Dena dan mama mematut diri di cermin, keduanya tampil cantik dengan kerudung yang menutup kepala hingga dada. Dena memakai blazer warna hitam, kerudung warna navy itu membuat wajahnya begitu cerah.
"Mama seneng kita bisa kompak berpikir yang sama, Dena," peluk mama yang memakai kerudung terusan warna pastel, ia sedang di rumah, jadi daster dan kerudung terusan panjang, sudah paling cocok.
"Iya, Ma, mudah-mudahan semua di lancarkan, ya, eh iya... Papa udah tau?" Dena meraih tas kerjanya.
"Udah, tapi nggak tau kalau hari ini," sahut mama sambil cekikikan. Keduanya berjalan keluar dari kamar Dena, menuruni tangga. Papa yang sedang menonton berita mendadak menutup mulutnya, lalu beranjak, merentangkan kedua tangan sembari menangis haru memeluk istri dan anaknya.
"Alhamdulillah," ucap papa di sela tangisnya. "Belajar terus, apa pun yang terjadi jangan dilepas, ya," pinta papa. Dena dan mama m
"Kamu siap, kan, Dena?" Om Prabu sudah berdiri di depan pintu ruang sidang."Harus banget Dena ikut hadir, Om? Dena degdegan," ucapannya membuat Prabu tertawa geli."Tuh, nggak lihat, teman-teman kamu setia nungguin di sini," tunjuk Prabu. Dena menoleh, dan memang, di bangku itu duduk empat wanita, Tya salah satunya. Kebetulan tak ada jadwal praktek, dengan bahagia ia hadir di pengadilan. Dena menghela napas, lalu mengangguk.Tara belum muncul, hanya pengacaranya yang hadir. 'Apa Mas Tara nggak hadir, ya?'ucapnya dalam hati. Padahal ia mau sekalian pamit kepada pria itu kan. Tepat sesuai ucapan Prabu, keputusan sidang cerai itu tiba dihari ketiga puluh.Dena mengikuti langkah Prabu masuk ke ruang sida
Dena masih menggunakan mukena setelah ia menunaikan salat dhuha di jam sembilan pagi. Terdengar suara petugas jasa pengiriman berteriak 'PAKET', berhubung Dena sendirian di rumah karena bibi ke pasar, mama dan papa rapat RT, jadi Dena yang menerima paket itu, kebetulan juga untuknya. Tertulis pengirim atas nama Adim Prayogatama, kening Dena berkerut, ia membawa paket berupa dus kecil itu ke dalam rumah, ia duduk di sofa ruang TV.Terlihat berisi empat buah buku saat Dena sudah membuka dus itu. Buku tentang novel detektif berseri kesukaan Dena, juga satu buku tentang rumah tangga. Dena tersenyum, bisa-bisanya Adim mengirimkan ia hadiah itu.Ia meraih benda pipih tergeletak di atas meja, jemarinya mengusap layar lalu menempelkan ke telinganya."Assalamualaikum?" s
"Tuh, kan, gue bilang apa, Dena... emang elu tuh, salah jatuh cinta," tukas Tya sembari mencolek buah apel ke bumbu rujak yang sedang mereka nikmati di depan toko bahan langganan Dena, daerah Mayestik - kebayoran Baru. Keduanya sedang belanja baham kebaya untuk acara pernikahan Dena dengan Adim. Hanya berdua, karena papa dan mama Dena sibuk urus catering juga tenda, terhitung tiga minggu lagi ia dan Adim akan menikah, tapi, sang calon pengantin pria belum pulang dari Sumatera sana."Gue mana nyangka, bisa nikah lagi secepat ini, sama Adim pula. Kalau inget kejadian dulu yang gue hampir diperkosa Nando, jujur gue malu, Tya, sama Adim." Mendengar itu Tya tertawa walau kepedesan karena bumbu rujak yang ia makan."Jujur. Gue tuh, penasaran sama sosok Adim yang sekarang, dia sepupunya Vika, kan?" Tya menatap Dena yang
"Sepupu gue ganteng banget, ya ampun!" pekik Vika saat ia tiba di rumah orang tua Adim. Jam enam pagi, semua keluarga berkumpul untuk berangkat bersama-sama menuju ke rumah calon pengantin wanita. Adim menatap dengan dingin ke arah Vika yang memukul lengan kekar pria itu."Lo nggak undang Nando, kan?" lirik Adim sinis sambil memakai jas pengantin warna abu-abu tua. Vika tertawa sambil menyematkan kain warna putih yang diselipkan pada saku jas bagian dada sebelah kiri."Cemburu amat, bos... ya nggak lah, ya kali, Dim," ucap Vika seraya tersenyum. "Selamat ya, gue nyangka kalian berjodoh, tau gitu, dari dulu aja gue comblangin kalian. Dena nggak perlu lewatin fase menyakitkan sama Tara, dan lo nggak perlu rasain nikah cuma empat bulan karena lo super sibuk. Kali ini,pleasejangan kayak gitu, Dim,
