Hari Selasa.
Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.
Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”
“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.
“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”
Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan
Aku berhenti merenung setelah melihat kilasan cepat yang mematikan.Kejadian itu berlangsung di persimpangan Area 3 Distrik Lockwood. Tak ada kendaraan di sekitar. Lampu lalu lintas juga menunjukkan warna hijau. Jadi, kami melaju dengan kecepatan yang sama mengikuti mobil Lockwood.Dan tiba-tiba mobil hitam muncul tanpa diundang. Jenis mobil sedan umum yang biasa digunakan untuk wisata keluarga. Hanya saja, dengan jenis kaca hitam legam—paling ilegal untuk digunakan pada kendaraan. Mobil itu datang dari sisi kanan, menerjang tepat ke bagian tengah mobil Lockwood.Maka di depan mataku, kedua mobil bertabrakan dengan kecepatan tinggi. Suara benturan terkesan fiktif, dan aku melihat kedua mobil saling tolak-menolak karena tumbukan lenting sempurna. Aku tahu Bu Hiroko juga terkejut karena kami sama sekali tidak mengeluarkan suara—bahkan sekedar helaan napas.Harapan hidupku mengatakan aku harus membantu Bu Hiroko menginjak rem. Namun, Bu Hir
Aku akan mengungkap satu rahasia besar: Rumah Pohon dulunya tempat persembunyian ayahku dan Erwin Hood. Kakak bilang, Erwin Hood memberi akses khusus agar Rumah Pohon hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Maka jelas, kakakku salah satunya. Dulu aku tidak memusingkan itu. Namun, setelah kakakku pergi dan aku tidak bisa kembali ke rumah, aku mulai memikirkan bagaimana cara mengaksesnya—dan ternyata sudah sejak lama Erwin Hood memberi kode akses padaku. Dia pernah memberiku hadiah kartu dengan susunan angka layaknya kata sandi. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk sadar bahwa itu kode akses.Maka dua tahun setelah kakakku tewas, aku mulai tinggal di Rumah Pohon.Louist tidak berniat tinggal satu atap denganku, dan aku juga tidak berniat. Dia hanya mengambil barang-barang penting seperti ranjang atau semacamnya.Maka bagian normal yang tersisa dari Rumah Pohon hanyalah tiga ruangan kecil: ruang tengah sekaligus dapur, ruang kerja, serta kamar mandi. Rua
Keesokan harinya, aku terlambat, itu wajar.Teman-teman kelasku mulai melontarkan isu kecelakaan di Area 3 Distrik Lockwood, kuakui itu wajar. Beberapa orang mulai mengucapkan bela sungkawa, lagi-lagi itu wajar. Tidak ada yang membicarakan bahwa itu Rena Lockwood, yah, itu wajar. Jasadnya terbakar. Aku cukup memerhatikan kelas pra-kalkulus, sepertinya itu wajar. Namun, ketika aku menoleh ke bangku belakang, mendapati bangku itu kosong, aku tahu itu janggal. Dia tidak lagi di sana.Maka di periode keenam, kejanggalan itu mencapai puncak.Seluruh murid dikumpulkan di aula. Hampir tiga ratus orang berkumpul di satu tempat dengan suara gaduh yang tumpang tindih. Aku duduk di kursi belakang, melihat podium di bagian panggung. Itu membuat beberapa orang bergumam penuh kecurigaan sampai Kepala Sekolah kami yang berjanggut putih naik ke podium. Sejujurnya kami jarang mendapati Kepala Sekolah di area sekolah. Dia terlalu sering kunjungan dinas sampai tidak di
Aku membawa kasur lipat, bantal, selimut, peralatan mandi, seperti handuk yang jauh lebih lembut dari milikku, sabun, sampo, kondisioner dan berbagai jenis kebutuhan primer yang setidaknya dibutuhkan perempuan seusiaku ke meja konter. Kurang lebih Kakek menganga tidak percaya. “Ini untuk gadis, Nak.”“Aku tahu. Berapa harga semua ini?”“Kau menghabiskan uang peninggalan orang tuamu.”“Katakan saja berapa, Kek.”Kakek mengambil katalog harga, memeriksa satu per satu barang. “Aku tidak percaya saat Laura bilang kau membawa gadis ke Rumah Pohon. Jadi, itu benar? Kau punya pacar baru?”“Bisa dibilang begitu.” Aku sibuk menghitung uang di dompet.“Ini hadiah untuknya? Kau tinggal bersama dengannya?”“Aku takkan memberi hadiah dari Kawasan Normal.”Kakek mengerutkan kening. “Kenapa?”“Sebenarnya aku menculik cewek
