Mungkin sudah ada hitungan lima belas menit Nirbita mematung di tempat sambil mengamati padatnya kafe yang ada di hadapannya saat ini. Ia berniat mencari seniornya untuk menanyakan perihal lowongan kerja paruh waktu. Namun, melihat bagaimana sesaknya keadaan kafe membuat ia urung masuk ke dalam. Nirbita takut kehadirannya akan menyusahkan orang lain. Ia memaki diri sendiri yang telah berkunjung di jam kerja.
"Nirbita?"
Panggilan itu membuat sang empunya terperanjat. Tiba-tiba saja orang yang ia cari sudah berdiri di depannya dengan apron hitam dan kedua lengan baju yang digulung hingga ke siku.
"Ah, Kak Arkan. Apa kabar?" Nirbita terdiam. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah basa-basi semata yang diucapkannya terdengar aneh atau tidak.
Arkan mengembangkan senyumnya kepada Nirbita. "Baik. Ngomong-ngomong ... kamu mau masuk ke dalam kafe atau gimana?" tanyanya ramah. Sebenarnya Arkan sedang terburu-buru keluar untuk membeli beberapa bahan keperluan kafe dikarenakan ia kehabisan stok, tetapi, begitu tak sengaja berpapasan dengan Nirbita di depan membuatnya rela menunda waktu sebentar.
"Eum ... anu, Kak. Sebelumnya maaf kalo lancang, Bita mau nanya, apa tawaran yang dulu pernah kakak kasih ke Bita masih berlaku?" Nirbita memilin ujung bajunya. Ia telah berhasil membuang rasa gengsi untuk bertanya.
"Oh, maksud kamu kerja paruh waktu itu?"
Nirbita mengangguk. Semoga saja masih ada puing murah hati yang Tuhan berikan kepadanya.
"Masih kok, Nir. Kamu tunggu di dalem dulu, ya. Buat lebih jelasnya kita bahas nanti, kakak mau pergi beli bahan-bahan buat kafe soalnya." Arkan langsung melangkahkan kakinya menuju parkiran tanpa menunggu respon Nirbita. Lelaki itu membawa motornya pergi dari area kafe.
"Tapi—"
Nirbita mengecutkan bibirnya kala merasa diabaikan oleh Arkan. Sedikit ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam kafe dan duduk di posisi yang letaknya paling pojok, tepat di samping jendela. Nirbita membuka buku menu, sembari menunggu Arkan kembali ia ingin memesan beberapa kudapan ringan.
Namanya Arkan Dwi Pangga, lelaki itu adalah kakak tingkat Nirbita di jurusan hukum. Arkan cukup populer di kalangan anak kampus. Ia dikenal karena kercedasannya yang cepat memahai teori-teori terkait hal tentang hukum. Tak hanya itu, wajahnya juga sukses memikat hati para gadis dari berbagai jurusan. Sikap Arkan yang ramah dan murah senyum membuatnya mudah diterima oleh para mahasiswa di sana.
Nirbita dan Arkan saling mengenal pada saat kampus sedang mengadakan acara pentas musik, kejadiannya mungkin sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu Nirbita sibuk mengurus bagian panggung karena ia adalah seorang panitia. Beberapa kali ia kewalahan sebab harus bolak-balik berlari mengambil barang yang kurang lengkap, juga menangani masalah yang ada di panggung. Nirbita tidak sadar bahwa tali sepatu yang dikenakannya lama-kelamaan mengendur hingga terlepas karena terlalu sering ia ajak berlari. Arkan yang hari itu tak sengaja mengamati alas kaki Nirbita memberitahunya dengan nada ramah. Dari situlah awal mula perteman mereka dimulai hingga bisa akrab sampai sekarang.
Pilihan Nirbita jatuh pada kue cokelat dan segelas kopi caramel latte. Ia menunggu pesanannya tiba sambil berkutat dengan hapenya. Ketika sorot mata Nirbita tak sengaja menoleh ke arah pintu masuk, ia mendapati dua orang tengah tertawa riang sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
Nirbita tersenyum kecut. "Dasar baj***an," umpatnya pelan.
