Handphoneku terkena tendangan hingga terpental ke lantai beton. Aku tahu sudah tidak bisa mengharapkan gawai satu itu selamat. Sekarang kedua tanganku bebas. Aku melancarkan deol chagi yang efektif untuk memberikan impact lebih keras di kepala lawan, kalau pun mengelak minimal mengenai bahu atau dada. Sama seperti rekannya terdahulu aku menyarangkan lutut di wajahnya, kali ini kutambah dengan sikutan di belakang kepala. Empat lelaki lain berdatangan. Aku berlari ke foodcourt.
Jantungku berdebar disko. Aku bersembunyi di sebuah pilar besar. Kudengar suara langkah kaki mereka yang ramai semakin mendekat. Aku meraih kursi kayu milik kios terdekat. Begitu sosok menyebalkan itu muncul di sisi pilar aku menghantam wajahnya, tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat shock. "Sialan! Cari mati lo!" maki lelaki yang terkena kursi. "Lo yang mati!" balasku. "Buruan tangkap dia!"  "Kamu cari model kayak apa sih? Jangan-jangan yang belum dilaunching?" gerutu Richard. Aku meringis. Tidak heran dia menggerutu, kami sudah berkeliling pusat jual beli barang elektronik ini selama dua jam tanpa hasil. Aku punya standard tinggi terhadap gawai. Prosesornya harus yang terbaru, memori besar, internal hardisk besar, resolusi layar tinggi, resolusi kamera juga tinggi, ditambah lagi daya tahan baterai harus lama. "Belum ketemu yang cocok," ujarku. Padahal selain pusing melihat banyaknya jenis handphone yang ditawarkan, aku juga pusing melihat terlalu banyak warna hati. Kacamataku tidak ada cadangan jadi terima nasib saja deh. "Makanya kamu belum punya pacar sampai sekarang. Proses seleksinya benar-benar ketat," goda Richard. Aku memukulnya main-main, "Kurang asem, lo sendiri? Sama-sama pemilih dilarang saling mendahului!" "Aku tahu apa yang cocok buat kamu." Tanpa i
Saat ini aku memasuki penthouse Richard dengan perasaan yang berbeda. Posisi kami kini sudah berada di 'saling menyukai' meskipun belum jadi pacar. Apa aku bisa menghadapinya seperti biasa? Apakah dia akan menghadapiku seperti biasa? "Ini, tangkap." Richard melempar sepasang sarung tangan kepadaku. "Thanks." Aku mengenakannya dengan baik. Tidak boleh longgar atau tanganku akan cedera saat memukul. "Perlu istirahat dulu nggak? Tadi kamu baru menghadapi--" "Nggak usah. Ayo!" "Kali ini apa taruhannya?" "Taruhan?" Aku melongo. "Biar lebih seru. Kalau aku menang kamu mau kasih apa?" Richard menyeringai. Aku tidak suka gagasan ini. "Kalau kamu menang, boleh minta apa aja," kata Richard. "Serius nih?" "Serius banget." "Kalau kamu yang menang?" Ak
Aku duduk bersila di sofa sambil sibuk memindahkan data dari handphone lama ke handphone baru. Konsentrasiku sedikit terganggu karena Richard tidak putus memandangiku. Sesekali aku melirik dengan keki. "Hari apa kamu pergi ke rumah ibumu?" tanya Richard. "Lusa," jawabku singkat. "Nggak mau kuantar? Lusa kan hari Sabtu, sekalian malam Mingguan." Aku menatap Richard, "Nggak usah, aku pingin naik kereta." Richard menarik lepas sanggul rambutku. Seketika rambut terurai menutupi wajahku. Aku berseru kesal. "Begitu lebih cantik," puji Richard. "Aduhhh iseng banget sih! Kalau dilepas gampang kusut, makanya aku jarang gerai rambut." Aku menyisiri rambut dengan jari-jariku. "Eh, mau diapain? Biarin aja." Richard protes saat melihat aku mulai menggelung rambut. Aku menghela nafas, "Penyiksaan...." &
