Agar urusanku dengan Damian selesai dan tidak ada hal yang masih perlu aku bereskan dengannya lagi, aku setuju untuk menemuinya di salah satu restoran yang ada di gedung apartemennya. Sangat aneh mengetahui bahwa para pemrotes memenuhi kantor dan rumahnya, tetapi tidak dengan apartemennya. Apa mereka tidak tahu bahwa dia tinggal di sini sekarang?
Melihat keadaan sekitar gedung yang tenang, sepertinya memang tidak ada dari mereka yang tahu bahwa dia tidak tinggal bersama orang tuanya lagi. Walaupun aku kasihan kepada orang tuanya, mereka pantas untuk mendapatkannya. Lagi pula bukan aku yang menyebarkan tentang rencana Damian menikah denganku.
Pria itu sendiri yang menemui orang-orang pemuka marga kami demi mencari jalan agar kami bisa menikah meskipun ditentang oleh adat. Kini mereka menyatakan protes dengan pilihannya tersebut, aku tidak bisa apa-apa. Keadaan sudah di luar kendali.
Satu-satunya cara adalah menunggu sampai situasi tenang kembali. Akan selalu a
“Apa kamu sudah gila?” kataku sambil mendorong tubuhnya menjauh dariku. Kali ini dia tidak melawan dan membiarkan aku menjaga jarak di antara kami. “Kita satu marga dan pernikahan kita tidak akan direstui siapa pun. Sampai kapan kamu berpura-pura tidak memahami keadaan ini?” “Aku sudah katakan, biar aku yang mencari jalan keluarnya. Percayalah kepadaku. Apa yang kita jalani ini memang tidak mudah, tetapi pasti ada solusinya. Brie, aku mohon kepadamu. Beri aku kesempatan. Beri kita kesempatan untuk bahagia lagi,” pintanya. Bahagia lagi? Aku tidak yakin aku akan bisa bahagia lebih dari yang sudah aku capai sampai hari ini. Setelah seluruh rencanaku membalas perbuatan mereka berhasil, aku sudah tidak menginginkan apa pun lagi dalam hidupku. Aku hanya ingin hidup damai bersama Ishana, jauh dari semua orang. “Aku sudah menemukan kebahagiaanku. Aku tidak membutuhkan kamu untuk merasakan itu.” Aku melihat ke belakangku begitu mendengar bunyi mesin mobil mendekat. “A
~Damian~ Keadaan di tempat kerja sedang kacau dan aku tahu bahwa cepat atau lambat, aku akan didepak dari tempat ini. Pemrotes yang datang ke studio sudah terlalu banyak dan sangat meresahkan pimpinan. Dampak terburuknya adalah statistik program yang aku bawakan menurun secara drastis hampir menyentuh titik di mana mereka tidak mungkin lagi mempertahankan aku. Hal yang mudah saja untuk aku tangani. Mereka hanya perlu tahu bahwa aku dan Brie sudah putus hubungan, kenyataannya memang begitu, tetapi aku tidak mau melakukannya. Aku masih berharap bahwa kami masih bisa bersama. Katakan saja aku gila, aku tidak peduli. Aku hanya mau dia. Penantianku terjawab saat melihat Gerald masuk ke ruanganku bersama gadis pujaan hatiku itu. Dia menatapku dengan marah sekaligus bingung. Dia terlalu mudah dibaca. Mulutnya sering sekali tidak sejalan dengan hati dan pikirannya. Dia bilang benci, tetapi dia membalas ciumanku semalam. Hari ini dia datang ke sini, aku yakin dia ingi
Aku tersenyum saat dia melingkarkan kedua tangannya di leherku dan bibir kami bertemu. Aku memeluk tubuhnya dan rasanya tidak ingin aku lepaskan lagi. Demi wanita ini, aku rela kehilangan segalanya. Karena dia adalah segalanya bagiku. Saat dia menjauhkan dirinya dariku, aku benar-benar tidak melepaskannya. Dia pergi beberapa hari tanpa memberi kabar, tidak membalas pesan atau menjawab panggilan telepon dariku, jadi ini adalah hukuman untuknya. Aku merasakan bibirnya tersenyum ketika membalas ciumanku. “Ian, aku—” Tiba-tiba saja pintu ruanganku terbuka dan seseorang masuk tanpa mengetuk lebih dahulu. Aku berdiri membelakangi pintu, jadi aku tidak bisa melihat siapa yang datang, tetapi aku mengenal suara itu. Mengapa dia harus melakukan ini sekarang? Brie menahan kepalaku dengan tangannya sehingga aku tidak bisa mengakhiri ciumanku. Dia sengaja membunyikan bibirnya setiap kali mencium bibirku. Aku tertawa kecil. Wanita yang sedang bertemu dengan rivalnya dan in
