dalam rumah tanggaku.
Wanita yang kuyakini telah berubah, aku berikan ia pekerjaan yang layak, kini menusukku dari belakang. Tapi aku sadar, ini semua bukan murni kesalahannya. Suamiku juga bersalah, tak bisa menjaga hatinya. Melihat tubuh molek Frisca, imannya goyah.
Kutatap wajahku di depan cermin besar di kamar ini. Wajahku ayu, kulitku putih bersih. Jika dibandingkan dengan Frisca, aku yakin Mas Khalid pun akan mengakui bahwa aku jauh lebih cantik. Tapi namanya setan sudah menguasai hati suamiku itu, ia akan mendekatkan yang haram, dan memisahkan yang halal. Itulah prestasi tertinggi para setan. Bergemeletuk rahangku menahan geram.
‘Widya, kamu jangan kalah! Kamu bukan wanita lemah!’ demikian bisik hati kecilku. Aku sadar, sebagian besar aset dalam bisnisku masih dikuasai Mas Khalid. Aku bisa kehilangan lebih dari separuh harta kekayaan kalau aku memilih cerai. Bagaimanapun, aku harus mendapatkan apa yang seharusnya jadi milikku, sebelum membalaskan rasa sakit hatiku. Aku cantik, aku kaya, hanya saja kurang beruntung belum mampu mengandung bayi untuk Mas Khalid.
Bukannya aku tak berusaha, aku sudah mengajak Mas Khalid untuk program bayi tabung, tapi ia selalu menolak dengan alasan dia sabar menanti hadirnya bayi secara alami. Bulshit! Kini ia menelan lidahnya sendiri. Kini dengan mudahnya ia berucap, aku yang dipersalahkan dan memaksaku menerima Frisca sebagai maduku. Dunia belum berakhir, Mas!
Part 2 Pantas saja belakangan Mas Khlaid berubah perangainya. Lelaki yang dulu menikahiku dalam keadaan miskin itu, belakangan mulai menunjukkan perangai aslinya. Aku dilarang mengantarkan makanan ke kantor yang letaknya di lantai dua toko perhiasan kami. Biasanya dia hanya mau makan makanan yang aku masak. Namun semanjak Frisca yang menggantikan tugasku, Mas Khalid sudah enggan menerima kiriman makan siang. Sopir pribadiku terpkasa membawa pulang makanan yang aku kirimkan untuknya. Baiklah, Mas. kalau memang ini jalan yang kau mau. Aku hanya ingin kau tahu,hati perempuan yang bersamamu dalam kurun waktu sepuluh tahun ini sudah sangat terluka. Aku tak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang menjadi hakku. “Mama, Papa. Maafkan Widya! Widya terlalu percaya diri bahwa Mas Khalid akan menjadi satu-satunya lelaki yang akan mencintai Widya selain Papa. Hanya do’a yang kini bisa Widya kirimkan. Semoga Papa dan Mama tenang di ala
Part 3“Iya, untuk Mas kawin. Kenapa, sih? Biasa aja, lah! Toh perhiasan koleksimu sendiri juga lebih dari itu, Wid! Sebaiknya sekarang kamu pulang. Temani Frisca, dan jalin komunikasi yang baik dengannya. Akur-akurlah kalian berdua. Jangan bikin Mas jadi pusing, oke?”“Mas, kalian menikah saja aku gak tau! Sekarang tiba-tiba bawa pulang dia sebagai istri. Mas ini lucu, Mas tau bagaimana hancurnya hatiku ini, Mas?”“Wid, sudahlah! Menerima akan membuat perasaanmu jauh lebih baik. Aku yakin kamu akan terbiasa nantinya. Ingat, Wid, anak dalam kandungan Frisca itu adalah harapan terbesarku. Harta kita yang sebanyak ini nantinya harus ada yang mewarisi.”“Anak hasil zina tidak berhak dapat warisan!”Plakk!Akhirnya Mas Khalid melakukan hal terhina itu, menampar pipi wanita yang sudah mendampinginya selama hampir sepuluh tahun hanya karena membela seorang wanita perusak r
Part 4“Gerry … awas kamu, Mbak! Kalau sampai kucing aku mati, aku aduin kamu sama Mas Khalid biar kamu dimarahin!” ancam Frisca.“Kalo si Gerry mati ya tinggal dikubur,” jawabku santai. Kulihat wajah Frisca menggeram marah. Jangan kau pikir kau bisa mengintimidasi aku, Frisca! Kamu yang tidak selayaknya ada di rumah ini. Tunggu saja waktunya.“Lihat saja nanti, aku akan jadi satu-satunya nyona besar di rumah ini,” ujarnya ketus.“Tidur dulu sana! Abis itu ngimpi!” sahutku tak kalah ketus. Frisca menghentakkan kaki kemudian pergi masuk ke dalam kamarnya. Paling juga mau ngadu. Silahkan, aku tak takut.Aku mengajak Mbok Jum makan siang bersama. Lebih baik makan bersama Mbok Jum daripada dengan si Frisca sialan itu. Ponsel di samping piringku berdering. Nomor kantor Mas Khalid memanggil.‘Mau apa lagi nelpon-nelpon? Udah dapat aduan dari istri muda?’
