“Papa Tampan!” Dhira spontan memanggil, ketika melihat Evan yang berjalan memasuki lobi apartemen.Renata yang sedang bertanya siapa pemilik unit miliknya, langsung menoleh ketika mendengar suara teriakan Dhira.Dharu juga langsung menoleh ke arah Dhira menatap, hingga Dharu tidak senang saat melihat Evan di sana.Evan menoleh ketika mendengar suara Dhira, lantas mengulas senyum ke gadis kecil itu. Dia pun mendekat untuk menyapa Dhira.Dharu terus menatap tidak senang, hingga menarik Dhira dan seperti ingin menyembunyikan adiknya dari Evan. Dhira sendiri langsung bisa menangkap sikap sang kakak, membuat Dhira menunduk karena menyesal memanggil Evan. Dhira takut jika Dharu marah, hingga akhirnya hanya menunduk diam.Renata terkejut dan sampai berdiri melihat Evan di sana, sedangkan Citra langsung tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala untuk menyapa, sebab Evan menatap ke arah Citra dan Renata.Renata melihat itu, hingga memandang Citra dengan rasa penasaran yang membuncah.“Bu, apa
“Mama, hujan!”Dhira berteriak dari kamar mandi, membuat Renata dan Dharu terkejut hingga langsung menuju ke kamar. Mereka syok melihat air dari kran yang rusak dan kini membanjiri kamar mandi.“Dhira ke sini, awas hati-hati,” kata Renata agar Dhira menyingkir.Dhira berjalan pelan dan hati-hati karena semburan air yang mengenai wajah. Tubuhnya yang telanjang kini basah kuyup, sehingga Dharu buru-buru mengambilkan jubah mandi khusus.Renata berusaha menutup kran air agar tidak terus mengalir, tapi ternyata tidak bisa hingga air terus menyembur.“Hujan di dalam rumah.” Dhira marah terlihat begitu senang.“Dharu, coba ke bagian kantor pengembang, minta untuk mengirim tukang,” kata Renata sambil menghindarkan wajah dari semburan air.Dharu mengangguk dan hendak menghubungi bagian kantor, tapi terdengar bel berbunyi, membuat Dharu bingung mau menghubungi bagian kantor atau membuka pintu.“Biar Dhira yang buka pintu.” Dhira berlari ke depan sedangkan Dharu mencoba menghubungi kantor aparte
“Kamu jahat, kamu menculikku!” Dharu terus berteriak dan memberontak karena diajak masuk paksa oleh Evan.Evan malah merasa geli karena Dharu sangat lucu dan menggemaskan saat marah. Dia meletakkan rantang yang tadi dibawa Dharu ke meja, kemudian mendudukkan bocah itu di sofa.Dharu memalingkan wajah, melipat kedua tangan di depan dada seolah dia sedang merajuk.“Dharu, aku hanya ingin menanyakan sesuatu. Jika kamu terus menghindariku, maka aku akan selalu berusaha untuk mendaktimu,” ucap Evan mencoba bersabar.Dharu masih memalingkan wajah, tidak mau menatap Evan.“Aku mau tanya sesuatu. Apa kamu membenciku?” tanya Evan yang berlutut di depan Dharu.“Ya,” jawab Dharu sedikit ketus.“Kenapa?” tanya Evan penasaran.“Kenapa tidak tanya pada diri sendiri,” jawab Dharu masih tidak mau memandang Evan.Sikap Dharu yang cuek dan juga sedang kesal seperti ini, membuat Evan semakin penasaran.“Aku benar-benar tidak tahu. Katakan apa kesalahanku dan aku akan mencoba untuk intropeksi diri. Jika
“Kenapa Dharu sangat lama?” tanya Dhira yang tidak melihat sang kakak kembali.Renata pun baru menyadari, hingga dia cemas. Lagian mana mungkin Dharu pergi bermain tanpa izin.“Biar mama cek ke sana,” ucap Renata.Renata memasak beberapa menu lauk, kemudian meminta Dharu mengantar makanan ke Evan sebagai tanda terima kasih. Renata hendak mengecek, tapi dicegah oleh Dhira.“Biar Dhira aja, Mama. Dhira sekalian mau lihat Papa Tampan.”Renata terkejut mendengar keinginan putrinya itu, hingga Dhira tiba-tiba saja berlari keluar sebelum mendapat izin.“Anak itu, dasar.” Renata menggelengkan kepala, tapi dia cemas hingga kemudian memilih membuntuti dan melihat dari pintu.Renata melihat Dhira yang sudah berada di depan pintu unit milik Evan. Gadis kecil itu melompat untuk bisa menekan bel, membuat Renata tertawa.Di sisi lain. Evan melihat dari monitor kalau Dhira sedang melompat dan memencet bel beberapa kali, membuatnya gemas karena tingkah lucu Dhira. Ya, meski dia tidak tahu harus baga