Aku duduk termenung menatap jendela kereta. Sebentar lagi aku akan tiba di stasiun kota B, kota tempat Elisabet tinggal. Barang bawaanku yang lumayan banyak kujejalkan dalam satu ransel gunung dan satu duffel bag. Kereta berhenti. Aku pun berbaur dengan penumpang lain menuju gerbang. Angkutan umum aneka warna sudah berjejer manis. Kernet dan sopir berteriak sahut-sahutan untuk menarik penumpang. Aku memilih untuk naik angkutan umum di deretan terdepan. Seperti biasa angkutan umum mungil ini kebut-kebutan di jalan raya tanpa peduli keadaan lalu-lintas sedang ramai. Aku duduk sambil memasang kuda-kuda supaya tidak terjungkal. Tidak sampai sepuluh menit aku sudah tiba di komplek perumahan tujuanku. "Ma, aku pulang!" seruku saat sudah masuk gerbang. Elisabet tergopoh-gopoh keluar. Tangannya masih menggenggam kuas dan palet. "Ayo masuk, Nak!" Elisabet tersenyum cerah. "Kok nggak d
Aku mengubek-ubek dapur. Mataku berbinar saat menemukan mi instan. Segera saja aku merebus air di panci. Aku kelaparan jadi kubuat mi telur porsi dobel. Tiga menit kemudian sepanci mi telur sudah mengebulkan aroma sedap. Aku makan dengan kenikmatan tertinggi. "Wah, wangi banget!" seru Elisabet. "Makan, Ma...," kataku dengan mulut penuh. "Kalau ngomong makanannya ditelan dulu. Kamu kayak baru keluar dari penjara," ledek Elisabet. "Sorry...," ucapku tanpa benar-benar merasa menyesal. Elisabet mencuci tangan, "Bagaimana hubunganmu dengan Richard? Kelihatannya ada kemajuan dan hambatan?" "Ehmm...." Aku menelan mi terlebih dahulu. "Lumayan sih, cuma ayahnya nggak merestui." "Oh, begitu." Elisabet duduk di sebelahku. "Yang lebih parah ayah Richard malah tertarik padaku, Ma." Elisabet mengangkat alis. Shock.
Satu bulan sudah Bryan berkeliling beberapa kota besar di Kalimantan Barat untuk meliput festival Imlek yang berlanjut hingga Cap Go Meh, antara lain Pontianak dan Singkawang. Banyak foto bagus yang dia dapat karena seisi kota benar-benar diliputi warna merah dekorasi Imlek. Puncak perayaan Cap Go Meh begitu meriah. Bryan menuju kota Singkawang dan melihat festival Tatung yang menggetarkan nyali. Bagaimana tidak, dalam kondisi trans para peserta Tatung melakukan atraksi serupa debus tanpa merasa sakit sama sekali. Ada yang berkata bahwa itu adalah karena kekuatan dewa-dewa yang merasuki tubuh fana manusia, membuatnya menjadi kebal segala senjata tajam. Bryan bukan lelaki penakut, tapi hatinya ngilu saat melihat pipi seorang gadis muda peserta Tatung ditembusi dua batang besi tajam sepanjang satu meter. Sayang sekali. Gadis itu sangat cantik dengan mata bulat dan kulit seputih porselen. Ketika berada dalam p
Aku bersin tiga kali berturut-turut. Palet yang kupegang nyaris terjatuh. Elisabet menatapku dengan aneh. "Pilek? Minum vitamin C," kata Elisabet seperti slogan iklan. "Nggak tahu, kayak alergi." Aku melanjutkan melukis. Elisabet terkekeh, "Ada yang ngomongin kamu kali." "Siapa?" "Siapa nanya." Aku merengut. Kalah poin dengan Elisabet. "Mama nih," gerutuku. "Richard belum mampir?" tanya Elisabet. "Belum ada kabar. Masih sibuk kali." Aku menggoreskan cat berwarna merah untuk langit senja yang sedang kulukis. "Coba kamu telepon dia." "Nggak ah. Biar aja." "Hazel, aktif sedikit nggak apa kok." "Nggak ah. Kami belum juga jadi pacar, masa udah suruh-suruh ke sini." Elisabet tidak memperpanjang perkara lagi. Dia t
Aku mencari info tempat wisata yang asyik di kota ini. Kebanyakan wisata alam bebas. Saat ini aku sedang tidak ingin bermain di alam. "Oh, ada pasar malam!" Aku memekik senang. "Di mana?" "Nggak jauh, cuma agak ke pinggir kota." "Pasar malam? Bukannya sore baru buka?" "Oh ya, benar juga. Sekarang masih siang." Kegembiraanku sedikit surut. "Setidaknya kita udah ada tempat tujuan," hibur Richard. Aku meringis. "Aku tahu rumah makan yang bagus di atas gunung. Agak jauh sedikit. Kamu mau?" tanya Richard. "Mau dong! Mumpung lagi di luar!" "Kita bisa duduk agak lama di sana. Kamu pasti suka pemandangannya." "Ayo!" Jalur menuju kawasan Puncak ramai lancar. Richard mengemudi dengan tangkas di jalur yang berkelok-kelok serta menanjak. Aku memang tidak bi