Kenapa Faizal begitu? Kok aku merasa dia menghindar. Padahal aku memanggilnya untuk membantuku menghitung OB yang bekerja di sini."Apa saya kejar, Bu Bos?" tanya Asih yang tentu juga heran."Tidak usah, Sih. Biarkan saja.""Sedang aneh Faizal hari ini, Bu." Kembali Asih berpendapat."Yang namanya manusia, memang kadang memiliki hal yang aneh. Biarkan saja. Manusaiwi.""Mungkin sedang PMS, Bu, hahhaha ...." Asih terbahak-bahak.Aku hanya tersenyum. Kemudian memanggil OB lain yang kebetulan lewat. "Tolong bagikan kesemuanya ya!" Perintahku. "Kalau kurang boleh ambil lagi.""Terima kasih, Bu Bos. Saya pamit dulu antar semua ini."Aku menggangguk. Setelah itu memilih untuk kembali bekerja. Fokus pada urusan kantor yang lumayan membuat kepala ini terasa pening.Saat pulang kerumah, ternyata sudah ada Bulik Tuti. Dia menyambutku dengan ramah."Bulik, kapan datang?" tanyaku yang langsung memeluknya."Tadi siang, Nduk. Linda ngga ada di sini?" tanyanya kemudian."Tadi si dia kekantor. Tapi,
"Surat pencabutan tuntutan dari kepolisian?" Aku bergumam setelah membaca tulisan disana. Surat itu dilengkapi beberapa nama, dari penggugat bernama Permadi, dan tergugat Ayah. Kubaca segsama tentang apa arti surat itu. Surat yang kutaksir hampir dua puluh tahunan.Tertulis jelas jika itu surat gugatan atas sebuah kecelakaan. Disana juga ada nama ayah Linda beserta surat kematiannya dan satu lagi nama Ruri yang juga ada keterangan kematian. Ini artinya surat itu, adalah surat saat kecelakaan dulu. Aku mengembalikan foto seorang perempuan dan anaknya kedalam map. Memandangi wajah perempuan itu sekilas, kemudian menutup map dan kembali menatap tumpukan map yang berantakan.Hufh ...Aku keluar saat berjalan dengan map yang lumayan buanyak dan menabrak sesuatu. Hingga map ditangan ikut terjatuh berhamburan."Reno!" Pekikku saat kutahu aku telah menabraknya. "Punya mata ngga sih!" Aku sedikit nyolot. Nyatanya aku yang sedang kesusuahan membawa berkas dia malah yang ngga bawa apa-apa men
"Han-hantuuuu!" Aku dan Asih berkata bersama. Asih maju kedepan dan aku juga maju kedepan hingga akhirnya kami saling tubruk."Auuu!" Pekikku. Aku memegangi kening sedangkan Asih memegangi bibirnya. Memang Asih lebih tinggi dari pada aku. Cukup jauh perbedaanya. Dia memiliki tinggi badan yang lumayan sekitar 167 sedangkan aku hany 155. Asih berkulit gelap namun memiliki wajah yang manis dengan wajah oriental."Kamu ini gimana si, Sih?" gerutuku."Abis Bu Bos juga ngapain maju? Kan kamarnya disana!" Asih menunjuk kearah pintu kamar.Tak lama pintu kamar ayah terbuka. Reno dan Bulik Tuti keluar dengan sedikit heran. Aku kelimpungan. Malu jika aku ceritakan.Kulihat Bulik yang masih memegangi tissu untuk mengelap matanya. Artinya tadi yang menangis itu Bulik?"Tadi yang menangis itu, Bulik?" tanyaku saat Bulik mendekat. Aku yang masih terduduk bersama Asih langsung bergegas berdiri."Iya, Nduk. Bulik sedih sekali mendengar penuturan Mas Indra tentang semua yang Linda lakukan. Bulik menye
"Apa maksud ucapan kalian?" Faizal masih penasaran karena kami masih bungkam.Aku menyenggol lengan Asih. Dia tampak gelagapan. Mungkin tadi dia tak sengaja menjelaskan karena jengkal.Prankk ....Tiba-tiba suara gelas pecah terdengar dari dalam kamar."Lee, Ibu mau minum!"Suara wanita tua itu terdengar. Faizal segera beranjak dan masuk kekamar. Aku mengikutinya karena rasa penasaran.Saat gorden terbaru, aku kaget melihat wanita yang tengah berbaring. Walau wajahnya pucat, aku masih bisa mengenalinya. Ya ... Wanita itu, orang yang sama dengan foto yang kutemukan kemarin. Artinya ....Aku akan masuk kedalam saat sebuah suara menghentikan langkahku."Jangan! Tolong jangan masuk, Bu Bos. Hargai privasi saya." Faizal berkata tepat saat akan masuk membawakan minuman. Aku memilih mundur. Kemudian pamit pulang karena takut menganggu. Biar urusan yang lain nanti saja!"Gelo dia, Bu. Berani-beraninya bilang begitu!" Gerutu Asih saat kami sudah dalam mobil."Kamu ini, hampir membuat aku keta
Setelah keluar dari kantor, aku bukan pergi ke restoran Nuansa hijau. Tapi, justru pergi ke rumah Faizal. Entah kenapa langkah ini yang membawa aku kesana. Padahal klien ini sangat penting. Duh ....Tiba di rumah duka, terlihat sudah banyak warga berkumpul. Tentu kedatanganku membuat beberapa pasang mata yang tengah melayat menatapku. Kikuk. Tapi, aku tak peduli."Assalamualaikum ...." Kuucapkan salam. Beberapa orang menjawab. Kulihat Faizal begitu tegar. Dia tengah mengaji di samping jenazah ibunya.Aku duduk diantara orang-orang. Mereka terlihat sedikit segan padaku, bahkan ada yang membawakan aku kursi untuk duduk. Tapi kutolak.Sedikit banyak ada yang berbisik. Bahkan aku mendengar ada beberapa yang menduga jika aku orang penting di kantor Faizal bekerja.Aku melihat orang yang sibuk merangkai bunga, mengiris daun pandan. Aku sampai bingung untuk membantu."Boleh saya bantu, Bu?" tanyaku pada Ibu separuh baya yang tengah memegang pisau memotong daun pandan."Bo-boleh, Mbak. Tapi .