Part 5Selanjutnya aku langsung mengatur rencana untuk malam nanti. Semuanya sudah aku jabarkan pada Mikha melalui pesan di aplikasi hijau. Mikha sudah mengerti apa yang harus ia lakukan jika nanti malam aku memberinya kode, maka ia harus meneleponku.Selesai sholat isya, Mas Khalid dan juga Frisca belum juga kembali ke rumah. Entah kemana mereka. Jam sepuluh malam barulah kulihat sorot cahaya lampu mobil Mas Khalid memasuki halaman. Aku langsung mengirim chat pada Mikha.“Mas Khalid sudah pulang. Standby!”“Oke, Mbak!” balasnya tak lama kemudian.Kulihat Frisca bergelayut manja di lengan Mas Khalid sambil menenteng begitu banyak belanjaan. Ooh, ternyata mereka habis pulang dari shopping. Bukan main, royal sekali Mas Khalid pada istri barunya itu.“Baru pulang, Mas?” tanyaku.“Iya, abis nemenin Frisca belanja kebutuhan bayi. Fris, kamu masuk ke kamar! Mas mau mandi!
Part 6“Mas, bangun!” ujarku subuh itu, sambil mengguncang tubuh Mas Khalid.“Ah! Apa, sih, Wid?” ujarnya sambil menggeliat malas.“Bangun! Sholat subuh!”“Duuh, kamu ganggu aja, sih? Masih ngantuk tau? Semalam gak bisa tidur!”“Gak bisa tidur? Ngorok sampai saat ini itu apa namanya gak bisa tidur? Kamu lupa kewajibanmu, Mas? sholat, Mas!”“Kamu duluan aja, deh!”“Mas! kamu bener-bener berubah total sekarang! Bahkan sholat pun kamu sengaja lalai!”“Udahlah, kamu kalau mau sholat, sholat aja sendiri! Gak usah maksa-maksa!”“Bener-bener kamu, Mas! belum dapat azab aja kamu!” ujarku kesal. Aku sudah sengaja membangunkannya setelah aku selesai sholat, nyatanya masih saja malas.Aku bergegas ke dapur menemui Mbok Jum. Sarapan sedang dimasak
Part 7PoV Frisca“Aaarggghh … keseeeelll …. Mas Khalid bener-bener keterlaluan. Masa iya pagi-pagi begini aku sudah dipaksa keluar dari rumah." Kulihat supir Mas Khalid sekilas melirikku dari pantulan kaca spion.“Mbak, mau saya anter kemana?” tanyanya takut-takut. Pastinya dia takut melihat wajahku yang masih acak-acakan dan marah.“Ke hotel dekat kantor Mas Khalid saja!” jawabku ketus. Sialan! Aku cuma bawa ponsel, gak sempat bawa dompet. Udah bagus aku bela-belain bangun pagi supaya Mas Khalid gak tahu kalau tadi malam aku dugem. Ya abisnya aku kesel, lah. Mas Khalid gak percaya waktu aku bilang aku kehilangan perhiasan itu, dan dengan entengnya Mas Khalid marah-marah gara-gara aku keceplosan. Iiiih … ini semua pasti ulah Mbak Widya.Aku benci kesepian. Dulu, saat masih menjadi wanita simpanan, aku tak bebas. Hanya keluar sesekali bersama Mas Khalid. Aku hanya bisa keluar jika Mas
Part 8“Aamiinn ….” Aku sengaja menyahuti ucapan Mikha supaya Ibu merasa senang.“Ya sudah, aku mau langsung balik aja, ya, Mbak, Mas! soalnya mau packing barang-barang aku sebelum berangkat besok. Aku titip Ibu. Aku janji, kalau nanti udah balik lagi ke Indonesia, Ibu aku yang rawat.” Mikha berkata dengan raut wajah sumringah. Sudah berhasil mengambil alih barang-barang mahal milik Frisca, plus dapat uang saku dari Mas Khalid. Lebih baik begitu, kan? Uangnya untuk keluarga sendiri.“Kamu hati-hati, ya, Kha! Gak usah khawatir, Ibu pasti betah di rumah ini. Mbak yang akan mengurus semua keperluan Ibu.”“Duuh … makasih banyak, ya, Mbak Wid. Mbak baik banget, deh. Gak salah Masku milih Mbak jadi istri. Udah cantik, baik, lembut. Pokoknya kebangetan kalau sampai Mas Khalid tega melirik perempuan lain. Itu gak boleh terjadi. Ya, kan, Mas?” ucap Mikha, membuat Mas Khalid semakin k
Part 9PoV FriscaMas Khalid bener-bener kelewatan. Sudah hampir satu minggu aku diasingkan di hotel ini. Dia cuma datang satu kali, pagi saat aku dipaksa keluar dari rumah. Dia membawakan beberapa potong pakaian untuk ganti diriku selama mengungsi. Dia bilang ibunya akan tinggal selama dua minggu di rumahnya. Sial!Satu minggu ini dia susah banget dihubungi. Aku datangi ke kantor, tapi ternyata semua orang sedang sibuk mempersiapkan sebuah event yang akan diadakan oleh toko. Mbak Widya setiap hari datang ke kantor. Kalau aku nekat masuk kantor dengan membawa perut buncit ini, apa kata orang-orang nantinya? Mereka memang tahu aku istri siri bosnya, tapi masa pernikahan kami belum ada tiga bulan, pastinya mereka akan mencemooh aku. Apalagi disana selalu ada Mbak Widya. Pasti mereka jadi berani padaku. Aaarrgghh … sial benget, sih!Mas Khalid juga sama, setiap kali aku hubungi, selalu saja jawabannya sedang sibuk. Usai jam kantor juga d