Ya, laki-itu itu adalah Alvo—mantan pacarnya. Andaikan tidak akan dikenai sanksi dan dosa karena telah membunuh manusia, mungkin jasad lelaki itu sudah dikebumikan sejak kemarin. Sayangnya Nirbita masih punya hati nurani. Perempuan itu memilih untuk mengakhiri semuanya dengan cara memaki dan menghilang dari pandangan lelaki berengsek yang sudah bersamanya selama empat tahun.
Teringat percakapan terakhirnya bersama Alvo, mendadak air muka Nirbita panik. Ia tak berhenti menggigit kuku dan mengamati objek sekitar. Entah apa yang terbesit di pikirannya, tiba-tiba saja gadis itu sudah berdiri dan melesat ke meja yang berada di depannya. Dengan lancang ia duduk begitu saja, memaksakan senyum kepada seorang lelaki berpakaian kantor yang tengah menyesap kopi hitam.
Lelaki itu terperanjat kaget kala menemukan seorang gadis asing tiba-tiba duduk di hadapannya. Ia mengerutkan dahi hingga kedua alisnya nyaris menyatu.
"Si—"
Belum selesai lelaki itu membuka suara, Nirbita sudah menempelkan jari telunjuk ke depan bibirnya.
"Maaf, tapi ... apa bisa kamu bantu aku sekali? Kedengarannya ini emang gak sopan dan kurang ngajar, tapi sekarang keadaannya bener-bener mendesak," Nirbita memohon dengan nada menyerupai bisikan. Ekor mata gadis itu tak berhenti mengamati gerak-gerik Alvo.
Cepat atau lambat, mantannya pasti akan menyadari kehadirannya di sini. Realita bukanlah sebuah panggung drama yang seringkali menampilkan adegan tokoh utama menutupi wajah dengan buku menu agar tidak terlihat oleh seseorang yang tak ingin ditemui. Jika Nirbita tak lekas bertindak dan hanya memperagakan hal semacam itu, Alvo bisa saja mempermalukannya karena ia telah membual.
Meskipun lelaki di hadapannya terlihat cuek dan dingin, Nirbita berniat menjelaskan apa saja yang harus lelaki itu lakukan untuk membantunya. Namun, belum sempat bibirnya mengeluarkan suara, derap langkah kaki yang mengintrupsi lantai terdengar. Nirbita menepuk dahi. Celaka sudah dirinya!
Alvo tersenyum tipis saat tiba di meja Nirbita. Sementa itu, perempuan bertubuh molek yang bergelayut manja di lengannya memasang ekspresi bertanya-tanya.
"Apa kabar, Nirbita?" tanya Alvo.
Nirbita menoleh sejenak, lantas memalingkan iris matanya ke arah lain. Ia mencoba bersidekap di depan dada dengan gaya anggun. Lain halnya dengan lelaki di hadapannya, ia malah asyik meneruskan tegukan kopi, seolah Nirbita hanyalah angin lalu yang melintas di dekatnya. Ia terlihat tak acuh.
"Jadi ini? Pacar baru lo yang kaya?"
Pertanyaan Alvo nyaris membuat lelaki itu memuntahkan kopi yang baru diseruputnya. Tentu saja ia terkejut begitu mendengar pertanyaan tak masuk akal di telinganya. Ia mencuri pandang ke arah Nirbita sejenak, seakan meminta penjelasan kenapa dirinya harus ikut terseret ke dalan topik obrolan. Namun, menyadari gegalatnya yang aneh, lelaki itu akhirnya bisa paham mengapa Nirbita bertindak gila dari awal. Meskipun sebenarnya ia masih menerka-nerka.
"Hei, gue lagi nanya, dijawab dong." Alvo merasa kesal diabaikan oleh Nirbita.