Aku menghabiskan sepanjang malam di toko kelontong, menemani Louist yang membaca buku KUPAS HABIS HATI PEREMPUAN dan aku mengomentari sikap tak terduga itu sepanjang berada di sana. “Kau mau bermain cewek?”“Kurasa kau harus pulang sekarang,” katanya.“Kau mengusirku?”“Kau harus memastikan jasadnya sekarang.”“Itu hal mengerikan ketujuh yang kudengar hari ini.”Namun, aku sepakat dengan itu. Maksudku, aku harus segera pulang karena hanya ingin mendinginkan kepala di sini. Jadi, begitu menyelesaikan urusan ini-itu—bercanda dengan Kakek dan Louist—aku kembali ke Rumah Pohon.Maka kudapati Rumah Pohon gelap, seperti aku meninggalkannya di hari-hari normal. Aku menyalakan lampu, dan menyadari kasur lipat dan barang-barang yang kubeli lenyap tidak berbekas. Terakhir kali aku meninggalkannya, semua itu berserakan, tetapi kini, barang-barang itu menghilang.Aku me
Itu pertama kali aku terbangun bukan karena mimpi buruk atau alarm, tetapi karena wangi masakan. Aku tidur di ruang tengah—berbagi ruangan dengan dapur, berlapiskan kasur lipat dan selimut beraroma kapur barus. Belum sempat membuka mata, seseorang sudah berteriak di telingaku.“BANGUUN, TUAN MAJIKANN!”Aku membuka mata, tetapi rasanya lengket. Jadi, aku mengembalikan fokus dan berusaha melihat jam. Sayangnya, Rena menutup seluruh jarak pandang karena dia benar-benar, secara teknis, di depan mataku. “Ah, kau bangun!” serunya.“Pemandangan indah di pagi yang cerah,” sambutku.“Aku yakin kau melihatku sepanjang malam karena kau benar-benar tidak bisa bangun kecuali dengan ini.” Dia tersenyum di depan mataku. “Selamat pagi, Charlie. Mimpi indah semalam?”“Lebih indah saat membuka mata.”“Ya, ya, aku suka pujianmu.” Dia beranjak. “Cuci mukamu. Kau seri
Suasana Akademi Grinover masih diselimut duka. Jadi, tidak ada hal berarti yang terjadi selain sorot kebencian padaku yang semakin menguat. Aku dan Bu Hiroko sepakat tidak akan saling bicara selama beberapa waktu ke depan. Barangkali tidak ada yang mengira kami terlibat dalam kecelakaan, tetapi ketika kami bertemu, kami pasti tidak akan bisa menahan keinginan membicarakan kasus. Dan, ya, tentu saja itu pertama kalinya aku menjalani hari tanpa berkelahi.Aku sempat berselisih jalan dengan Regan Reeves. Raut wajahnya pucat, sorot matanya mati, jadi aku tahu dia hanya tidak menyadari keberadaanku. Tidak ada kejadian berarti yang membuatnya harus mencekikku karena aku tahu dia masih terbayang akan kematian Rena. Mengingat sebagian besar waktuku di sekolah juga selalu mengikuti Rena, kegiatanku jadi tidak terlalu berarti.Barangkali kejadian yang bisa kunikmati hanya periode fisika dari Sir Bram. Dia salah satu dewan guru yang tidak terlihat memberikan sorot kebencian, jadi
Sore itu, aku duduk di pinggir lapangan utama Akademi Grinover, tepat di bawah pohon ek. Ada pertandingan sepak bola antara Akademi Grinover dengan sekolah lain. Sebenarnya aku tidak terbiasa melihat sepak bola, tetapi angin sore itu terasa hangat. Jadi, aku tidak ingin kehilangan momen bersama angin.“... Kejar! Rebut bolanya!”Mereka cukup tangguh. Maksudku, tim musuh. Badannya relatif kekar, dan, anehnya, lincah. Sungguh tidak adil. Sebenarnya aku netral, aku tidak mau menjadi pendukung Akademi Grinover, apalagi musuhnya, tetapi saat kulihat Regan Reeves di lapangan, aku langsung memihak oposisi. Jadi, wahai musuh, berjuanglah. Kalau perlu, sikat habis saja bajingan berotot itu sampai babak belur.Pertandingan mulai sangat seru ketika pemain lawan berhasil lolos. Umpan jauh dilambungkan, dan pemain depan itu melesat cepat menjemput bola. Pemain belakang Akademi Grinover kacau. Salah satu dari mereka berlari mengejar bola. R