Tahun berganti, usia Ariq sudah menginjak satu setengah tahun. Terik matahari, tak mengurungkan Dena untuk melanjutkan kegiatannya, ia berjalan menggandeng tangan Ariq yang menggenggam erat dirinya. Dena menoleh ke putranya yang tersenyum menatap ke sekitar. "Sedikit lagi kita sampai, Ariq," ucapnya pelan. Mereka terus berjalan, tak butuh waktu lama, mereka tiba ditujuan. Ariq meletakkan benda yang sejak tadi di pegang tangan kanannya. "Sini, sama Bunda, kita ucap salam ke Ayah." Dena memangku Ariq. "Assalamualaikum, Ayah, Ariq datang lagi," lirihnya dengan suara bergetar. Dena mengusap papan nisan yang masih jelas bertuliskan nama Adim di sana. "Mas... kami datang lagi," lanjutnya dengan derai air mata. Ariq menoleh, menatap wajah Dena lalu menyandarkan kepala pada dada Dena. Dena menunduk, memeluk Ariq sambil kembali menangis tersedu-sedu. Adim meninggal, dua minggu lalu, tepatnya satu hari setelah Dena ulang tahun karena bencana angin besar yang mengacak-ngacak perkebunan saat Ad
"Dena, lo nggak bisa ada dilingkaran ketakutan karena Tara. Dia udah mantan, jadi yaudah lo cuekin aja," ujar Tya."Iya, Dena. Lo nggak perlu mikir kalau Tara bakal dekat atau kejar lo lagi. Lo aja udah tutup hati nggak akan buka hati, 'kan? Cuma mendiang Pak Adim yang akan ada dihati lo?" sambung Karin.Tak hanya Tya dan Karin, bahkan Loli dan Prita juga memberikan semangat untuk Dena supaya tak merasa seperti diteror Adim. Kelima wanita itu sedang bertemu, kegiatan dua minggu sekali itu rutin dilalukan semenjak Dena ditinggal Adim. Mereka tak mau Dena merasa sendirian, istri mana yang sanggup kuat berdiri sendiri setelah ditinggal suami pergi untuk selamanya dengan anak yang masih balita."Gue kayak harus jaga diri dari Tara, karena terakhir tiap ketemu, dia selalu bilang 'maaf' dan 'gak bisa lupain gue', ngeri, 'kan?" tukas Dena kemudian menghela napas panjang."Itu ketakutan lo aja, lo paranoid jadinya, Den. Hal itu nggak bagus karena batasin aktifitas lo di luar rumah." Prita dia
Argi sudah kembali bekerja di negara tetangga, melaksanakan pekerjaan seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada hal mengganjal yang membuat ia gundah, namun mulai saat itu, ia merasakan jika ada niatan lain Tara yang coba mendekati Dena. Argi jelas tak setuju, cerita masa lalu Dena dengan Kakaknya, bahkan masih membuat Argi muak tetapi, ia hanya bisa berdoa juga berharap, semoga Dena tidak menanggapi Tara.Di tanah air, Dena yang sedang belanja bahan untuk konveksinya di pasar kain Tanah Abang, dikejutkan dengan sosok Tara yang juga sedang ada di sana, namun ia tak sendiri. Ia bersama beberapa rekan kantor, kebetulan jam makan siang dan kantor Tara memang dekat dengan lokasi itu.Dena memalingkan wajah, ia berjalan kembali menuju ke tempat makan langganannya. Tara segera beranjak, ia yang masih terlihat gagah dengan seragam kerjanya, berjalan cepat mengejar Dena."Dena," sapanya. Dena berbalik badan, hanya membalas tatapan tanpa bicara. "Kamu sendirian?" lanjutnya."Enggak. Sama asisten,
Keduanya masih saling menatap--Argi dan Dena--tanpa bicara, hingga suara Ariq memecah kesunyian diantara mereka. "Bunda, Om Argi, ini... Ariq nggak habis makan burgernya, tolongin." Dena menoleh ke Ariq yang tepi mulutnya belepotan saos tomat. Dena meriah tisu, segera membersihkan lalu mengajak ke tempat cuci tangan tanpa pamit ke Argi.Kepala pria ia menoleh ke arah lain, ia merasa sudah gila dengan mengajak kakak iparnya sendiri menikah. Keluarga belum ada yang tau, bagaimana reaksi kedua orang tua Dena hingga bapak? Argi mengusap wajahnya dengan begitu risau, helanaan napas panjang juga ia hembuskan, terasa salah, tapi juga tepat jika Dena setuju menikah dengannya.Acara ulang tahun selesai, anak-anak diberi bingkisan tambahan, raut wajah Ariq begitu sumringah. Dena pamitan kepada orang tua Dio, pun Argi yang memang memperkenalkan diri sebagai adik ipar Dena. Semua tampak santai, tak ada yang mencibir."Bun, Om Argi pulang bareng kita?" Ariq mendongak, menatap Dena sambil berjalan
