Mata Fea membulat. Dia memandang Arnon yang menatap serius padanya. "Ar, kamu bilang apa? Kamu ga mau pergi? Kita sudah bersiap begini. Mama dan papa juga sudah nunggu. Kamu kenapa?" tanya Fea heran. Arnon melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Fea. "Pingin di rumah aja. Kamu secantik ini, aku ga mau ada yang menikmati kecantikan kamu. Biar aku saja." "Aah ... Arnon ..." Fea manyun seketika. "Kamu menggoda aku? Astaga ... Kupikir beneran." Arnon merangkul bahu Fea sambil tergelak. "Senang liat kamu cemberut, tambah cantik." "Apaan? Udah, ayo. Kita sudah ditunggu," ajak Fea. Arnon meraih tangan Fea dan menggandengnya. Mereka berjalan berdampingan turun ke lantai bawah. Di ruang depan Arnella dan Ardiansyah sudah menunggu. Mereka tampak bercanda dengan si kembar. Melihat Arnon dan Fea datang, segera mereka keluar rumah, menuju ke tempat parkir. Arnon dan Fea mengikuti di belakang. Mereka berangkat hanya dengan sat
Fea duduk dengan cepat. Dia turun dari ranjang dan membuka pesan dari Tinah. Lalu dia menoleh pada Arnon yang menunggu Fea menjawab pertanyaannya. "Oke, aku sebenarnya belum mau bilang, tapi ..." Fea melihat ke layar ponsel lagi. Dia sudah buka pesan itu, Tinah pasti menunggu jawabannya. "Aku balas Bu Tinah bentar, Ar." Fea mengirim pesan ke Tinah, dia akan menghubungi esok pagi dan mengatur lagi yang perlu dilakukan. Arnon masih menunggu. "Kalau aku bilang, please, jangan mikir apa-apa. Oke?" Fea memulai tapi berpesan lebih dulu. "Mikir apa memang? Kamu belum cerita juga. Kalau sudah tahu urusan, baru bisa aku mikir," tandas Arnon. Fea meletakkan ponsel lagi, duduk di sisi Arnon, di tepi kasur. Arnon tampak sudah mulai tegang. Keningnya sedikit berkerut menunggu Fea segera bicara. "Ada yang aneh di panti. Bu Tinah dan Dewi, anak perempuannya, curiga salah satu pegawai sedang berbuat hal yang keliru." Hati-hati Fea menyampaikan yang te
"Gimana, Bu?" tanya Arnon lagi."Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan, Tuan Muda. Hanya Herni saja. Sungguh, aku juga berharap yang lain punya hati bersih, ga gini. Satu orang saja sudah membuat aku sangat sedih, kuatir, dan juga takut." jawaban Tinah jelas, menyisakan rasa sesal di hatinya."Baiklah, Bu. Mudah-mudahan begitu." Arnon mengangguk." Mulai besok aku akan mulai bergerak. Kuharap ini tidak berlarut-larut.""Terima kasih, Tuan Muda. Minta maaf jika aku dan putriku merepotkan," tandas Tinah."Jangan sungkan, Bu. Aku senang justru Ibu berani mengungkapkan ini," kata Arnon.Pertemuan online selesai. Arnon langsung menghubungi orang kepercayaanya untuk berkonsultasi. Apa langkah yang bisa dia lakukan, butuh waktu berapa lama. Arnon meminta diatur orang yang bisa memantau pergerakan Herni di luar panti. Dengan siapa dan di mana. Lalu orang itu pun perlu diikuti untuk memastikan dia berfungsi sebagai apa dalam hubungannya dengan Herni.
Sherlita tedengar sangat tegang dan cemas. Otomatis Fea terpengaruh. Apalagi sebelumnya dia mendapat kabar juga dari Tinah tentang surat perjanjian yang membuat dia terkejut. Hati Fea makin tidak karuan."Kenapa, Sher? Jangan buat aku bingung." Fea mengganti panggilan suara ke video."Fea, bukti sudah nyata. Temanku bersama beberapa orang lain, mereka berhasil menelusuri, anak-anak itu ada yang dibawa ke luar pulau. Mereka dijadikan obyek untuk mendapat keuntungan sekelompok orang." Sherlita memandang Fea dengan geram."Keuntungan gimana?" tanya Fea."Dijadikan pengemis atau diajak mengemis." Dengan nada kesal Sherlita menjawab."No, Sher, yakin?" Fea setengah melotot memandang Sherlita."Bukan anak dari panti itu saja. Ternyata mereka ambil dari panti di kota lain juga. Ini jaringan besar sepertinya., Aduh, Fea, aku ngeri!" Sherlita menggeleng keras dengan emosi makin meluap."Ya ampun ... jadi Bu Herni ...""Ya, itu yang aku
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t