Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger.
"Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang. "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas. "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti." Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard." Wahyu tersedak. Matanya mendelik. "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?" Wahyu meringis sambil mengangguk samar. Sejuta topan badai! Aku memaki dalam hati menggunakan segala bahasa manusia yang kutahu. "Kalian ngomongin saya?" kata sebuah suara berat nan seksi di belakangku. Mataku mencari-cari jalur tercepat untuk melarikan diri. Wahyu memasang wajah termanisnya untuk Richard. Bagus! Alihkan perhatian Richard sementara aku pergi. "Hazel? Mau kemana?" Tubuhku membeku. Aku menarik kembali kakiku yang sudah terjulur menjauh dari kursi. "Nggak. Lurusin kaki doang." Aku tertawa gelisah. "Tumben petinggi mampir ke kantin rakyat jelata. Pak Richard mencari Hazel? Silakan duduk, silakan duduk," cerocos Wahyu. Aku menendang tulang kering Wahyu sekuat tenaga tapi temanku itu mengaduh pun tidak. Aktingnya hebat sekali. "Tidak. Saya cuma lewat saja. Lanjutkan makan siang kalian." Richard melempar senyum menawan. "Hazel, jangan lupa nanti sore. Jangan sampai kemalaman lagi." "Iyaaa." sahutku. Sepasang mata Wahyu mengikuti sosok Richard dengan berbinar seperti remaja jatuh cinta. Aku geleng-geleng kepala. Sepeninggal Richard, Wahyu menendang kakiku. Wajahnya penuh dendam. Aku tertawa terbahak-bahak. "Sial lo! Mau patahin kaki gue??" gerutu Wahyu. "Kenapa baru sekarang berasa sakitnya?? Asli deh, akting lo pantas dapat piala Oscar!" Perutku sakit karena tertawa. "Gue bilangin Richard nanti! Aduhh... Gue belum asuransiin kaki gue yang indah ini Bro!" Aku dan Wahyu menghabiskan jam istirahat dengan tertawa habis-habisan. Aku memang butuh tertawa dan tidak ada orang yang dapat membuatku tertawa seperti Wahyu. Untung aku punya teman seperti dia. Kembali ke meja kami masing-masing... Pekerjaan kembali menyita perhatianku. Aku bahkan tidak memperhatikan Wahyu yang bernyanyi I Will Survive, padahal suaranya keras membahana. Aku juga tidak menyadari Daniel berdiri di sisi mejaku sampai dia mengeluarkan suara. "Sudah berapa alternatif yang kamu buat?" tanya Daniel. "Aduh, ampun. Kenapa semua orang hobi menyelinap dari belakang sih?" gerutuku. "Baru satu." Daniel mengamati layout yang terpampang di laptopku, "Coba kamu kombinasikan dengan warna yang tidak senada. Misalnya karena ini dominan silver dan hitam, kenapa nggak munculkan warna cerah di antaranya?" Aku mengangguk perlahan, "Oke, nanti kumasukkan di alternatif kedua." "Richard aman?" tanya Daniel. Kepala Wahyu muncul dari balik partisi. Dia menguping dengan baik. "Aman. Dia bahkan memberi beberapa masukan," kataku. "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Tanpa berkata lebih lanjut Daniel meninggalkan mejaku. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Sebenarnya aku enggan melapor pada Richard karena perkembangan desainku belum terlalu banyak sejak kemarin. Namun perintah atasan tidak boleh diabaikan. Aku sedang mencetak beberapa halaman desain saat handphoneku berbunyi. Aku bingung, nomor siapa ini? Kok tidak ada di daftar kontakku? "Halo?" Rasa penasaran membuatku menjawab panggilan telepon itu. "Hei, kamu berencana lembur lagi?" "Ini siapa?" Aku seperti pernah mendengar suara ini, tapi dimana ya? Hening. "Kamu nggak simpan nomorku??" Aku menepuk jidat, mati aku! "Richard?" "Kamu kemari jam berapa? Perlu kujemput?" "Nggak perlu! Aku naik sekarang!" Tanpa menunggu jawaban aku memutus percakapan. Tergesa-gesa aku mengumpulkan kertas dan menjejalkannya di map plastik. Aku berlari secepat mungkin menuju lantai duapuluh. Tiba di depan Bernard aku kembali menyadari bahwa kakiku memakai sandal jepit. "Langsung ke ruangan Pak Richard saja." Bernard