"Emangnya penting? Gue mau pacaran sama siapa aja bukan urusan lo, kan? Kalo gak ada hal lain yang pengen lo sampein, mendingan lo cepet pergi dari sini!" sahut Nirbita judes.
Tentu saja Alvo tidak pergi seperti kemauan Nirbita. Lagi pula siapa dirinya hingga berhak memerintah seperti itu?
"Ck, Nirbita, Nirbita. Ternyata lo bener-bener murahan ya, sana-sini mau, ada untungnya juga kita putus."
Nirbita tertawa kecil. "Murahan? Lo gak bercermin? Bahkan lo lebih buruk daripada tumpukan sampah, dasar ber***sek."
"Terus? Menurut lo di sini gue yang salah gitu? Jelas-jelas hari itu lo ngaku sendiri kalo lo selingkuh dari gue. Jadi yang salah bukan cuma gue aja, kan?" Alvo menaik turunkan kedua alisnya. Sikap lelaki itu benar-benar menyebalkan.
"Sialan," gumam Nirbita.
"Dasar ja***g," timpal Alvo dengan nada rendah.
"Apa lo bilang?!" Emosi Nirbira yang tadinya mulai reda berhasil dipancing kembali.
"Gue yakin lo denger, gak usah pura-pura tuli," sahutnya tanpa rasa dosa.
"Em—"
"Permisi, mahasiswa, apa kamu lagi nganggur? Keliatannya kamu punya banyak waktu ngobrol sama mantan. Bisakah kamu pergi sekarang sekarang? Ini sangat menganggu kami berdua. Lagian, gak baik mengunjungi mantan dengan keadaan lagi membawa pacar baru, kan? Lelaki macam apa kamu?"
Suara bariton berupa peringatan itu membuat Nirbita membulatkan bola matanya. Ia menatap lekat lelaki tampan yang duduk di depannya, tak percaya jika manusia dingin itu mau angkat bicara dan membantunya. Nirbita semakin dibuat terkejut kala lelaki itu meraih sebelah tangannya, jari-jari mungilnya saling bertaut dengan jemari yang kekar, lalu lelaki itu menggenggamnya sangat erat seakan tak mau kehilangan.
"Apa kamu gak sadar kalo kehadiran kamu di sini sangat mengganggu waktu kencan kami? Pergilah." Setiap kata yang diucapkannya penuh penekanan.
Alvo mengdengus kesal. Akhirnya ia berlalu dari hadapan Nirbita tanpa mengucapkan sepatah kata, diikuti dengan gadis yang masih bergelayut di lengannya. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana lelaki berengsek itu pergi meninggalkan kafe, Nirbita bernapas lega. Ia buru-buru menarik tangannya dari genggaman lelaki asing itu.
"Ah, maaf karena udah ngerepotin. Aku mungkin emang gak tau apa kamu angkat bicara karena ngerasa
terganggu atau berniat menolong, tapi ... makasih banyak, Pak. Bagaimanapun juga hari ini kamu udah bantu aku," ucap Nirbita tulus. Tindakan gila yang ia lakukan ternyata bisa menyelamatkan dirinya."Sekali lagi terima kasih, maaf udah ganggu waktunya." Nirbita bangkit dari kursi, ia membungkukkan sedikit badannya kepada lelaki asing itu, lalu tersenyum tipis sebelum akhirnya keluar dari kafe. Mungkin ia akan menemui Arkan lain kali.
Lelaki itu tak berhenti mengamati punggung gadis asing yang perlahan menghilang dari pandangan matanya. Ia geleng-geleng kepala. "Pak? Yang bener aja. Emangnya gue setua itu?"
