Mobil Damian sampai di depan kantor, Rudi juga para pekerja lainya langsung menyambut kedatangan mereka. Aslan yang melihat Rudi dari dalam mobil begitu kesenangan saat lelaki itu membuka mobil Papanya.
"Om Rudi!"
Aslan berteriak heboh, yang membuat sekertaris Damian itu tersenyum masam saat melihat anak jelmaan bosnya itu ikut datang.
Rudi membukakan pintu mobil untuk Aslan, dan dengan cepat Aslan turun memeluk kakinya dengan erat. Rudi bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi, habislah sudah riwayatnya hari ini.
"Eh ... anaknya bos datang."
"Gantengnya, makin gede makin cakep yah."
"Mirip Bapak Damian banget kan?"
"Iya, duh ... semoga gua nanti punya anak seganteng itu."
Damian mendengar kasak kusuk karyawan yang membicarakan Putranya. Jelaslah, bibitnya yang satu ini m
Mobil yang dipakai Naya telah sampai dengan aman di depan kantor Damian, pria tua atau supir pribadi Axel langsung pamit pergi lantaran harus menjemput anaknya di kampus. Naya masuk ke sana sendirian sembari melihat ke sekeliling kantor itu. Semuanya banyak telah berubah, beberapa karyawan yang dia kenal kini telah dipindahkan pada anak perusahaan lainnya, semenjak dia mengandung Aslan, kakinya sudah tidak menapak di perusahaan Damian, dan ini untuk pertama kalinya dia datang dan itu terasa sangat asing baginya. Dulu, dia akan dibawa oleh Damian sekedar formalitas atau memberitahukan kepada semua orang bahwa dia telah menikah dan memiliki istri. Sekarang juga, dia datang sebagai istri Damian tetapi, tidak ada pria itu di sampingnya untuk sekedar memperkenalkan atau memeluk pinggangya.
Sebuah pesan masuk dalam ponsel Damian, rupanya itu dari Rudi yang memberitahukannya tentang kedatangan Nayaka. Pria itu lalu menunjukkan chat dari Rudi kepadanya untuk wanita yang ada di hadapannya."Anda lihat? Istri saya lagi menunggu di ruangan sekertaris saya? Jadi silahkan keluar.""Damian! Aku rela jauh-jauh ke sini cuman buat kamu! Kenapa sampai sekarang kamu nggak pernah ngehargain, aku sih?""Saya pikir ada sesuatu yang penting perlu anda bicarakan, rupanya hanya mengemis cinta. Lalu apa yang anda sebut, aku-kamu? Are you crazy?"Mata Aneth berkaca-kaca, dia tidak ingin pergi di sini sebelum Damian mau menerimanya sebagai wanita yang jatuh cinta kepada lelaki. "Damian, kamu nggak cinta sama dia!""Keluar! Atau saya yang akan menyeret anda."Tubuh Aneth
Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar, suara cekikikan anak berumur enam tahun terdengar pada telinga Naya, wanita itu telah usai menyiapkan air hangat untuk Damian di bathtub.Saat berjalan keluar dari kamar mandi, Naya menemukan pemilik asal suara tadi telah merangkak pada tubuh Damian yang masih tertidur di ranjang."Papa! Bangun! Aslan, udah siap mau ke sekolah."Naya tersenyum mendengar celotehan anak itu yang masih setia dipunggung Damian, dilangkahkan kakinya mendekati keduanya, lalu Naya duduk di ranjang meneliti piyama yang masih dikenakan Aslan."Mama, kok papa nggak bangun? Aslan kan mau sekolah," ucapnya lagi menatap Naya dengan semangat menggebu-gebu."Sayang, kalau mau ke sekolah, harus mandi dulu terus pakai seragam, nah lalu kamu harus sarapan biar semangat nanti di sana. Sekarang, Aslan ma
Menjadi ibu rumah tangga selama tujuh tahun, lalu merawat Damian dan Aslan sudah menjadi kebiasaan bagi Naya selama ini. Dia sudah merasakan pahit manisnya menghadapi Damian dan juga mengasuh Aslan hingga berumur enam tahun sekarang.Bukan tidak ingin bekerja, hanya saja, salah satu peraturan Damian adalah tidak menyuruh Naya bekerja. Padahal, saat kuliah dia mengambil jurusan bisnis dan manajemen mengingat perusahaan ayahnya yang menciptakan produk-produk berkualitas di sana.Namun, dia harus menelan kepahitan karena hidupnya kini telah diatur oleh Damian. Tidak ada baju kerja, mau pun komputer di depan matanya yang sering dia impikan.Lamunan Naya buyar tatkala ponselnya berbunyi, ada panggilan yang berasal dari ibunya. Sigap, Naya langsung menekan tombol hijau untuk menerima panggilan di layar.