Adim dan Dena sudah berada di kamar pengantin, sebenarnya kamar Dena, dan karena ulah mama, jadilah kamar itu dihias sedemikian rupa khas kamar pengantin baru. Nuansa marun memenuhi kamar itu, dengan banyak bunga mawar putih menghiasi beberapa sudut kamar dengan vas bunga cantik pilihan mama juga.Dena menghela napas, ia lelah, langkah kakinya gontai berjalan ke arah lemari pakaian, tas koper Adim sudah ada di kamar itu, tapi belum dirapikan Dena untuk ia tata di lemarinya.Tak terpikirkan olehnya ia akan menempati kamarnya bersama laki-laki lain yang menjadi suaminya. Dena sudah mandi dan berganti pakaian dengan piyama motif salur warna pink, juga kerudung warna pink. Adim sedang mandi, Dena memutuskan mengeluarkan pakaian suaminya yang ia akan pindahkan ke dalam lemari.Dena terkejut, karena tak ada piyama tidur, ia mencari pakaian tidur untuk Adim, yang ada hanya celana pendek dan kaos polos berwarna monokrom, bahkan Dena membuka koper lainn
Dena menarik hidung Adim yang masih terpejam di sebelahnya. Ia tersenyum, cukup malu jika mengingat apa yang mereka lakukan semalam. "Mas, bangun, ayo mandi," ajak Dena sembari beranjak pelan. Adim membuka matanya, tersenyum sejenak lalu mengangguk."Udah jam empat subuh, sebentar aku isi air baknya pakai air hangat, ya," ujar Dena yang beranjak dari ranjang. Ia sudah memakai baju tidurnya lagi, pun Adim yang memakai kaos dan celana pendek. Adim menarik Dena sehingga istrinya kembali duduk. Ia tersenyum walau matanya masih menyipit karena mengantuk."Apa?" tanya Dena mendekat ke wajah suaminya itu."Tara bodoh, dia udah lepas kamu. Sumpah." Lalu Adim menciumi gemas pipi Dena yang tersenyum sambil memeluk leher Adim.
"Kita ke pantai, Mas Adim?!" Raut wajah Dena begitu menyiratkan rasa bahagia. Ia sudah lama yang ke pantai, menginjakkan kaki di pasir juga menyentuh air laut, hadiah Adim itu membuat Dena terus-terusan memekik senang. Adim ikut tersenyum saat melihat senyuman istrinya yang mengembang sempurna, membuat hatinya menghangat juga mengucap syukur begitu banyak. Padahal ini termasuk hal sepele, tetapi mampu membuat istrinya begitu bahagia.Keduanya turun dari dalam mobil, berjalan berdua menuju ke pantai, waktu check in masih satu jam lagi, tepat pukul dua belas siang. "Kepanasan nggak mau mantai jam segini," tegur Adim sembari merangkul bahu istrinya, tangan satunya ia masukkan ke saku celananya."Sebentar doang, Mas," rengek Dena. "Aku udah lama nggak pantai, lihat laut, tolong ngertiin," tukas Dena seraya tersenyum.
"D-dena?" gugup Beny, Dena mengangguk. Ia lalu berjalan semakin dekat."M-mas," panggil wanita cantik, mulus dan seksi yang berdiri di sebelah Beny."Kamu ke kamar duluan, aku harus bicara dengan Dena sebentar," ucapnya. Wanita itu menerima kunci kamar berbentuk kartu lalu berjalan ke arah lift.Dena menaikkan sebelah alisnya, ingin mendapatkan penjelasan. Beny menunduk sembari menghela napas."Dia ... istri muda ku, Dena," jawab Beny."Hah! Mas Beny!" pekik Dena."Tolong jangan cerita ke Sofia atau siapa pun, aku ... memang mau menceraikan Sofia. Aku capek, dia...""Mas..., Dena nggak mau dengar masalah rumah tangga kalian. Dena juga sudah bukan bagian keluarga, kan? Tapi... Mas Beny apa nggak mikir perasaan anak kalian?" Dena mengingat keponakannya yang dekat dengannya."Justru karena dia aku begini, De