"Ya Allah gustiii, Nila sayang anakku, kenapa kamu, Nak? Siapa yang sudah berbuat seperti ini padamu?" Aku kembali terisak sambil menciumi wajahnya yang sudah dingin dan kaku.
"Ada apa, Bi?" tanya Sarah yang baru saja masuk dengan wajah cemas."Lihat ini Sarah, lihat ini, ada luka sayatan di perut sebelah kirinya Nila, tubuhnya juga penuh lebam, benar 'kan dugaan Bibi pasti ada sesuatu yang tak beres sudah terjadi.""Ta-tapi siapa yang sudah melakukan ini, Bi?""Mungkin saja suami dan keluarganya."Anak itu mengangguk ragu."Ada apa, Bu? Kenapa belum selesai juga memandikannya? Semua orang sudah menunggu itu." Bapaknya Nila datang."Lihat ini, Pak, lihat ini anak kita kenapa?"Kutunjukan luka panjang sekitar 15 centi meter itu pada suamiku.Sontak ia juga terkejut bahkan sampai harus membekap mulutnya sendiri sebab merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Ya Allah, Nila kenapa ini, Bu?""Ibu juga gak tahu Pak, pantas saja Ibu ingin sekali memandikannya, ternyata sesuatu memang sudah terjadi pada anak kita.""Nilaa, Naaak kenapa kamu sebenarnya? Ya Allah." Perih kudengar suaranya bergetar dan mengiris ulu hati. Perlahan suamiku pun ambruk di bawah tempat pemandian."Paman kenapa? Ayo bangun." Sarah meraih kembali bobot suamiku, lalu membawanya kembali ke dalam rumah."Ayo Bi, kita harus cepet mandiin Nila biar proses pemakaman segera dilakukan," kata Sarah saat ia sudah datang lagi."Tunggu dulu Sarah," ucapku, anak itu mematung sebentar."Ada apa, Bi?""Kamu bawa hp enggak?""Enggak Bi, kenapa?""Cepat ambil hp kamu, tapi jangan sampai ada orang yang tahu.""Tapi buat apa, Bi?""Bibi perlu ambil foto luka ini.""Udahlah Bi, jangan, kasihan Nila, Bi.""Gak apa-apa Sarah ini cuma foto lukanya saja untuk Bibi tunjukan pada kakaknya nanti, barangkali kita juga butuh suatu hari nanti, cepat ambil sana."Anak itu akhirnya bergerak tanpa bertanya lagi.--"Ni-Nila?" Aku tegagap ketika aku bangun sudah melihat Nila sedang terisak-isak di pojok ruangan.Tetapi tubuhku kaku tak bisa bergerak, padahal ingin sekali rasanya aku memeluk dan menghampirinya."Buuu." Nila mengangkat wajah lalu melambaikan tangannya. Sementara air matanya terurai deras membasahi pipinya yang pucat.Mulutku refleks menganga, tenggorokanku juga mendadak kering saat kulihat perlahan Nila menghilang di balik tembok."Ni-Ni-Nilaaa!" Aku berteriak kencang.Sontak suamiku dan Sarah datang membuka pintu."Bu, Bu sadar Bu, sadar ada apa?" Ia mengguncang kedua bahuku."Bibi nyebut Bi, nyebut," timpal Sarah sambil menyipratkan air ke wajahku, barulah setelah itu aku sadar sepenuhnya."Astagfirullah ya Allah." Kupegangi dada sekuat-kuatnya. Kuatur napas sebisanya."Ada apa, Bi? Bibi kenapa?" tanya Sarah lagi saat ia selesai memberiku minum."Ta-tadi ada Nila, Sar," jawabku lemas."Eh Bibi ini ngomong apa sih.""Iya Bu, kirain ada apa, bikin kaget aja orang-orang lagi pada tahlilan itu.""Apa? Tahlilan?" Aku terkejut."Iya tahlilan, tahlilan pertamanya Nila.""Ta-pi bukannya tadi kita lagi mandiin jenazah nya Nila, Pak?""Tadi Ibu pingsan, sekarang malah baru siuman.""Apa?" Aku terkejut, bagaimana bisa aku pingsan selama itu? Kupegangi kepalaku yang berat dan terasa semakin sakit ini."Iya Bi, tadi Bibi pingsan saat sedang memandikan jenazah Nila, kami tunggu sampai 2 jam Bibi tak kunjung sadar, karena kasihan sama Nila