Aroma wewangian menyeruak dari dalam ruanganku. Aku suka sih aroma ini, tapi siapa yang menyemprotkannya di dalam? Ketika aku masuk tampaklah Bryan rebah di sofa.
Huh. Dia lagi. Aku menghela nafas. Hari ini Sabtu dan aku tidak ingin ada beban pikiran berlebih untuk menikmati hari Minggu. Aku berusaha tetap santai. "Good morning, Hazel. Kamu terlihat cantik pagi ini," sapa Bryan tanpa berusaha bangkit. "Good morning. Kamu nggak ada kerjaan?" Mataku menangkap tepi bawah kaos Bryan yang tersingkap. Aku segera memalingkan majah. Lebih baik aku memelototi laptop seharian daripada melihat sesuatu yang tidak pantas. "Kamu suka Richard?" Pertanyaan yang mendadak membuatku menoleh dengan sengit. Bryan menyeringai, "Richard sangat menyukaimu, dia melindungimu seperti benda berharga." Jantungku berdebar kencang, "KarenKetika sudah mengantar Hazel pulang, Richard mampir ke rumah Bernard untuk mencurahkan isi hati. Tadinya Bernard adalah kepala pengurus rumah tangga Yilmaz yang bekerja dengan keluarganya sejak Richard berusia 10 tahun. Bernard menyaksikan Richard dan Bryan tumbuh dewasa menjadi lelaki rupawan. Setelah Richard dewasa, dia meminta Bernard untuk menjadi resepsionis merangkap tangan kanannya. Kedua lelaki itu duduk santai di teras sambil menikmati secangkir teh panas. Lampu taman membuat suasana menjadi mistis. "Maafkan saya bertanya, tapi apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Bernard penuh perhatian. "Sejauh ini baik," jawab Richard tanpa semangat. "Ehm... sepertinya Tuan Muda jadi sering sparring dengan Nona Hazel?" Bernard tersenyum. Gaya bicaranya berubah saat hanya berdua dengan Richard. Richard menghela nafas. "Bagaimana saat ke pantai berdua?"&nb
Seperti biasa aku melenggang bahagia di pasir pantai. Guliran butir pasir terasa seperti refleksi bagiku. Satu-satunya yang berbeda adalah kehadiran Richard yang membuntuti satu langkah di belakangku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan dalam keheningan, semoga saja bukan hal-hal yang dapat merusak kesenangan hari ini. Iseng-iseng aku memunguti kerikil berbentuk bulat dengan permukaan licin. Siapa tahu berguna di lain waktu. Setelah mengumpulkan cukup banyak aku menyortir, kerikil yang paling sempurna kusimpan, selebihnya kulempar ke laut. "Mau dibuat apa?" tanya Richard penasaran. "Entahlah. Menarik saja." "Kupikir kamu mau mulai mengkoleksi bebatuan." Aku tertawa, "Tidak lah. Ini spontan kok. Kalau sudah bosan mungkin akan kubuang." "Habis manis sepah dibuang." Richard mengkonfirmasi dengan pepatah yang kebetulan dia ketahui. "Kamu kej
Selesai makan Richard membawaku ke sebuah toko buku impor di kawasan selatan kota. Aku sering mendengar tentang toko buku ini tapi belum pernah mengunjunginya. Aku sangat bahagia sampai ingin memeluk Richard. Untung keinginan itu bisa kutahan. Toko buku ini berukuran sedang. Bagian interior didesain sangat nyaman dengan warna-warna kayu. Sofa dan kursi diletakkan di berbagai tempat. Aku langsung menuju rak yang bertuliskan 'Desain'. Mataku berbinar seperti anak kecil yang diundang ke pabrik cokelat. Sebentar saja aku sudah tenggelam dalam buku. Aku bahkan tidak menyadari Richard duduk di sampingku. "Ini bagus," kata Richard. Aku terkesiap mendengar suaranya. Lebih terkejut lagi saat menoleh dan melihat wajah Richard begitu dekat denganku. "Seperti melihat hantu saja," gerutu Richard. Dari ekspresinya aku tahu Richard juga kaget. Aku meringis. "Sorry, kalau
