13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.
Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.
“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”
“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.
“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Aku ingat itu hari paling mencekam sepanjang hidupku.Kakakku, dikelilingi banyak orang seperti penjahat di film bandit. Kekar, raksasa, penuh otot dengan topeng tanpa wajah. Lengan dan kepalanya ditahan kuat. Dia memberontak, kelihatan penuh tenaga, tetapi tidak berdaya.Kakakku tampaknya tahu apa yang akan terjadi. Dalam jarak yang jauh untuk saling menggapai, dia menemukanku—berdiri kaku tidak mampu bergerak. Sensasi air mata seperti mulai mendesak mataku. Aku tahu dia menatapku dalam jarak ini.Dan dia berteriak, dengan suara yang begitu parau.“PERGI! BUAT APINYA MEMBARA DI KOTA KERTAS INI!”Dia menangis. Air mata membuatnya terlihat begitu jauh. Itu bukan lagi sorot sengsara. Itu sorot penuh harap, seperti percaya padaku.Dan yang kuingat, aku berontak. Aku memang pergi, tetapi aku kembali ke arahnya. Aku berpikir bisa membawanya pergi seolah aku yang terkuat. Namun, itu naif. Belum sempat aku berlari, seorang wanita
Saat itu Desember 2017.Distrik Lockwood baru terbentuk, tetapi sudah hampir menguasai seluruh Sandover. Itu tiga bulan setelah kematiannya, tiga bulan setelah hidupku hancur, tiga bulan setelah aku berusaha bertahan hidup di Kawasan Normal—menumpang makan di segala tempat, tidur di tengah hujan deras atau terik matahari, dan seorang diri layaknya penderitaan tiada akhir. Aku merasa semua ini sudah tidak ada artinya. Maka di tengah hujan deras itu, aku duduk di ayunan yang terlantar dan mulai memikirkannya. Pilihan yang lebih baik untukku: pergi menyusul kakakku.Dan dia di sana. Louist Hood. Berdiri di tengah taman yang penuh lumpur. Di tangannya terdapat rangkaian besi—yang agaknya seperti rakitan aneh. Kami bertemu pandang. Dan aku ingat hanya menatapnya kosong. Dalam suatu masa yang membuatku sulit memerhatikan, tiba-tiba dia sudah menghampiriku, berdiri sangat dekat dengan mata hijau cerah yang tajam.“Kau Charlie Redrich. Putra Lewi
Aku sempat berdebat kecil dengan Louist karena melakukan rencana gegabah—masuk ke Akademi Grinover—jadi kupikir kami akan mengakhiri itu dengan adu tonjok, tetapi tidak kusangka ternyata Louist mengerti.“Kau idiot. Jadi, jangan melakukan kesalahan sedikit pun.”“Yang tidak sekolah biasanya lebih idiot,” balasku.Jadi, waktu itu hari Senin. Aku sempat berpikir tidak akan menghadiri upacara penerimaan, tetapi di sanalah aku. Berdiri di depan gedung Akademi Grinover yang kelihatan jauh dari bayanganku. Barangkali aku terkagum-kagum dengan kebodohan Lockwood. Maksudku—iya, ini akan terdengar kurang ajar, tetapi wujud Akademi Grinover sulit untuk kupercaya.Aku berusaha berpikir wajar melihat air mancur memiliki relief bertuliskan Lockwood. Maka seharusnya bukan hal aneh melihat jalan terlihat bak trotoar dengan lampu-lampu khas mirip lampion. Dinding sekolahnya berlapiskan marmer putih. Nuansa kelasnya mirip teater&m
Bu Hiroko memiliki kelas yang harus dia masuki di periode setelah istirahat makan siang. Jadi, kelas konseling dimulai seusai jam sekolah. Aku duduk di sofa ketika mendapati guru pra-kalkulus melewati tempatku duduk.“Senang melihatmu mendapat bimbingan, Redrich.”“Bisakah Bapak Tua sopan pada murid bimbinganku?” sergah Bu Hiroko.“Apa?” Dia menyalak Bu Hiroko.“Ada berbagai alternatif sapaan yang bisa dikatakan pada murid baru, yang secara kebetulan mendapat masalah karena kakak kelasnya yang kurang ajar. Jadi, bisakah seorang guru memerhatikan cara bicara pada muridnya?”“Itu membuktikan dia tidak pantas bersekolah—”“Itu dia. Bisakah kita tidak membedakan murid Akademi Grinover?”Mereka saling membalas, dan dalam kurun tiga menit, aku merasa canggung dengan bulu kuduk aktif karena menjadi topik perdebatan dua dewan guru. Dan Bu Hiroko menang karena lawan
Aku tahu bayangan itu tidak bisa pergi karena pada senin malam, aku kembali mengalami mimpi buruk yang luar biasa mengerikan. Kakak berdiri menungguku, lagi-lagi dengan kepala penuh darah. Aku tidak ingat apa yang terjadi, tetapi tepat sebelum terbangun, aku merasakan sesak yang luar biasa sampai napasku tertahan.Maka begitu aku terbangun, benakku segera kacau sejadi-jadinya. Napasku kacau dan seluruh tubuhku sudah diselimuti keringat. Jantungku berdebar-debar sampai gemetar menguasai seluruh benakku. Lagi-lagi dan lagi. Aku selalu tidak bisa mengakhiri mimpi tanpa air mata. Rasanya aneh, sesak, dan menjengkelkan dalam satu waktu. Mengapa Kakakku selalu kembali?Aku ingat suara terakhirnya. Kota Kertas. Dan satu-satunya yang kutahu tentang itu hanya permainan VR yang dikembangkan Erwin Hood. Permainan simulasi kehidupan yang tokoh utamanya merupakan anak petani, hidup di desa terpencil sampai akhirnya merantau ke kota yang ternyata penuh pelik. Gabungan misteri dengan