Untung saja aku memesan hamburger lengkap dengan selada dan kentang goreng, jadi makananku bisa dibungkus dan aku bawa. Aku mengendarai mobil sambil menyantap makanan itu. Keadaan lalu lintas yang sedang padat tidak membuat aku senewen karena aku tidak dalam keadaan lapar lagi. Tiba di rumah sakit, aku segera menanyakan arah menuju ICU. Koridor rumah sakit menuju bagian itu tidak ramai, jadi aku bisa berjalan dengan cepat. Untuk memastikan bahwa aku berjalan menuju arah yang benar, aku bertanya sekali lagi kepada petugas medis yang berpapasan denganku. Aku berbelok ke koridor yang ditunjuk oleh tanda panah yang yang ada pada papan di langit-langit rumah sakit. Melihat keluargaku ada di sana sedang duduk di kursi yang disediakan, aku mendesah pelan. Kami pasti akan bertengkar lagi, tetapi aku tidak mungkin mengabaikan keadaan Mama dan tidak datang ke sini. Aku tidak melihat Bapak, mungkin dia ada di dalam menemani Mama. “Aku pikir kamu tidak akan datang,” ejek
Suasana di sekitarku hening layaknya tempat pemakaman umum. Begitu kontras dengan keadaan beberapa menit lalu saat Bapak marah dan memukuli aku. Mereka semua terdiam dan menatap Rhea tidak percaya. Lae Luhut yang biasanya bergerak cepat dengan duduk di sisi istrinya, lalu memeluk dan berusaha untuk menenangkannya hanya duduk diam di sampingku. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Aku melihat ke arah tangannya yang gemetar, entah karena marah atau ketakutan. “Mengapa kamu melakukan itu?” tanya Bapak masih terlihat tidak percaya. “Hubungan Lae Ian dengan perempuan itu adalah urusan keluarga, bukan untuk konsumsi umum. Ketua punguanbahkan dengan tegas mengatakan agar masalah ini tidak tercium oleh orang lain.” “Maafkan aku. Aku tidak tahu masalahnya akan sampai sebesar ini. Aku hanya ingin menunjukkan kepada Kakak apa jadinya kalau dia tetap nekat menikahi perempuan itu,” isak Rhea. “Maafkan aku, Pak. Aku tidak akan melakukan ini kalau aku ta
~Brie~ Aku telah melakukan kesalahan besar. Niatku datang ke stasiun televisi tempatnya bekerja adalah membantu menyelesaikan masalah yang dia biarkan berlarut. Akibatnya, aku malah menambah masalahku sendiri. Damian tahu bahwa aku masih mencintai dia dan mengambil keuntungan dari perasaanku itu. Bodoh sekali. Bisa-bisanya aku membiarkan dia mencium aku berulang kali di kantornya. Aku tidak akan bisa berbohong lagi kepadanya dengan mengatakan bahwa aku membenci dia. Mengapa semua rencanaku berantakan setiap kali ada hubungannya dengan hatiku? Melihat buket bunga kirimannya di atas meja di kamarku adalah bukti bahwa aku tidak akan bisa lari lagi darinya. Lari, siapa yang ingin aku bohongi? Diriku sendiri? Aku tidak bertindak seperti orang yang ingin lari dari laki-laki yang mengejarnya. Aku malah datang secara sukarela ke tempat kerjanya. Aduh. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Lusa nanti aku akan pergi dari kota ini menuju kota lain di mana kehidup
~Damian~ Mereka ingin tahu semua tentang kehidupan pribadiku, maka aku mengabulkan semuanya. Biar mereka semua puas dan meneruskan hinaan dan makian mereka kepadaku di media daring dan sosial. Aku sudah tidak peduli lagi pada reputasi atau nama baik. Mereka boleh menghancurkan aku sesuka mereka. Hal yang diawali oleh Brie telah membukakan mataku mengenai banyak hal. Aku kini tahu siapa kawan dan lawan. Mereka yang aku pikir adalah rekan kerjaku, ternyata suka menusuk dari belakang. Wanita yang mengaku mencintai aku, rela melakukan segala hal untuk mendapat perhatianku. Adik yang aku pikir akan mendukung segala yang aku lakukan, justru mengkhianati aku. Bapak yang berusaha aku maafkan setelah pukulannya nyaris merenggut nyawaku sepuluh tahun yang lalu, ternyata belum berubah. Apa pun yang sudah aku lakukan untuk membuatnya bangga kepadaku tidak akan pernah cukup baginya. Dia mau aku selalu menjadi anak yang sempurna. Hal yang tidak mungkin sanggup aku penuhi.
~Brie~ Aneh. Ada apa dengan Damian? Aku mencoba menghubungi dari pagi tadi, tidak satu pun panggilan dariku yang dijawabnya. Padahal ponselnya aktif. Apa dia sedang berada di rumah sakit menjaga mamanya? Pesanku juga tidak dibalas. Bila aku nekat ke rumah sakit untuk menemuinya, aku khawatir aku akan membuat kekacauan di sana. Aku tidak mau bertemu dengan keluarganya. Aku juga tidak ingin keadaan ibunya semakin parah melihat kedatanganku. Tetapi aku harus menemuinya dan bicara. Walaupun kami tidak sepenuhnya telah kembali bersama, aku tidak mau pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi, jadi ini adalah kesempatan terakhir untuk menyelesaikan segalanya secara baik-baik. Aku perlu melakukan ini untuk diriku sendiri. Bukan dia yang sedang aku pikirkan. Aku yang lebih membutuhkan kepastian mengenai perasaanku kepadanya. Aku tidak ingin terus mengalami ini di dalam dadaku sendiri. Aku lelah d