"Pagi, Bernard," sapaku. "Pagi, Hazel. Wah, ada yang sedang bahagia? Wajahmu cerah sekali?" kata Bernard. "Iya yah? Mungkin karena mimpi dapat lotere," sahutku sekenanya. "Pagi-pagi sekali Pak Richard sudah menaruh buku di ruanganmu." "Oke, thanks infonya." Aku berjalan cepat ke ruanganku. Mataku terbelalak saat rak di belakang mejaku penuh oleh buku! Kuamati lebih dekat dan aku semakin takjub karena semuanya buku impor! Apakah ini buku koleksi Richard? Hatiku tersentuh. Oh, ada novel tebal karangan JRR Tolkien! Aku mengambil salah satu novel dan membukanya. Aku langsung jatuh cinta melihat deretan tulisan dalam bahasa Inggris. Bosku memang yang terbaik. "Pagi, Hazel." Richard melongok dari luar. "Pagi juga. Ini semua bukumu?" "Sebagian koleksiku. Sepertinya aku tidak salah pilih." Richard melihat nov
Untuk beberapa hari ini Bryan tidak akan bisa menyamar sebagai Richard. Bibir bawahnya sobek karena pukulan Richard. Aku tidak kasihan melihatnya. Siapa suruh dia menipuku! Kami bertiga duduk di ruangan Richard. Hawa permusuhan membuat oksigen menipis. Aku bernafas dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara. "Kali ini lo udah berbuat melewati batas. Gue harap lo nggak mengganggu Hazel lagi, atau lo akan mendapat lebih dari luka itu," tutur Richard dengan tenang. Bryan tertawa, "Memangnya Hazel udah jadi milik lo? Dia wanita bebas, Brother. Lo nggak berhak mengatur gue, atau dia." Mereka berbicara seolah aku tidak ada di sini loh! What the ..... "Apa yang lo lakuin tadi bisa disebut pelecehan. Gue nggak suka ada orang yang melecehkan karyawan gue. Ngerti?" "Dari apa yang gue dengar, lo pernah mengungkapkan perasaan terhadap Hazel. Itu bukan termasuk pel
Pagi yang aneh bersama bos yang aneh, batinku. Sudah dibilang tidak usah, malah memaksa untuk mengantar. Bukannya aku tidak bersyukur punya bos yang perhatian, tapi apa kata Mama nanti melihatku diantar pulang lelaki? Bisa-bisa Richard diinterogasi sehari semalam. Aku berusaha untuk menikmati pemandangan. Perjalanan kami sudah mulai memasuki kota tetangga tempat Mama tinggal. Banyak pepohonan rindang menyambut mata. "Di sini, sudah sampai," kataku kepada pak sopir. Richard memarkir mobil di depan rumah Mama. Loh, mau apa dia? Masa mau ikut turun?? "Rumahnya sejuk sekali," ujar Richard. "Iya. Dulu waktu kecil aku suka memanjat pohon," kenangku. "Thanks udah mengantarkan." "Sama-sama, Hazel. Selamat berlibur." Aku turun dengan segenap bawaanku, sebuah ransel gunung berukuran besar. Aku menunggu di pintu gerbang sampai mobil Richard melaju p
Aku menyelesaikan sebuah lukisan! Awalnya aku berusaha melukis kembang sepatu yang sedang mekar berseri, tapi gagal dan jadi lukisan abstrak. Elisabet tetap memasukkan lukisanku dalam bingkai. Dia bersikeras pasti ada yang mau membelinya, karena kita tidak dapat menebak selera orang. Kembang sepatu yang malang, batinku. Menjadi putri seorang pelukis tidak menjamin bahwa diriku pun piawai melukis. Aku lebih suka menciptakan sebuah desain yang indah secara digital. Bukannya aku tidak suka menggambar. Aku suka! Hanya saja tidak ada waktu untuk melakukannya. Jadi kata kuncinya adalah 'tidak ada waktu', bukan 'tidak bisa'. Aku menunduk, kalah oleh logikaku sendiri. "Hazel, nanti sore temani Mama ke galeri ya?" "Oke, Ma. Sekarang kita mau ngapain?" "Sapu daun kering sana." "Hah?" "Itu, daun kering di
Subuh jam tiga pagi Elisabet sudah sibuk di dapur. Aku yang mendengar suara alat masak berkelontangan mengira ada maling masuk rumah. Hampir saja aku menerjang si 'maling'. Untung lampu dapur menyala jadi aku tidak salah melihat Elisabet sebagai maling. "Aduh Mama... Bikin apa sih pagi-pagi?" Aku mengeluh dan menguap dalam waktu bersamaan. "Mmm... Ayam bakar, roti manis, selai nenas, sirup buah." Elisabet mengabsen menu masakannya. "Ya ampun, Mama menyambut tamu agung...," keluhku. "Kok aku nggak pernah dibuatkan makanan begini?" "Anak Manis, kamu masih mengigau ya? Kalau nggak mau bantu Mama, kamu kembali tidur sana. Nanti Mama masak kamu." Aku menguap. Kakiku punya pikiran sendiri, mereka melangkah kembali ke kamar. Wajahku menempel di bantal dan aku langsung molor, istilahnya 'pelor'. Bunyi dering handphone menginterupsi mimpiku berduel dengan Jet Li. Ak