“Dharu, kamu tidak kenapa-napa?” Renata langsung mengecek tubuh Dharu untuk memastikan kalau putranya baik-baik saja.Dharu malah keheranan dengan sikap sang mama, hingga kemudian berkata, “Dharu baik-baik saja.”Renata bernapas lega melihat Dharu yang baik-baik saja. Hingga teringat Dhira.“Mana Dhira?” tanya Renata panik.Baru saja Dharu akan menjawab, terdengar suara Dhira yang berteriak dari dalam.“Dhira!” Renata panik dan langsung menyerobot masuk.Dharu terkejut dan geleng-geleng kepala, tampaknya paham kenapa sang mama sangat panik.Renata masuk dengan cepat mencari keberadaan Dhira, hingga dia melongo melihat Dhira dan Evan.Dhira dan Evan menatap bersamaan ke Renata yang baru saja datang, mereka juga bingung kenapa Renata memasang wajah panik.“Mama kenapa? Mau es krim?” tanya Dhira sambil menunjukkan es krim di tangan.Dhira berteriak karena diangkat Evan dan didudukkan di meja pantry. Evan sendiri sudah bisa menebak jika Renata pasti sudah berpikiran yang tidak-tidak.“Mau
“Apa maksudmu tidak yakin dengan wanita itu?” tanya Max yang baru saja tiba dan langsung pergi ke apartemen Evan.Evan mendesau dan terlihat bingung, hingga dia mengguyar kasar rambut ke belakang.“Entahlah, aku juga tidak tahu.”Max mengerutkan alis mendengar ucapan Evan, bagaimana bisa tidak tahu, jika dia sendiri yang berkata bimbang.“Sejak kapan kamu jadi plin-plan?” tanya Max menatap Evan aneh.Evan mengusap kasar wajahnya, kemudian berkata, “Apa kamu tidak bisa, jika tidak bertanya? Setidaknya dengar dulu ceritaku.”Max langsung mencebik mendengar ucapan Evan, hingga akhirnya memilih diam sambil bersedekap dada dan menatap Evan.“Lanjutkan, aku akan mendengarkan,” ujar Max pada akhirnya. Dia mengambil jeruk, mengupas dan memakannya sambil mendengarkan Evan.Padahal Max bukan seorang psikiater, tapi demi sahabatnya dia harus mau mendengar keluh kesah Evan.“Entahlah, Max. Aku juga bingung. Aku mencoba untuk menerima, bahkan aku sudah memiliki anak, lalu kemari dan meyakinkan jik
“Akhirnya aku bertemu denganmu. Aku takut salah alamat.” Renata tergagap dan tidak bisa berkata-kata, bingung saat melihat pria yang menunggunya, bicara dan kini berjalan ke arahnya. “Re, kenapa kamu hanya diam?” tanya Stef menatap heran, seolah Renata tidak senang dengan kedatangannya di sana. “Stef, apa yang kamu lakukan di sini?” Bukannya menjawab pertanyaan Stef, Renata malah melontarkan pertanyaan lain. “Kamu tidak senang?” Stef melihat ekspresi keterkejutan berlebih di wajah Renata. Renata tersadar jika reaksinya berlebihan, hingga dia pun tersenyum dan mencoba bersikap biasa. “Bukan begitu, aku hanya terkejut kamu tiba-tiba di sini,” ujar Renata sedikit canggung. “Ayo duduk!” Renata akhirnya mengajak Stef duduk. Mereka pun duduk bersama, Renata benar-benar merasa canggung karena sekarang status mereka sudah berbeda. Stef memandang Renata yang memang berubah, tidak seperti dulu di mana Renata lebih banyak bicara. “Apa kamu ada urusan di kota ini?” tanya Renata untuk sek
Renata terkejut mendengar semua ucapan Stef, tapi kemudian tertawa seolah sedang menganggap apa yang dikatakan Stef hanyalah sebuah candaan semata.Stef pun bingung kenapa Renata malah tertawa, ditatapnya wanita yang disukainya sejak kuliah hingga sekarang itu masih tertawa.“Kenapa kamu tertawa, Re?” tanya Stef keheranan.Renata berusaha menghentikan tawa, hingga menatap Stef yang terlihat serius. Dia menyadari jika apa yang dikatakan oleh Stef bukanlah sebuah candaan, tapi Renata tidak mau menebaknya terlebih dulu.“Candaanmu tidak lucu, jangan bercanda lagi,” ucap Renata kemudian mengambil cangkir teh miliknya dan berusaha untuk menghindari tataoan Stef.“Aku tidak bercanda, Re. Aku menyukaimu sejak dulu, apa pun yang terjadi kepadamu dulu, aku tidak peduli, karena bagiku kamu masih Renata yang akan selalu mengisi hatiku.”Renata berhenti minum, ditatapnya Stef yang terlihat begitu serius. Renata pun meletakkan cangkir yang dipegang di meja, kemudian menatap Stef.“Stef, ini tidak