akhirnya terpaksa kami makamkan saja.""Ya Allah kok bisa kalian ceroboh seperti itu?""Ceroboh gimana, Bi?" tanya Sarah tak paham."Kenapa jenazah Nila tidak diautopsi dulu untuk barang bukti?" tanya frustasi sambil terus memegangi kepalaku yang terasa semakin berat."Istighfar Bu, barang bukti buat apa? Sudahlah kita ikhlaskan saja, anak kita sudah tenang jangan aneh-aneh autopsi segala, menyakiti mayit itu namanya," sahut suamiku lagi seraya bangkit dan kembali keluar."Tap-""Bener apa kata Paman, Bi, udah meningan sekarang Bibi istirahat dulu, selesai tahlilan Sarah bawakan Bibi makan," potong Sarah seraya kembali membaringkanku di atas kasur."Tapi Sarah autopsi harus tetep dilakukan supaya kita tahu penyebab kematian Nila." Aku bersikukuh meski anak itu tak menanggapi."Udah Bibi jangan mikir aneh-aneh, sekarang istirahat aja dulu," katanya kemudian. Anak itu pun kembali keluar."Ssssshh." Aku mendesah kesal, andai tadi aku tidak pingsan, mungkin sekarang aku sudah mengetahui apa penyebab kematian anakku.Kok bisa-bisanya aku pingsan? Perasaan tadi aku baik-baik saja dan kenapa ini kepalaku berat sekali?"Astagfirullah." Kuatur napas sebisanya, terlalu kecewa karena jenazah Nila dimakamkan tanpa autopsi dulu membuat emosiku naik.Akhirnya aku kembali memejamkan mata saja meski suara orang-orang yang sedang tahlilan luar sana lagi-lagi membuat air mataku luruh tak tertahan.Ya Tuhan sakit sekali rasanya hatiku, kupikir aku yang akan pertamakalinya ditahlilkan di rumah ini tapi ternyata tidak.Walau kematian adalah rahasia Tuhan, tapi entah mengapa rasanya aku masih saja tak terima jika anakku pergi dalam kondisi seperti itu.Masih kuingat jelas luka lebam dan sayatan pisau itu di tubuh Nila, entah itu luka bekas apa tapi yang jelas aku perlu mencari tahu bagaimanapun caranya.-Selesai tahlilan Sarah kembali masuk ke dalam kamar."Makan dulu Bi, nih Sarah udah bawakan Bibi makan," ucapnya seraya menyodorkan sepiring nasi dan kawan-kawannya padaku."Sar tunggu dulu, ini kamu udah kabari Mila belum? Jangan sampai adiknya meninggal dia enggak tahu.""Udah Bi, sekarang Mbak Mila lagi perjalanan pulang, Surabaya jauh Bi, butuh waktu apalagi kita kabari mendadak begini."Aku mengangguk dengan lemas, tapi tak apa, setidaknya Mila sudah dikabari soal kematian adiknya meski ia tak bisa ikut memakamkan.Mila adalah anak pertamaku, usianya hanya beda 2 tahun saja dari Nila, sudah 3 tahun ini dia ditugaskan kerja di Surabaya, karirnya termasuk bagus tapi sayang sampai sekarang anak itu belum juga menikah.Aku harap anak itu benar-benar datang kali ini, aku ingin meminta bantuannya untuk menyelidiki kasus kematian Nila yang menurutku masih hanyak kejanggalan ini.Pukul 10 malam aku masih termenung di kursi depan sambil memeluk lututku. Selain mataku yang tak kunjung terpejam lagi, aku juga sedang menunggu Mila datang.Akan langsung kuceritakan apa yang kulihat tadi, ada luka di sekujur tubuh Nila dan jenazahnya tidak diantarkan oleh keluarga suaminya yang bedebah itu."Hujan Bi, dingin," kata Sarah yang tiba-tiba datang dari dapur.Aku menoleh, wajahnya memang tampak pucat dan menggigil kedinginan."Ya ampun Sarah, ambil selimut di lemari Bibi dan tidur sana," sahutku tanpa beranjak dari kursi.Anak itu memang sengaja ingin menginap di sini untuk menemaniku katanya, karena bapaknya Nila seperti biasa, mereka melekan untuk menunggu makam baru sampai malam ke 3."Ayo tidur Bi, Sarah mau tidur sama, Bibi.""Bibi belum ngantuk Sar, kamu tidur duluan gih.""Jangan terlalu pikirin Nila, Bi."Aku mengangguk, anak itu pun beranjak pergi ke kamar.Dipikir-pikir, kenapa anak itu terlihat lemas sekali? Padahal kalau dia sakit tak usahlah dia menginap di