Gila! Bagaimana ayah begitu cepat memutuskan. Ah! Rasanya aku saja belum siap secara lahir maupun batin. Apalagi setelah kejadian Hisyam kemarin. Menambah rasa ragu untuk membuka hati.Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya lewat mata aku mengisyaratkan jika aku benar-benar belum siap.Kulangkahkan kaki dengan lemas. Menaiki tangga menuju kamar. Aku sudah pindah kembali kekamar atas. Tentu karena aku sudah kembali bisa berjalan.Saat bobot kujatuhkan pada ranjang. Aku meatap langit-langit kamar. Kenapa ayah bersikukuh untuk menikahkan Faizal dengan salah satu diantara kami. Bahkan kali ini cenderung memintaku.Sayup mata mulai terpejam. Saat ponselku berdering hingga aku terperanjat. Nomor luar negri?"Hallo, assalamualaikum, Mbak Afi." Dari sebrang sana terdengar lembut suara perempuan yang tak asing bagiku."Hallo, Waalaikumsalam,Tiara. Apa kabar? Bagaimana keadaanya. Betah juga tinggal di negara tirai bambu," ucapku padanya. Dia dulu tetanggaku disini. Rumahnya bersebelahan. Dia da
Aku tak percaya melihat penampakan mahluk didepanku. Bahkan sempat mengedipkan mata karena masih belum yakin dengan apa yang kulihat.Mimpi kah?Aku bergumam. Dengan pelan menyusuri anak tangga yang tinggal beberapa lagi. Pelan tapi pasti. Pandanganku tak teralihkan dari sosok pria didepan sana.Tersenyum. Bahkan sangat kentara lesung pipitnya. Baru kali pertama aku memperhatikan dengan segsama cekungan yang ada di pipinya saat tersenyum."Sudah siap?" tanyanya ketika kami tinggal berjarak beberapa langkah.Aku masih terpakau. Ah! Rasanya ini mustahil."Hello! Apa sudah siap berangkat?" tanyanya kemudian melambaikan tangan. Aku tersadar dari hipnotis-nya."Ka-kamu?" tanyaku terbata."Kenapa? Apa seorang OB tidak boleh tampil resmi saat Dinner dengan calon istri?" Ah! Bahkan aku sendiri memikirkan untuk berdandan sederhana. Mengikuti mode yang dia tampilkan selama ini. Nyatanya?Aku tersenyum malu. "Se-sebenarnya ...."Ingin rasanya aku katakan, jika aku ingin kembali kekamar dan Men
"Bang Tigor meninggal?" aku masih tak percaya. Karena pagi tadi juga kami masih komunikasi.Aku lemas. Bagaimanapun dia banyak membantu keluarga ini. Bahkan Ayah sudah mengagap dia seperti saudara sendiri."Kenapa, Bu?" tanya Asih yang melihat aku masih mematung di anak tangga.Bibirku bergetar. Ada rasa tak percaya akan semua hal ini."Bang Tigor, Sih. Dia di kabarkan meninggal baru saja." Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Aku melangkah menuruni anak tangga. Segera menyuruh Asih untuk meminta sopir mengantarkan kerumah duka.Tiba di rumah Bang Tigor, suasana sudah ramai. Banyak pelayat yang tengah membaca Al Qur'an. Aku mendekat pada jenasah. Wajah yang telah ditutup oleh kain jarik, kusingkap sedikit. Air mata ini langsung luruh."Bang!" ucapku dengan sedikit isakan. Aku memilih mundur, takut jika air mata ini jatuh di atas jenazah. Ada raut bingung pada beberapa orang dengan kedatanganku. Tak terkecuali istri bang Tigor yang masih duduk lemas di samping Bang Tigor."Bang Tigor ora