Nirbita berkacak pinggang mengamati keadaannya saat ini. Lagi-lagi ia mempermalukan dirinya sendiri demi bisa mendapatkan persetujuan untuk tinggal di apartemen milik Ferrel selama tiga hari. Nirbita pun tak habis pikit mengapa ia mengambil solusi seperti ini. Tapi ... gadis itu benar-benar bingung dan tak tahu harus bagaimana sekarang. Jika ia kembali pada Helen, temannya itu pasti akan curiga dan tahu dirinya telah ditipu oleh Rey. Meski sadar jika kepribadiannya cukup menyebalkan, Nirbita tak ingin merepotkan Helen terus-terusan. Yang terbesit di otaknya hanya memohon pada Ferrel untuk menempati apartemennya selama tiga hari. Dalam waktu singkat itu pula, Nirbita bertekad mencari pinjaman uang dan menyewa sebuah apartemen dengan anggaran deposit rendah. Semoga saja ia bisa menemukan tempat tinggal yang ramah biaya.
Ada 2 tempat yang bisa dijadikan kamar dalam apartemen ini. Kamar milik Ferrel berada di bagian ujung, letaknya deka
Sejak berkumpul Noel tak berhenti dibuat heran dengan sikap Helen. Perempuan itu tak mau berhenti menangis sedari tadi. Entah apa sebabnya. Noel yang tadinya berniat menjahili pun menjadi urung karena merasa tak enak."Len, udah dong, nangisnya," pinta Noel hati-hati. Ia melirik untaian tisu yang berserakan di depannya. Astaga! Sungguh, Noel tak ingin memungut barang seperti itu. Membayangkan betapa lengket dan kentalnya lendir hidung Helen yang menempel di tisu dan bersentuhan dengan jemarinya membuat ia bergedik ngeri. Namun, jika tidak diambil, cepat atau lambat petugas kebersihan yang lewat pasti akan mengomelinya.Noel celingukan, menunggu kehadiran Nirbita yang sempat izin untuk membeli camilan. Kenapa gadis itu belum juga kembali?Pasrah, Noel memutuskan untuk duduk diam sembari memerhatikan Helen yang menyembunyikan wajah dengan kedua telapak t
Pagi harinya Ferrel baru menyadari jika ada yang berbeda dari apartemennya. Tumpukan kardus yang belum dirapikannya kini tak lagi terlihat. Ruangan menjadi lebih leluasa dan nyaman dipandang mata. Tapi ... siapa yang telah menyentuh barang-barang miliknya tanpa izin?Pikiran Ferrel langsung tertuju pada Nirbita. Jika bukan gadis itu siapa lagi? Tidak mungkin Riyan rajin berkunjung lantas membenahkan barang-barang miliknya, bukan? Lagi pula hanya gadis itu satu-satunya orang yang tahu kata sandi apartemennya.Haruskah ia mengucapkan terima kasih jika bertemu dengan Nirbita? Tapi ... Ferrel rasa mungkin tak perlu. Lagian ... ia tak tahu alasan gadis itu memindahkan barang-barang miliknya. Apakah niat Nirbita murni karena ingin menolong atau ... ada maksud tertentu yang membuatnya bersikap baik kepada Ferrel?"Hmmm ... hmmm ... hmmm...."
Bulir-bulir air hujan yang keruh menyerap sepatu tali Nirbita saat gadis itu tak sengaja menginjak sebuah lubang datar yang digenangi air hujan. Kali ini Nirbita mencoba berjalan lebih waspada dan teliti. Dengan ponsel yang ada di genggaman tangannya, mata gadis itu tak berhenti menatap sekeliling, seakan tengah menyari sesuatu. "Ck! Sebenernya tempatnya ada di mana, sih? Kok kayaknya jauh banget, ya." Nirbita bermonolog. Gadis itu ingin melihat sebuah apartemen yang ia temukan di salah satu situs internet. Dari beberapa foto dan nominal biaya sewa yang dicantumkan membuat Nirbita berpikir matang-matang dan memutuskan untuk melihatnya secara langsung. Ia rasa ini adalah tempat yang cocok untuknya. Semoga saja sesuai dengan ekspetasi. Sayangnya, tanpa disadari ada seseorang yang mengekori langkah Nirbita sejak tadi. Tubuh orang itu cukup tinggi dengan jaket hitam yang dikenakannya. Aksesoris seperti kacamata hitam dan juga masker seolah memang sengaja di
