Terry melepaskan pelukannya sebentar agar tercipta jarak diantara keduanya. Bocah laki-laki itu menatap Kai dengan lekat, lalu dengan cepat tangan mungil miliknya mencubit paha milik Kai. Kai meringis dengan aksi yang Terry lakukan padanya."Hei, kenapa aku malah dicubit?" Tanya Kai tak terima. Pria berambut pirang itu segera melepaskan cubitan Terry dari pahanya, lalu mengelus bekas cubitannya dengan perlahan sembari menggerutu kecil berapa menyakitkannya cubitan bocah kecil itu.Terry segera kembali ke sisi ibunya dengan wajah tertekuk, seperti baju yang belum di setrika. Terlihat gurat kecewa yang begitu kentara di wajah tampannya. Wajahnya terlihat layu, tak semangat seperti sebelumnya.Melihat hal itu, Terra segera menghampiri kembarannya sembari menatap Terry dengan mata berkedip lucu. "Kenapa kau terlihat marah?""Bukan apa apa. Ayo lanjutkan perjalanan kita sebelum kita terlambat," ujar Terry dingin, lalu berjalan lebih dulu, meninggalkan ketiganya yang menatap punggung kecil
Ivy berlarian di koridor TK tempat kedua anaknya bersekolah. Wanita beranak dua itu terlihat terkejut setelah mendapat telepon jika salah satu anaknya melakukan kekerasan di sekolah. Ivy bisa memperkirakan jika Terry lah yang mereka maksud, mengingat anak sulungnya itu memiliki sifat yang mudah marah apabila diusik.Ivy bahkan tak mempedulikan dirinya yang masih mengenakan apron berwarna coklat. Kebetulan, Ivy kini tengah bekerja paruh waktu sebagai tukang roti di salah satu toko roti yang cukup terkenal di New York.Ketika berada di depan pintu dengan tulisan "kepala sekolah", Ivy berhenti sejenak untuk menetralkan napasnya yang terasa memburu. Wajah gadis itu terlihat memerah dan penuh dengan keringat karena berlari dari jarak sejauh satu kilometer dari tempatnya bekerja. Tubuhnya terasa panas dengan detak jantung yang berdetak dengan cepat seolah akan keluar dari tempatnya.Setelah dirasa napasnya sudah tenang, Ivy mengetuk pintu tifa kali dengan pelan, seolah takut mengganggu or
"Kenapa kau mendatangiku?"Ben terkejut saat mendapat tamu yang tak terduga ketika dirinya tengah berjibaku dengan pekerjaan yang menumpuk akibat banyaknya tawaran kerjasama yang belum sempat ia periksa.Orang itu tersenyum tipis sembari menertawakan Ben yang mejanya sudah tak terlihat permukaannya akibat banyaknya tumpukan map yang harus ia tangani."Aku diperintahkan oleh kakakku untuk datang menemuimu," balas orang itu santai sembari melangkahkan kakinya menuju sisi sebelah kanan, tempat sofa berada. Tanpa disuruh duduk pun, pria itu langsung mendaratkan bokongnya di sofa berwarna hitam pekat yang begitu mewah dengan menyilangkan kaki, bergaya layaknya bos yang memimpin.Mata ambernya memindai ke seluruh ruangan yang cukup luas ini. Kesan minimalis namun berkelas tampak begitu kental ketika ia masuk. Ruangan ini juga cukup bersih dan rapi, tak seperti ruangan milik kakaknya yang selalu bertebaran kondom ataupun celana dalam milik para wanita yang ia sewa.Tak ada yang spesial sebe
"Ingatlah tentang file itu tuan Clayton. Aku harap anda tak lagi melakukan hal gila demi mendapatkan apa yang anda butuhkan. Jangan sampai tragedi mawar hitam kembali terulang untuk kedua kalinya," ujar Kai setelah sekian lama terdiam sembari menyunggingkan senyuman tipisnya. Pria dengan mata amber itu menikmati setiap detik perubahan ekspresi Ben yang saat ini bercampur aduk, dari marah, sedih, kecewa, bahkan putus asa. Entah kenapa, ada sensasi puas tersendiri untuknya."Baiklah. Aku juga tak ingin tragedi mengerikan itu akan kembali terjadi untuk kedua kalinya. Jangan sampai project kedua ini gagal hingga menelan banyak korban jiwa seperti tragedi mawar hitam dua tahun yang lalu," balas Ben menimpali perkataan Kai.Setelah memberikan bukti berupa selembar foto dan dua buah kertas yang diperintahkan oleh Jayden, pria berambut pirang dengan mata amber itu segera berdiri dari duduknya, lalu meregangkan tubuhnya sejenak, menghilangkan rasa pegal yang entah sejak kapan merayap pada tu