"Kalian gila? Kalian ipar?!" protes papa saat mendengar niatan Argi menikahi Dena. Argi tertunduk, ia hanya bisa meremas kedua tangannya, sudah menjelaskan juga duduk perkara yang membuat ide gila itu tercetus. “Turun ranjang? Gi, jangan aneh-aneh kamu. Masalah Dena dan Kakakmu bisa dibicarakan baik-baik,” sambung bapak. Helaan napas panjang terlihat dari Argi, ia lalu menatap kedua pria yang merupakan, dua sosok yang sangat dihormati. “Pa, Bapak…, Argi tadi sudah jelaskan alasannya apa. Mas Tara mau dekat dengan Mbak Dena, dan Argi nggak suka, Argi nggak setuju. Bukan karena Argi cemburu, Argi cuma nggak mau perempuan sebaik Mbak Dena kembali bersama dengan Mas Tara. Kita semua tau Mas Tara seperti apa. Dia menyesal…, memang, tapi sifat asli Mas Tara pasti masih ada dan… Mbak Dena juga takut dengan Mas Tara. Bapak… Argi minta maaf kalau kesannya membenci Kakak kandung sendiri. Argi nggak berniat begitu. Hal ini karena Argi…, Argi–”“Apa, Gi?” kini Mama ikut menimpali. Argi menarik
"Kita berempat nggak salah denger, Dena? Lo terima ajakan nikah Argi? Sedangkan dia ipar lo sendiri?!" Tya marah-marah. Karin, Loli dan Prita menatap lurus ke arah Dena yang mengangguk."Kalian tau, 'kan, Tara berniat deketin gue lagi, dan gue nggak mau," sanggaj Dena."Ya... tapi, Den, kenapa lo iyakan ajakan nikah Argi? Ya walaupun Saski yang minta, tapi nggak masum akal buat gue pribadi. Ini tuh pernikahan, Dena. Jatuhnya lo udah tiga kali nikah dengan orang yang berbeda. Elo, ya ampun... Den ...." Tya tak bisa berkata-kata lagi.Saat Karin hendak bicara, suara Tara terdengar di belakang mereka, mendadak pria itu muncul saat mereka menghabiskan waktu akhir pekan di kafe tempat mereka biasa bertemu.Tara menyapa, ia tak sombong apalagi bersikap dingin. Tya, Karin, Loli dan Prita justru menatap sinis. Seperti drama televisi yang masuk pada episode menegangkan, ini lah momen itu."Mau apa?" tanya Tya, dokter cantik tapi galak hanya saat bertemu Tara."Apa kabar, semuanya. Saya ke sin
Dena menghapus air matanya, masih tersambung dengan Argi disebrang sana juga. Ia beranjak, berjalan ke arah mastafel untuk mencuci wajahnya sejenak. Argi meminta Dena jangan memutus sambungan teleponnya."Udah lebih tenang, Mbak?" tanya Argi dengan suara begitu lembut dan pelan."Iya, Gi," jawab Dena."Aku nggak akan larang Mbak Dena berbaik hati dengan Mas Tara, Mbak berhak untuk itu. Aku yakin kalau Mbak nggak akan mau kembali sama Kakakku itu, 'kan?" Dena tertawa pelan, membuat Argi juga menyunggingkan senyumannya di sana. "Ya... memang begitu, Gi. Kenangan pahit sama Tara nggak bisa aku lupain dan sangat membekas.""Dua bulan, maksimal, aku kasih kesempatan Mas Tara sadar kalau nggak ada harapan untuk kembali ke Mbak Dena. Mbak jangan khawatir hubunganku sama Kakakku itu ke depannya seperti apa. Kami akan baik-baik aja. Aku tau Mas Tara cuma penasaran, dan mau menghapus rasa sesalnya, tapi ya... kita berdua tau hal itu akan susah. Entah nanti siapa jodoh Mas Tara, yang pasti buka
Tara terus duduk termenung di meja kerjanya, bahkan sampai detik ini, jabatannya pun tak kembali seperti semula. Ia masih menjadi bawahan Bima--suami Tya. Tara galau, semua ucapan Dena benar-benar membuat tak bisa bergerak untuk mencoba dekat dengan sang mantan istri. Bagaimana jika memang pernikahan itu terjadi dan posisinya, Dena menjadi adik iparnya. Terlalu rumit, tapi terlihat jika Argi bersungguh-sungguh.Ketukan pada meja membuat Tara tersadar, Bima menarik kursi di hadapan Tara lalu duduk berhadapan dengannya. "Ada apa? Lo dari pagi terus bengong kayak gini?"Tara tersenyum tipis, "nggak papa. Ada apa, Bim. Apa ada yang harus gue siapin lagi? Permintaan lo untuk data pegawai kontrak, udah gue siapin, buat apa memangnya?""Lo kenapa? Nggak jawab pertanyaan gue. Dena mau nikah sama Adek lo? Itu bener?" Pertanyaan Bima membuat Tara menatap ke arah pria itu lalu menganggukkan kepala. "Yaudah lah... bukan jodoh lo emang, lo nggak perlu pusing atau merasa nggak nyaman. Argi dan Dena