tersenyum. "Oke, terima kasih." Semoga pembicaraan kami tidak berlangsung lama karena aku mau melanjutkan pekerjaan. Aku mengetuk pintu ruangan Richard dengan keras. "Masuk!" Aku membuka pintu. Richard sedang mengerjakan entah apa di laptopnya. Aku melangkah sepelan mungkin dan duduk manis. "Laporan hari ini." Aku meletakkan map di tengah meja. "Hmm...sebentar." Richard bertopang dagu. Wajahnya tampak serius. Aku mengamati diam-diam. Ganteng sih. Menyenangkan untuk mata. Sayang dia bosku. Aku mengalihkan pandangan saat Richard melirikku. "Aku sedang melihat foto-foto perusahaan. Tadi pagi aku menyuruh orang untuk mengambilnya dari sudut berbeda, tapi sepertinya kurang memuaskan." Richard memutar laptopnya ke arahku, "Bagaimana menurutmu?" Aku memanjangkan leher. Bagiku foto-foto yang ditunjukkan terlihat hampir sama. Aku menggigit bibir, bagaimana cara menyampaikannya? Pandangan kami bertemu, Richard sedang memperhatikanku! "Ehm...." Aku berdehem, "Sepertinya aku harus foto sendiri." "Begitu juga yang kupikirkan." Richard tersenyum. Seketika aku terhanyut dalam tatapannya yang berbinar. Astaga. Setelah ini aku harus meminta Wahyu membenturkan kepalaku ke tembok. Otakku mulai dicemari Richard! "Hello? Kok bengong?" Richard melambaikan tangan di depan wajahku. Refleks aku mendorong kursiku mundur. Richard terkejut dengan gerakanku yang mendadak. "Maaf, refleks..." Wajahku merah padam karena malu. Kupikir Richard hendak menjangkauku. "Kumaafkan." Richard tersenyum geli, "Bagaimana kalau besok pagi kita berkunjung ke tiga tempat ini? Bisa bawa kamera? Kalau nggak pinjam punyaku." "Besok pagi jam berapa?" "Jam sembilan tepat. Aku akan memberitahu Daniel bahwa besok aku meminjammu." "Oke lah. Aku nggak perlu bawa apa-apa kalau gitu." Richard masih membahas desain yang kubawa, diselingi obrolan tidak penting di mana dia berusaha memancingku untuk bercerita tentang kehidupan pribadi. Aku merasa Richard sengaja mengulur waktu supaya malam terlalu larut untukku pulang sendiri. Dia sih enak, mau istirahat tinggal naik satu lantai ke penthouse. "Nggak berasa sudah jam delapan lewat. Kamu pulang sendiri?" tanya Richard. Wajahnya tampak prihatin. "Iya. Pulang sendiri." Aku menegaskan. "Ayo." Richard berdiri dan berjalan ke pintu. "Kemana??" Aku terbengong. "Kuantar pulang." "Ehh nggak perlu! Aku bisa naik ojek!" Tergesa-gesa aku merapikan kertas di meja Richard. "Hazel, aku yang bertanggungjawab karena kamu pulang malam. Gimana kalau kamu bertemu penjahat di jalan?" Aku mendengus. Alasan saja! Sendirinya juga penjahat. Aku menahan tawa karena teringat insiden pertemuan pertama kami. "Aku ambil tas dulu," kataku. "Oke. Kutunggu di bawah." Mataku menipu atau aku melihat Richard mengerling? Jantungku berdebar kencang. Eit, jangan salah, bukan karena kerlingan Richard tapi karena berlari turun tangga. Sekejap mata aku sudah duduk manis di dalam mobil Richard. Semoga malam ini aku tidak tercekik sabuk pengaman lagi.Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan. Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas. "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas. "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain. "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai." "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus. "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum. "Aduh, nggak jadi deh." &nb
Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah! "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari. "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak. Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan." "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu. "Lo ikut pindah aja?" usulku. "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa. "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap. "Terima kasih banyak, tapi NO." "Kamu okay, Hazel?