"Udah aku bilang berkali-kali, aku gak mau nikah, Ma." Nyaris seluruh percakapan yang dibicarakan Ferrel dengan orang di seberang yang tak lain adalah mamanya ikut disimak oleh Nirbita. Gadis itu tersenyum licik usai mendapatkan ide cermelang. Ia tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan dirinya dari takdir sengsara ini. Nirbita lekas mundur dari tempat persembunyiannya menguping menuju sofa semula. Begitu Ferrel menutup balkon dan hendak berjalan menuju kamarnya, barulah ia muncul di hadapan lelaki itu. "Paman!" panggil Nirbita tanpa melunturkan senyum yang terpasang di raut wajahnya. "Hmm?" "Ayo kita nikah!" ucapnya mantap, tanpa ada keraguan ataupun perasaan malu yang terselip di setiap perkataannya. Tubuh Ferrel sempat terpaku selama beberapa detik. Ponsel yang ada dalam genggaman tangannya bahkan tak lagi menarik perhatiannya. Ia menatap dalam gadis yang berdiri di depannya tanpa mengeluarkan sepatah ka
Angin malam menyapu lembut kulit putih seorang lelaki yang tengah menerima panggilan telepon. Dengan wajah risau ia menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu mendesah pelan kala mendengar mamanya tak berhenti mengoceh di seberang. Tadinya ia berniat mematikan sambungan telepon secara sepihak, tetapi sepertinya itu agak kurang ngajar. Bagaimanapun juga wanita yang meneleponnya saat ini adalah ibu kandungnya.“Udah aku bilang berkali-kali, aku gak mau nikah, Ma,” jawab lelaki itu dengan satu tarikan napas panjang.“Terus kapan kamu mau nikah? Umur kamu udah diambang batas wajar buat punya sebuah keluarga. Apa kamu gak pingin ngeliat mama nimang seorang cucu?”Lelaki itu menghela napas kasar. Akhir-akhir ini mamanya selalu mendesak perihal tentang pernikahan. Jujur saja, ia sebenarnya malas untuk menanggapi. Baginya persoalan cinta adalah sebuah konflik rumit yang menakutkan. Jika manusia sudah
Dentuman musik terdengar hingga ke seluruh pejuru ruangan. Club malam hari itu terlihat sangat ramai. Lautan manusia dengan pakaian terbuka asyik berjoget ria mengikuti alunan lagu. Pancaran sinar warna-warni dari lampu yang menyoroti lantai gensot membuat suasana menjadi semakin riuh. Nampaknya semua orang yang meliukkan tubuhnya di sana tidak peduli lagi dengan siapa mereka berdansa. Teman, pacar, orang asing, semuanya campur baur menjadi satu. Beberapa di antara mereka yang punya niat licik bahkan ikut menari-nari, mencuri kesempatan dalam situasi yang menguntungkan.Sementara itu, di sudut ruangan terdapat seorang gadis berpakaian kemeja kotak-kotak hitam. Dengan wajah memerah dan mulut meracau tak jelas, ia berusaha meneguk anggur yang isinya tinggal beberapa tetes. Sembari meletakkan botol anggur yang kosong, telapak tangannya menggebrak meja cukup keras, seolah dirinya tengah melampiaskan emosi karena tak b
Mungkin sudah ada hitungan lima belas menit Nirbita mematung di tempat sambil mengamati padatnya kafe yang ada di hadapannya saat ini. Ia berniat mencari seniornya untuk menanyakan perihal lowongan kerja paruh waktu. Namun, melihat bagaimana sesaknya keadaan kafe membuat ia urung masuk ke dalam. Nirbita takut kehadirannya akan menyusahkan orang lain. Ia memaki diri sendiri yang telah berkunjung di jam kerja."Nirbita?"Panggilan itu membuat sang empunya terperanjat. Tiba-tiba saja orang yang ia cari sudah berdiri di depannya dengan apron hitam dan kedua lengan baju yang digulung hingga ke siku."Ah, Kak Arkan. Apa kabar?" Nirbita terdiam. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah basa-basi semata yang diucapkannya terdengar aneh atau tidak.Arkan mengembangkan senyumnya kepada Nirbita. "Baik. Ngomong-ngomong ...
Nirbita memegangi kedua lututnya. Dada gadis itu kembang kempis,berusaha mengatur deru napas yang tak teratur. Tungkai kakinya bergeser sedikit ke belakang hingga berhenti di depan sebuah kedai kecil yang tutup. Nirbita memukul kepalanya berkali-kali saat memutar memori tentang tindakan dungu yang ia lakukan. Demi apa pun! Nirbita bersumpah bahwa itu adalah tindakan paling bodoh yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Ia juga tak mengerti kenapa tubuhnya spontan bergerak ke meja seorang pria asing yang ada di depannya."Ah, sialan. Malu-maluin diri sendiri aja! Gue harap gak akan pernah ketemu lagi sama orang itu. Bahkan kalo misalnya papasan, gue harap dia gak inget sama gue," dengus Nirbita sebal. Rasanya ingin sekali ia menghantam otak lelaki asing itu dengan sebuah batu besar hingga menyebabkan amnesia agar harga dirinya tak rusak."Tenang, Nirbita. Dia cuma orang asing, gak