"Nila menangis dan melambai ke arah Bibi Sar, dia bilang sakit katanya.""Hah? Apa iya, Bi? Bibi cuma mimpi kali.""Iya, tapi mimpi itu kayak nyata Sar.""Mimpi cuma kembang tidur Bi, gak usah terlalu dipikirin."Aku mematung. Saat anak itu akan kembali tidur aku segera menariknya lagi."Sar, apa menurutmu orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong lewat mimpi? Atau ini memang hanya sugesti Bibi yang terlalu kepikiran aja?" cecarku.Sarah menggeleng ragu."Besok antar Bibi ke makam Nila ya Sar, tapi tunggu Mila datang dulu."Anak itu mematung tak menanggapi."Sar, kamu malah bengong sih." Aku menyikut lengannya."Eh i-iya Bi, Sarah sampe kaget," katanya tergagap."Kamu ini mikirin apa sih Sar?""Emm enggak Bi, tadi Sarah cuma lagi mikir soal apa yang tadi Bibi ceritakan, apa iya orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong?"Aku menggeleng tak paham, tentu saja, aku sendiri ragu menafsirkan mimpiku, di sisi lain aku melihat Nila tampak jelas sekali meminta tolong.Tapi di sisi
"Nomor teleponnya gimana? Emang kita punya nomor telepon Mila?""Coba minta ke si Sarah, Bu."Aku diam sebentar sambil kembali berpikir.Kalau aku minta nomor telepon sama Sarah, anak itu pasti akan tersinggung dan bertanya kenapa kami harus menelepon lewat telepon desa?Tapi kalau bukan dari Sarah dari mana lagi aku akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Gimana, Bu?" Suamiku bertanya lagi."Enggak, Pak, kita gak boleh minta nomor telepon Mila sama Sarah, anak itu bisa tersinggung, lagi pula katanya Sarah lagi sibuk bikin proposal malam ini, gak bisa diganggu."Suamiku termenung sambil memijit keningnya."Terus gimana, Bu? Kita khawatir di sini, Mila udah dua malam di perjalanan gak sampai-sampai, kita perlu bicara langsung sama dia supaya kita gak terlalu cemas."Benar juga kata suamiku, tapi bagaimana? Darimana kami akan mendapatkan nomor telepon Mila?"Apa perlu kita minta ke kantor desa, Pak? Barangkali disana Mila pernah mengurus surat-surat keberangkatannya ke Surabaya dia pasti
"Cuma dicas? Gak rusak?" Aku mengulangi.Suami mengangguk dengan tatapan serius."Tapi kata Sarah hape nya rusak Pak, makanya gak dipake dari dulu.""Ya ini hape nya baik-baik aja, tadi Bapak cuma disuruh ke conter aja sama Pak Tomo, katanya suruh beli kartu baru dan pasang di sana, nih kalau gak percaya Bapak mau telepon Mila, tadi Bapak juga udah diajarin gimana caranya nelepon sama Pak Sutomo di kantor bale desa," ujarnya lagi.Ia mulai memencet beberapa tombol hingga ponsel itu pun berbunyi menunggu telepon diangkat."Mana, Pak? Mila mana?" Aku tak sabar."Sabar dulu, tadi kata Pak Tomo sebelum ada bunyi hallo berarti belum diangkat, Bu."Akhirnya kami pun menunggu beberapa detik."Hallo." Suara Mila pun mulai terdengar di jauh sana. Aku dan suami sampai melonjak kegirangan."Ha-hallo, hallo hallo hallo Mila.""Ibu? Ini Ibu?""Iya, Nak ini Ibu, Ibu sama Bapak khawatir banget sama kamu, kamu masih di mana sekarang?" Aku langsung mencecaer karena sudah tak sabar lagi rasanya."Maksu