Nirbita memegangi kedua lututnya. Dada gadis itu kembang kempis,berusaha mengatur deru napas yang tak teratur. Tungkai kakinya bergeser sedikit ke belakang hingga berhenti di depan sebuah kedai kecil yang tutup. Nirbita memukul kepalanya berkali-kali saat memutar memori tentang tindakan dungu yang ia lakukan. Demi apa pun! Nirbita bersumpah bahwa itu adalah tindakan paling bodoh yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Ia juga tak mengerti kenapa tubuhnya spontan bergerak ke meja seorang pria asing yang ada di depannya."Ah, sialan. Malu-maluin diri sendiri aja! Gue harap gak akan pernah ketemu lagi sama orang itu. Bahkan kalo misalnya papasan, gue harap dia gak inget sama gue," dengus Nirbita sebal. Rasanya ingin sekali ia menghantam otak lelaki asing itu dengan sebuah batu besar hingga menyebabkan amnesia agar harga dirinya tak rusak."Tenang, Nirbita. Dia cuma orang asing, gak
"Ah, sial. Gue bener-bener malu!" Nirbita membentrokkan dahi lebarnya ke meja. Ia telah menceritakan apa yang terjadi kepada Helen.Sekarang mereka berdua ada di perpustakaan kampus. Helen butuh beberapa buku yang berkaitan dengan sejarah untuk mencari bahan referensi karena ia akan melakukan presentasi besok lusa. Sesekali gadis itu menyimak cerita Nirbita dengan iris mata fokus ke layar laptop."Lebih baik malu sama orang gak dikenal, daripada harus malu sama mantan. Menurut gue tindakan lo udah tepat, sih. Gue salut sama lo yang bisa ngambil tindakan gila secepat itu," ujar Helen dengan jari-jari tangan yang bergerak lincah di atas papan keyboard.Nirbita menggertakkan gigi. Bagaimana bisa reaksi Helen sesantai itu? Demi terlihat keren di depan mantan ia rela membuang harga diri pada orang yang tak dikenalnya tanpa berpikir panjang. Harusnya kemarin
Sinar matahari menyusup dari balik tirai kamar. Suara kicauan burung yang saling bersahutan seakan menyuruh orang-orang untuk segera bangun dari tidur nyenyaknya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Ferrel yang masih bergeming di atas kasur membuka kelopak matanya secara paksa kala bunyi alarm terus berdering. Lelaki itu menguap lebar usai mematikan alarm yang berada di atas meja dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi.Tidak butuh waktu lama bagi lelaki itu untuk bersiap pergi ke kantor. Ferrel selalu andal dalam mengatur waktunya. Kini ia tengah duduk manis di meja makan sembari mengunyah sepotong roti isi selai cokelat. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan melangkah keluar dari apartemennya. Begitu tiba di depan lobi, Aline membungkukkan badan sesaat padanya guna memberi hormat."Pagi, Bos," sapa Aline tegas. 
Riyan melepas jas putih yang melekat pada tubuhnya, lalu menyampirkannya di jemuran baju berukuran mini. Ia menghempaskan bokongnya di sofa, kemudian menjangkau sekaleng kopi dingin yang ada di nakas meja. Ini adalah kesempatannya untuk mengistirahatkan tubuh sejenak sambil menunggu para pelanggan tiba di kliniknya."Ferrel? Tumben banget dia ngirim pesan," gumam Riyan saat melihat nama Ferrel terpampang di layar utama ponselnya. Jemarinya mengetuk aplikasi WhatsApp untuk membaca pesan lelaki itu.Malem ini lo senggang gak? Kalo ada waktu gue mau ngajak lo nongkrong di kafe. Tenang aja, biaya makan dan minum gue yang nanggung.Tawaran itu membuat Riyan terbahak pelan. Apakah Ferrel sedang butuh teman ngobrol malam ini?"Gue rasa pergi ke club malam hari ini lebih bagus." Pikirnya rasional. Haru
