"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
BAB 1Pertemuan yang MenyesakkanSetengah berlari aku masuk ke ruang IGD rumah sakit. Kugendong Bintang--anakku yang berusia lima tahun sambil berteriak meminta pertolongan. Aku tak peduli malam begitu larut, hingga sebagian besar mereka nakes yang bertugas jaga terlelap di meja mereka masing-masing. Bahkan seorang perawat laki-laki berbadan tambun tertidur di kursi yang ditata hingga pas untuk menopang tubuhnya. "Anak saya kejang, tolong!" ucapku setengah berteriak. Mereka yang sudah terbiasa menghadapi peristiwa seperti ini dengan sigap meraih anakku dan membaringkannya di atas kasur pasien."Tenang, Bu. Ibu tunggu di luar," ucap seorang perawat dengan kerudung lebar menjuntai menutupi hampir setengah tubuhnya. Aku beringsut mundur, sadar diri kepanikanku membawa dampak buruk bagi mereka yang butuh konsentrasi tinggi saat memberikan pertolongan untuk Bintang. Aku menjatuhkan tubuhku di kursi tunggu berbahan stainless yang terletak di depan ruangan IGD. Panik, takut dan banyak seka
BAB 2Flashback Gemetar tanganku memegang benda persegi panjang berwarna putih. Garis dua yang menyembul di salah satu permukaannya seperti garis kematian yang terpampang nyata di depan mataku. Garis kematian yang akan membunuh cita-cita dan senyuman orangtuaku. Seolah tak bertulang tubuhku luruh di atas lantai kamar mandi yang setengah basah. Suara gedoran pintu dari ibu membuat kekuatanku yang semula raib kembali memenuhi setiap jengkal tubuhku. Aku tak mungkin terus-menerus seperti ini. Tak bisa kubayangkan wajah tua ayah setelah tahu anak perempuan kesayangannya melempar kotoran ke wajahnya seperti ini. "Apakah sekarang kau punya hobi mencari inspirasi di kamar mandi? Menatapi jentik-jentik nyamuk hingga khayalanmu mengubah mereka menjadi ulat sutera bernilai jutaan rupiah?" Suara sindiran ibu membuatku tersentak. Wanita yang entah kapan berkata manis padaku itu melotot seolah matanya hampir keluar. Aku terbiasa mendapati sikapnya seperti itu, apalagi setelah ayah telah memasu
BAB 3Kemarahan Rindu"Ma, Bintang nggak mau sama Mba Nini, maunya sama Mama." Anak lelakiku kembali merajuk, kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya saat aku tengah menyiapkan mobilku. Tubuhnya akan memeluk kakiku dengan erat, tak mengizinkanku beranjak sedikit pun. "Ma, Bintang ke sekolah sama Mama. Mama nggak boleh kerja hari ini," rajuknya dengan tangan makin erat memeluk kakiku. Jika seperti ini, aku luruh. Duduk di depannya. Menatap sepasang telaga bening milik separuh hidupku. "Mama harus kerja, kalau nggak kerja siapa yang mau bayar uang sekolah Bintang. Beli mainan Bintang, atau uang untuk jalan-jalan Bintang?" tanyaku berusaha berdiplomasi. Anakku tak mau menatap wajahku. Tentu saja aku tahu hatinya tengah bergejolak. Bintang anak yang cerdas, aku yakin dia akan paham jika kuberi pengertian seperti ini. "Tapi Bintang pengin ditemenin. Mama Rendra, Mama Tama, Mama Giska… mereka semua ada mamanya. Cuma aku saja yang sama Mba Tini. Mereka bilang Mamanya Bintang le
BAB 4 Kemarahan Rindu (2) "Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku? Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?" Kutumpahkan segala sesak yang kutahan bertahun-tahun. Lelaki yang segala kemarahanku bermuara padanya. Giandra, lelaki yang lebih percaya pada orang
BAB 5 Pertemuan Bintang dan Ayahnya Seolah tak mengenal lelah Bintang mengitari area mall ini. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Berkali-kali aku bertanya padanya, dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku agar mengikuti ritme berjalannya. "Kenapa? Mama capek?" tanyanya setelah melihatku bergeming di tempatku berdiri. "Bintang cari apa?" Anak lelaki memutar matanya sembari berpikir. Aku tahu dia tak benar-benar menginginkan mainan yang kujanjikan tadi pagi. Bintang hanya butuh momen seperti ini, berjalan-jalan menghabiskan sisa sore dengan ibunya tanpa harus berkali-kali menengok ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Sayangnya hari dan hati ini sudah lelah sejak pagi, sejak lelaki bernama Giandra itu dengan begitu lancang merusak semuanya. "Bintang cuma pengin jalan-jalan sama Mama seperti ini. Tapi kelihatannya Mama lelah?" Nada suaranya yang sendu membuatku tercubit. Aku tak boleh egois. Bintang layak mendapatkan haknya. Kuatur napas dan segera kusunggingkan senyum te
Pertemuan dengan Aluna"Wajahmu itu tidak bisa bohong. Kamu sedang tidak baik-baik saja." Satya mengurai kalimatnya yang pertama saat mobilku berada pada kendalinya. Aku memilih mengabaikan kalimatnya dengan memandang ke luar kaca mobil. Rintik-tintik hujan yang perlahan turun membuat suasana hatiku makin tak menentu. Entah apa yang sedang kurasakan, nyatanya semakin tenggelam menyelami rintikan hujan itu membuat jiwaku makin tersentil, seolah mereka tengah menertawakan kondisiku saat ini. Nyatanya hampir enam tahun ini aku menghilang dari kehidupan lamaku, rasa rindu pada sosok di masa lalu itu sering muncul. Dalam anganku, ingin sekali melihat sosok ceria yang hanya tahu bagaimana beratnya menggapai cita-cita. Gadis penuh semangat yang mendewakan senyum ayahnya. Rasanya sesak setiap kali mengingat akulah satu-satunya yang harus disalahkan karena gugurnya sosok Rindu yang dulu. "Aku tahu, ada banyak sesal yang ada di hatimu. Tetapi sampai kapan? Kumohon lepaskanlah semuanya, Rindu