Mungkin saja apa yang diucapkan suamiku itu benar tapi entah kenapa lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.Tapi apa? Ah sudahlah, kenapa juga aku harus memikirkan masalah Sarah? Sekarang aku harus fokus pada masalah kepergian Nila yang masih banyak kejanggalan itu.Setelah Mila benar-benar datang, aku pasti akan menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat."Siapa yang berbohong, Paman?"Kaget bukan main saat kami lihat tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakang kami.Secepat kilat suamiku memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar."Eh Sar, kamu kirain siapa."Sarah mendekat lalu duduk di atas dipan bersamaku."Lagi pada ngomongin apa sih, Bi? Kok serius banget."Aku mengibaskan tangan."Ah bukan apa-apa, cuma ngomongin masalah buat tahlilan nanti malam aja, Bibi bingung masih belum punya apa-apa buat jamuan yang tahlil," jawabku sekenanya."Gak usahlah dipaksain kalau gak ada Bi, mereka ikhlas mendoakan Nila."Ak
Aku menganggukan kepala."Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.Sarah tersenyum."Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur. Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.-Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja."Kemana si Sarah? K
"Hah? Apa iya, Bi?" tanya Sarah tak percaya."Iya bener enggak tahu kenapa, apa mungkin karena kamu sahabatnya? kamu yang selalu bersamanya dan kamu yang selalu membantu kami selama ini? Jadi lah ia datang dengan rupa kamu."Sarah menelan salivanya."Tapi untuk apa Nila datang, Bi?" Dia bertanya lagi.Aku menggeleng kepala."Itulah Bibi juga enggak tahu, tapi kata paman mungkin Bibi hanya trauma jadi pikiran-pikiran itu memunculkan ketakutan dalam diri Bibi sendiri.""Iya bener, Bi, makanya Bibi harus ikhlaskan Nila, jangan sampai Nila gak tenang karena pikiran Bibi yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku tertunduk lesu, mendadak aku tak berselera menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Mila."Ya udahlah Bi, mendingan kita lanjutin aja persiapkan makanan buat Mbak Mila nya, yuk," ajak Sarah mencoba menghilangkan kesedihanku.Aku mengangguk dan kembali memegang sutil yang tadi kulepaskan itu.Selesai kami memasak Sarah juga sibuk membantuku menghidangkan
"Mbak Mila? Ya Allah Mbak apa kabar? Kapan datang?" Ia berbasa-basi."Baik, ini baru aja datang Sar." Mereka pun cipika-cipiki seperti biasanya."Ya ampun, Mbak Mila makin putih aja, makin cantik pula, hebatlah pokoknya Mbak Mila ini," kata si Sarah terkagum-kagum seraya meneliti diri Mila."Kamu ini bisa aja, padahal lebih cantikan kamu kemana-mana," balas Mila seraya mengibaskan tangannya.Kalau soal wajah aku setuju Sarah memang jauh lebih cantik, mirip bule tapi kalau soal penampian dan kebersihannya, sekarang anakku yang menang, ya maklum sih mungkin karena si Mila itu sering perawatan di sana."Mbak yang bisa aja, mana ada gadis kampung kayak Sarah ini cantik, jauh lah Mbak."Sarah dan Mila pun lanjut mengobrol, layaknya dua orang sahabat yang saling merindukan setelah sekian lama mereka bicara heboh sekali entah membicarakan apa, tapi kemudian ada juga saat mereka terisak-isak ketika membicarakan Nila."Dulu ... Nila suka menimbrung kalau kita lagi mengobrol begini ya, Mbak."