Setelah Kai keluar dari ruangannya, Ben terlihat termenung, memikirkan sesuatu yang berat yang menyita otaknya. Tumpukan map di atas meja tak ada satupun yang tersentuh , karena pikirannya sedang tak berada dalam pekerjaan saat ini.Ben menghela napas panjang, lalu sekali lagi melihat foto yang diberikan oleh Kai tadi. Mata coklatnya memperhatikan dengan seksama gambar yang tercetak di atas kertas itu. Mata Ben berkaca kaca dengan pikiran kalut luar biasa.Perasaan muak dan marah kini menyusup ke dalam hatinya, seolah siap untuk meledak kapan saja. Ben merasa jika hatinya terlihat melankonis saat ini, tapi ia tak peduli. Karena foto yang diberikan oleh pria bermata amber itu berhasil membuat dirinya rapuh, untuk kedua kalinya.Luka lama yang sudah payah ia sembunyikan kini terbuka lebar, dengan sayatan yang tak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Tangan besar milik Ben mengelus pelan foto itu sembari bergumam kecil."Andai saja kau tak menghilang dalam reruntuhan itu, aku pasti sudah
"Ivy kau dari mana saja? Mengapa baru kembali sekarang?" Tanya wanita berambut merah terang yang merupakan sahabatnya, sekaligus rekan kerjanya di supermarket dan toko tempat Ivy bekerja saat ini. Ia adalah Leanore.Mata biru Leanore memindai Ivy dari atas sampai bawah dengan teliti sembari menyilangkan tangan di depan dada, ingin mengetahui mengapa sahabatnya ini terlambat tanpa memberitahu alasannya terlebih dahulu atau paling tidak memberinya pesan.Ivy melirik Leanore dengan napas terengah-engah sembari menepuk dadanya yang terasa sesak karena ia harus berlari dalam jarak yang tak bisa dibilang dekat.Wajah Ivy terlihat memerah dengan keringat yang terus bercucuran dari dahinya, membuat pertanyaan Leanore pada wanita beranak dua itu terhenti. Wanita berambut merah terang itu merogoh sakunya, mengambil sapu tangan yang sering ia gunakan. Setelah itu, Leanore menyodorkan sapu tangan itu pada Ivy, yang disambut dengan sungkan oleh Ivy.Setelah keringat yang ada di wajahnya diseka, I
Terry mengernyitkan keningnya saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut pria yang merupakan bos ibunya. Tatapannya terlihat kebingungan. Ia melirik ke arah Terra dan saling bertatapan satu sama lain seolah tengah melakukan telepati."Um..kenapa anda menanyakan hal ini?" Tanya Terra dengan nada polosnya.Pria itu segera menyentuh rambut Terra dan mengusapnya dengan perlahan. Tak hanya itu, pria itu juga menjawil hidung milik Terry hingga membuat keduanya berkedip bingung."Karena aku ingin mengetahuinya, kid. Aku baru pertama kali melihat anak kecil yang berpikiran dewasa seperti kalian berdua," ujar pria itu sembari menyunggingkan senyuman tulusnya, yang sangat jarang untuk diperlihatkan pada orang lain.Semua karyawan yang ada di dalam dapur pun terdiam melihat tingkah bosnya yang terlihat tak biasa. Ivy dan Leanore bahkan sampai membuka mulutnya dengan lebar karena tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini.Apa bosnya ini tengah kerasukan jin penunggu toko? Begitulah
"Kalian darimana saja? Mengapa baru datang? Kalian tidak tahu ya jika perutku sudah berdemo sedari tadi minta di isi?!" Archer tertawa pelan mendengar gerutuan Jayden yang saat ini tengah mengeluh kelaparan. Pria berkulit Tan itu segera duduk di samping Jayden, sedangkan Ben duduk di kursi lainnya. "Kenapa kau tak memesan makanan duluan jika kau kelaparan?" Tanya Ben lalu mengambil buku menu untuk memilih makanan apa yang akan ia makan hari ini. Matanya dengan serius membaca satu demi satu menu makanan yang tertera di dalam buku menu. Tak jarang, pria itu juga membolak balikkan buku itu untuk mencari makanan yang sekiranya enak untuk mengisi perutnya.Jayden memutar mata malas mendengar pertanyaan itu. Tangannya mengepal hendak memukul Ben saat itu juga. Ia bersiap untuk melayangkan tinjunya pada Ben, andai tak ditahan oleh adiknya Kai yang tadi sibuk bermain game."Jika aku memesan makanan duluan, aku bisa membayangkan kau akan meledekku babi, Ben," sindir Jayden dengan nada peda