Keesokan hari... Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan. "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you." "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?" "Nggak mungkin dan nggak mau." "Teman macam apa lo?" "Teman yang menyayangi nyawanya." "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan." Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?" Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya. Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 
Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore? "Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat
Sabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati. Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter. "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu. "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal. "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa." "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku. "Buset, dingin banget!" Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m
Seumur hidupku hingga saat ini tidak ada seorang pun yang curiga pada kacamata bingkai perak yang kupakai. Lensanya cuma plastik biasa tanpa plus, minus, atau silinder. Tidak ada yang tahu kacamataku berfungsi sebagai filter akan penglihatanku. Sampai saat ini cuma Wahyu yang tahu. Makanya dia meminta pertolonganku untuk melihat ketulusan Dion. Entah berkat atau kutukan, sejak kecil aku bisa melihat warna hati seseorang. Dalam penglihatanku warna hati itu seperti sepasang sayap, dan warnanya macam-macam tergantung pada isi hati orang tersebut. Aku bahkan telah belajar menafsirkan warna-warna yang kulihat itu. "Heh, bengong aja!" Wahyu menendang kakiku. Aku meringis, "Ujung sepatu lo keras amat sih??" "Halah, buat lo yang sabuk biru taekwondo tendangan segitu mah nggak ada apa-apanya, Bro!" Wahyu tertawa. "Tetap aja bikin memar," gerutuku sambil mengusap tul
Setelah ancaman resign-ku kemarin Richard tidak lagi bersikap arogan, tapi tetap saja dia membujukku untuk menerima kartu akses ke lantai duapuluh satu. Hanya karena Bernard juga memegang salah satu duplikat kartu lah aku menerimanya. "Hazel, ayo makan siang. Aku mau bicarakan sesuatu denganmu," ajak Richard. "Hah? Memangnya jam berapa...?" gumamku. "Setengah satu." Aku mengernyit, pantas saja perutku terasa lapar. "Aku tunggu di--" "Nggak usah, aku mau ke kantin saja." Aku membetulkan kacamataku yang merosot. "Oke. Sehabis makan siang kita bicara sebentar." Aku mengangguk. Otakku masih melekat di pekerjaan. Richard naik ke atas sementara aku turun ke kantin. Aku berharap masih bisa bertemu Wahyu. "HEEEEEIIIIIII PENGHUNI LANTAI DUAPULUHHH!!!" Aku menutupi wa
Aku memutuskan untuk fokus pada satu perusahaan terlebih dulu daripada memaksakan diri untuk mengerjakan ketiganya sekaligus. Sekarang aku sudah tidak perlu berusaha untuk tidak bertemu Richard, kan? Kuakui, dinding kaca dengan pemandangan langit membuat pikiranku lebih jernih. Gagasan datang dengan cepat dibandingkan ketika aku bekerja di lantai limabelas. Aku bebas memutar lagu apa saja tanpa terganggu oleh celotehan Wahyu. Kadang kalau sudah teramat bosan aku akan mengobrol dengan Bernard. "Oh, jadi hari Minggu kemarin kamu sampai tidak pergi ke pantai saking lelahnya?" kata Bernard. "Betul banget. Biasanya aku bisa nongkrong seharian tuh. Mudah-mudahan Minggu ini bisa pergi." Bernard mengangguk. "Ngomong-ngomong selama ini kamu selalu sendirian di kantor dong? Richard kan sering keluar?" tanyaku penasaran. "Aku sudah terbiasa. Kalau bosan aku tinggal ku