Sepanjang perjalanan Nirbita tak berhenti mengembangkan senyumnya. Gadis itu bahkan merasa acuh ketika beberapa orang memandang dan berbisik-bisik tentangnya. Ia benar-benar tak peduli. Nirbita masih tak percaya mulai besok ia akan bekerja di kafe milik Arkan. Semoga pekerjaan paruh waktu kali ini bisa mengurangi beban yang ditanggungnya. Nirbita harap keuangannya bisa jauh lebih baik daripada sekarang."Kalo duit gue banyak, pasti sekarang gue udah traktir Helen makan dan ngajak dia jalan-jalan ke mall sebagai perayaan karena gue keterima kerja. Tapi ... sayangnya sekarang gue bener-bener miskin," gumam Nitbita lesu. Meski terlihat cuek, sejujurnya ia sangat peduli terhadap Helen. Hanya saja Nirbita memang tak pandai menunjukkan sikap lembutnya.Niatnya ia ingin berbagi kesenangan dengan Helen hari ini, tetapi Nirbita bingung bagaimana cara melakukannya dengan kondisi kantong kering
Ferrel tahu dirinya tak bisa terus-terusan bersembunyi seperti ini. Cepat atau lambat mamanya pasti akan jengkel dan menggunakan cara lain untuk menjodohkannya. Laki-laki itu tak bisa menjamin alibinya akan selalu berhasil. Ferrel harus bisa bertindak cerdik sebelum terlambat. Tapi, bagaimana caranya? Apa yang harus ia lakukan agar mamanya berhenti mendesak perihal pernikahan?Ferrel iseng membuka laci meja kantornya. Tak sengaja ia melihat sebuah kotak tua berwarna cokelat yang berada di antara tumpukan berkas-berkas kantor. Perlahan tangannya meraih kotak itu dan meletakkannya di meja.Bahkan setelah kejadian itu, Ferrel benar-benar tidak bisa melupakannya. Akan selalu ada momen di mana ingatan menyakitkan itu muncul, terlebih lagi jika ia sedang tidak melakukan kegiatan apa pun, seperti sekarang.Sebenarnya Ferrel ingin membuka kotak yang ada di had
Tidak butuh waktu berjam-jam lamanya, sedikit basa-basi dan beberapa topik obrolan mengenai apartemen unit 131 menjadi pembukaan sebelum proses transaksi berlangsung. Riyan meletakkan sebuah box hitam berukuran sedang di atas meja, di mana terdapat tumpukan uang yang memang telah Ferrel persiapkan untuk membeli apartemen.Begitu Ferrel dan pemilik apartemen menandatangai surat pindahan kepemilikan dan menempelkan stempel, mereka pun saling berjabat tangan sebagai bukti bahwa transaksi berjalan dengan mulus. Kini apartemen unit 131 resmi menjadi milik Ferrel sepenuhnya."Ah, mohon maaf, Pak. Tapi ... apa boleh saya minta waktu sehari lagi untuk tetap di sini? Ada banyak barang yang harus saya kemas untuk pindahan," pinta mantan pemilik apartemen.Ferrel terdiam sesaat, tak lama kemudian ia mengangguk. Toh, lagi pula sebenarnya ia tidak in
Waktu seakan berhenti ketika manik mata mereka saling tatap. Untuk pertama kalinya, Ferrel dan Nirbita berinteraksi cukup lama meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Keduanya terasa canggung berada di situasi seperti ini."Ekhem! Kamu..." Ferrel berdekhem. Tadinya ia ingin mengajukan pertanyaan, nahas, mendadak isi kepalanya kosong."Ah, permisi, Pak. Maaf, tapi ... apakah Rey ada di rumah?" tanya Nirbita gusar. Kalau boleh memilih, ia ingin kabur segera dari lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Sungguh, Nirbita tak bisa melupakan kejadian di mana dirinya melakukan hal gila sewaktu di kafe. Meski tak mengenalnya, tetap saja gadis itu merasa malu."Rey? Maksud kamu pemilik apartemen sebelumnya?" tanya Ferrel.Dahi Bitna membentuk garis samar. Entah kenapa mendadak perasaannya tidak