Yudha kembali meraih bibir itu, memagutnya dengan penuh gairah dan sama sekali tidak memberi ampun Karina yang nampak melawan. Entah kenapa gairah Yudha begitu meledak saat ini, terlebih bagaimana tadi Karina nampak menggodanya dengan segala macam pembahasan konyol mereka.
"Mas! Jangan di sini!" Karina mendorong wajah itu ketika ia berhasil melepaskan bibir.Yudha bangkit, menarik tubuh itu bangun lalu menyeretnya masuk ke toilet yang ada khusus untuknya di ruangan itu."MAS, NGAPAIN?!" Karina berteriak panik, ia tahu betul kalau suaminya ini tidak pernah main-main dengan apa yang dia katakan.Benar saja, Yudha menutup pintu kamar mandi, bergegas memepet tubuh itu hingga terhimpit antara tubuhnya dan tembok kamar mandi. Mendadak Karina seperti kehabisan napas, dadanya sesak. Apalagi sedetik kemudian Yudha kembali memagut bibirnya, menyesap bibir itu tanpa ampun."Mas, please! Jangan di sini!" Karina mendadak begitu takut, matanya meme"Karina?" Tampak lelaki dengan lesung pipit itu tersenyum, ia lantas meraih dompet milik Karina, berdiri tegak dan menyodorkan balik benda itu. "Milikmu!" Ujarnya santai lalu membalikkan badan dan berdiri tepat di depan kasir. "Mbak sekalian sama punya temen saya ini, ya!" Desisnya yang langsung membuat Karina terbelalak. "Baik, Kak. Mau pakai pin a--.""Eh jangan, Mbak! Saya bayar sendiri saja!" Potong Karina cepat. Ia hendak menerobos ketika tangan lelaki itu menghalangi Karina mendekati meja kasir. Lelaki itu hanya tersenyum sambil menggeleng, lalu kembali serius pada karyawan cafe yang nampak bingung itu. "Pakai tanda tangan, jadikan satu saja struk-nya!" Titahnya tegas yang langsung direspon sang karyawan."Kenapa jadi kamu yang bayar sih, Bang?" Karina mencebik, dia punya duit kok! Banyak malah! Ya walaupun duit itu punya suaminya, tetapi ini hak Karina! "Memang kenapa? Suamimu melarang aku mentraktir istrinya
"Mmm ... Permisi, Bang!" Karina menarik tangannya yang di genggam Brian.Sebuah petaka akan muncul jika ada sejawat suaminya atau bahkan suaminya sendiri yang melihat tangan itu menggenggam tangan Karina di atas meja seperti barusan. Meskipun hanya beberapa detik, tetapi ini tetap tidak etis!Karina bukan wanita lajang lagi! Dia sudah bersuami!Nampak sosok itu menghela napas panjang, nampak menganggukkan kepalanya dan tersenyum melihat bagaimana Karina menolak dirinya."Kau beneran cinta sama dia, Rin?"Apa-apaan ini!Karina rasanya hendak bangkit dan pergi dari kursinya. Namun itu kekanakan dan malah akan membuat Brian makin penasaran kepadanya. Terlebih nanti dia akan koas di rumah sakit ini, yang mana Karina tidak hanya akan intens bertemu Brian, tapi mungkin juga dapat satu shift jaga malam bersama lelaki ini. Jadi rasanya daripada mendadak kabur tanpa menjelaskan apapun, lebih baik Karina menjawab sebuah pertany
Karina melirik arloji yang juga merupakan pemberian Yudha. Kenapa lama sekali? Karina meletakan novel yang sejak tadi dia baca. Lama-lama jenuh juga menanti seperti ini. Karina merogoh ponselnya, berusaha menghubungi sang suami meskipun dia tahu kalau benar Yudha masih berperang di dalam sana, panggilannya ini tidak akan direspon. Karina masih menanti. Menikmati bunyi tutt ... tutt itu seraya bersandar di kursi. Apakah benar Yudha masih sibuk di dalam sana? Akan sangat egois sekali kalau karina menganggu Yudha yang tengah berkerja. "Kemana sih, Mas? Kok lama?" Karin mendesah perlahan. Ia hampir saja memutuskan untuk mengakhiri panggilan ketika ternyata panggilannya terjawab. "Rin, aku lupa bilang. Kamu balik sendiri dulu, ya? Maaf tadi nggak ngabarin kamu." Jelas suara itu yang kontan membuat Karina membelalak terkejut. "Bentar!" Karina mendadak merasa hatinya hampa. "Mas di mana?" Tentu itu yang Karina tanyakan. Dia standby di depan OK saat ini! Menant
Karina tidak mau melepaskan tangan Yudha yang tengah menyetir itu. Menyandarkan kepala dengan begitu manja di bahu Yudha tanpa bersuara. Suasana hening karena baik Yudha atau Karina sama-sama tidak mau bersuara, hanyut dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Mas ...." Panggil Karina kemudian, matanya melirik wajah Yudha yang nampak datar menatap ke depan. "Iya, Rin? Kenapa?"Sebuah jawaban yang membuat Karina mencebik, Karina mempererat pelukan tangannya. Bahu Yudha memang luar biasa nyaman dan Karina suka bersandar di sini. "Mas belum jawab pertanyaan aku, Mas." Gumamnya lirih, tentu Karina harus tahu kenapa Yudha lebih memilih pergi daripada masuk dan meminta penjelasan kepadanya tadi. "Yang mana? Kamu tanya banyak banget tadi." Jawab Yudha santai. Karina mengangkat kepalanya, melepaskan pelukan tangannya lalu menoleh menatap Yudha yang fokus di belakang kemudi. "Ya Karina mau Mas Yudha jawab semuanya, Mas. K