Masakan Naya memang sudah menjadi candu bagi Damian dari semenjak menikah hingga sekarang, dia sudah menerapkan hidup sehat sedari kecil karena lebih memilih masakan rumahan yang dibuat langsung oleh ibunya.Setelah selesai mengisi perut, semangat Damian kini kembali lagi. Naya menyusun piring kotor di meja diikuti oleh Damian yang membantunya."Eh ... nggak usah," ucap Naya takut."Biasanya juga saya bantuin," balas Damian.Naya menghembuskan napasnya pasrah, kalau dilanjutkan, pastinya dia kalah berdebat dengan orang yang ada di hadapannya ini.Jadilah, keduanya mencuci piring bersama-sama."Papa, emang Aslan mau punya adik?" pert
Damian menarik napasnya dalam-dalam berusaha mengontrol emosinya, sedikit lagi tangannya hampir saja sudah mendarat pada pipi Naya. Bahkan, jika dia benar-benar memukul Naya, Damian yakin dia tidak bisa berhenti.Sebaiknya, dia memilih untuk mengalah. Kakinya perlahan meninggalkan kamar dengan sekali hentakan pintu kamar yang keras.Yah, Damian pergi dari hadapan Naya yang ketakutan. Membawa mobilnya pergi dari sana, seolah ingin hilang dari kehidupan Naya jauh-jauh. Namun, ucapan Naya selalu terngiang-ngiang pada kepalanya yang membuat dia terganggu.Endingnya, dia hanya singgah pada bar milik temannya yang tidak jauh dengan kantornya. Membawa air mineral, pada botol kecil yang usai dia teguk.Bartender yan
Naya dan Aslan telah dipindahkan pada Mansion Damian yang terletak jauh dari perkotaan. Namun, saat tadi ingin membawa mertuanya, mereka memilih berada di rumah Gio yang dekat dengan rumah sakit juga sengaja memancing para pelaku juga antek-anteknya keluar dari sarang mereka. Hal itu, guna membantu menemukan pelaku dengan cepat.Aslan pun hanya bisa belajar di rumah dan Naya mengikuti peraturan baru yang dibuat oleh Damian. Alasannya sudah jelas, melindungi mereka dari sasaran pembunuh. Jika Axel ingin dimusnahkan, bagaimana dengan Naya yang satu darah dengannya. Entahlah, Damian yakin yang melakukan hal ini adalah, saingan bisnis Alex."Kamu udah ngasih tahu gurunya, Aslan?" tanya Naya pada Damian yang dari tadi sibuk menerima telepone.Damian mengangguk singkat, lalu menjawa
Anji dan Erik menatap bocah kecil yang ada di hadapan mereka dengan serius, menyimpulkan sendiri opini mereka sembari bersnostalgia tentang apa yang terjadi pada keluarga pelaku."Ngelihatnya jangan begitu." Gio sedari tadi benar-benar tidak nyaman saat kedua temannya itu terus menurus menatap Livla, anak lelaki berusia enam tahun yang ditemukan oleh Damian.Livla saja, sedari tadi gemetar ketakutan. Jika keduanya terus menatap anak itu dengan intens, Livla mungkin tidak berani buka mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada keluarganya."Lo ngintrogasi bocah jangan gitu juga woi, dia ketakutan," tambah Gio lagi.Erik menatap kesal pada Gio, lalu menyuruh pemuda itu yang