"Mas! Seriusan aku nggak mau kalau lima!"Karina keluar dari mobil, mereka sudah sampai di rumah dan obrolan mereka masih sama, membahas jumlah anak yang hendak mereka miliki. "Kalau Yang Di Atas kasih kita lima, kamu mau apa, Sayang?" Dengan santai Yudha menoleh, membuka pintu rumah dan melenggang masuk ke dalam. Karina mencebik, ikut masuk mengejar langkah suaminya itu. "Kalau bener lima ya aku mau mukulin bapaknya ini!" Jawab Karina tak kalah santai, jawaban yang lantas membuat Yudha menghentikan langkah dan menoleh ke arah sang istri yang mulai mengikutinya menapaki anak tangga. "Apa tadi, Sayang?" Tanya Yudha sekali lagi, berharap dia salah dengar. "Kalau bener lima, aku mau mukulin bapaknya ini!" Kembali jawaban itu yang keluar dari mulut Karina, ditambah pelototan mata gemas dan wajah cemberut. Yudha tertegun, sedetik kemudian ia meraih tubuh Karina, membawanya dalam gendongan dan kembali menapaki anak tangga.
Kelvin mendesah, menutupi wajahnya dengan tangan lalu bangkit dari ranjang mess yang dia tempati selama dia dinas di sini. Dia sudah pulang jaga dan langsung dipusingkan dengan curhatan Brian perihal sang adik, siapa lagi kalau bukan Karina? Kelvin menatap nanar bingkai foto keluarga mereka yang sengaja Kelvin tempel di tembok. Foto dia, Bang Kefas dan istrinya, mama-papa dan tidak lupa Karina yang saat foto di ambil masih mahasiswi Fakultas Kedokteran semester satu. Di mana saat itu hanya Karina yang tidak pakai snelli. Agaknya setelah ini foto itu harus Kelvin ganti. Keluarga mereka sudah bertambah seorang, siapa lagi kalau bukan suami Karina? Mendadak Kelvin mengumpat, itu artinya dari semua yang ada di foto itu, tinggal Kelvin sendiri yang masih jomblo?"Ya Allah, punya adek satu aja nggak ada akhlak!" Gerutu Kelvin kesal. Tentu dia tahu, setelah ini tekanan keluarga melalui pertanyaan 'kapan nikah?', 'calonmu mana, Vin?' akan semakin kuat dan meraja
Karina mengerjapkan mata, lengan dan tangan Yudha begitu berat dan erat memeluknya. Dengan susah payah Karina membuka mata, mendapat tubuhnya tampak begitu kecil dan mungil di dalam pelukan Yudha. Senyum Karina tersungging, tangannya terulur mengelus rahang dan pipi itu. "Semenyebalkan apapun kamu, nggak tau kenapa aku kok bisa sayang banget sama kamu, Mas?" Bisik Karina lirih, matanya menatap wajah Yudha yang begitu damai tertidur di balik selimut. Cinta dan benci itu beda tipis, sebuah hal yang Karina sadari dan alami saat ini. Bagaimana dari kebencian Karina yang teramat sangat pada lelaki ini, berubah drastis menjadi sebuah perasaan cinta yang teramat sangat juga. Karina mencoba melepaskan dirinya, gesekan kulit polos mereka sebenarnya begitu nyaman, hanya saja rasa lengket yang ditimbulkan dari aktivitas fisik mereka tadi membuatnya gerah dan sedikit tidak nyaman. "Mas lepas!" Rengek Karina ketika tangan Yudha malah mempererat pelukan itu
Heni tertegun, sosok itu nampak memandanginya dengan saksama. Ini makhluk dari mana? Kenapa ganteng sekali? Heni membeku di tempatnya sampai kemudian lelaki itu mengibaskan tangannya di depan muka Heni. "Dek? Kenapa?""Ah ... Ng-nggak, Mas. Nggak apa-apa." Desis Heni sambil nyengir menahan malu, entah mengapa rasa pedih dan sedikit nyeri di beberapa bagian tubuhnya lenyap seketika. "Serius? Nggak ada yang sakit?" Mata itu membulat, sebuah pemandangan luar biasa Indah di mata Heni. "I-iya!" Jawab Heni dengan wajah memerah dan hati berdesir. "Kau itu! Hati-hati dong! Untung tadi aku bawa mobilnya pelan, coba kalau kenceng! Nggak bisa bayangin aku gimana nanti nasib kamu!" Omel lelaki itu yang sontak melunturkan rasa kagum yang ada di hati Heni. Heni membelalakkan mata, kenapa jadi dia yang disalahkan? Perasaan Heni tidak melanggar lampu, rambu apapun. Dia juga dalam kecepatan stabil dan sedang. Bukan salah dia dong! Pasti lela